KOLOM Jati Diri koran ini edisi Selasa (10/12) mengangkat topik
menarik: Menyorot Romli Effect Penghulu. Romli adalah kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) Kota Kediri yang dijerat kasus gratifikasi berupa penerimaan
honor jasa kepenghuluan. Modusnya, Romli memungut biaya melebihi tarif resmi
pernikahan. Padahal, tarif resmi yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 30.000
untuk setiap pernikahan. Selama setahun (Januari-Desember 2012) bertugas
sebagai kepala KUA, Romli diduga menerima gratifikasi jasa kepenghuluan
hingga Rp 42 juta.
Sejawat lewat Forum Komunikasi Kepala KUA di
Jawa Timur menilai, perlakuan terhadap Romli tersebut merupakan bentuk
kriminalisasi profesi kepenghuluan. Para penghulu pun memutuskan untuk
mogok. Para petugas negara yang biasanya siap siaga melayani pencatatan
nikah di luar kantor dan jam kerja tersebut tidak lagi bersedia memenuhi
undangan keluarga mempelai. Dampaknya, pencatatan nikah harus dilaksanakan
pada jam kerja di KUA mulai Januari 2014.
Selain patut disayangkan, ancaman itu bisa
disebut ''keangkuhan profesi'', layaknya kasus mogok dokter dan mogok guru.
Sebab, sebagai pemegang ''monopoli'' pencatatan pernikahan, semestinya
mereka mengimbangi dengan pelayanan yang berstandar baik.
Layanan pencatatan nikah di luar kantor dan
jam kerja sejauh ini telah membudaya. Biaya pencatatan nikah pun berlipat
tatkala mengundang petugas pencatat nikah (P2N) di luar kantor dan jam
kerja. Namun, berapa pun tarifnya pasti akan dibayar keluarga mempelai.
Buktinya, dalam penyelidikan Kejari Banyuwangi terhadap KUA Glenmore, pungli
itu mencapai Rp 300 ribu sampai Rp 5 juta (Jawa Pos halaman 12, kemarin).
Pernikahan merupakan saat-saat yang
membahagiakan sehingga tidak terasa jika harus mengeluarkan banyak uang,
termasuk untuk jasa kepenghuluan. Tetapi, persoalannya, pemberian ''salam
tempel'' tersebut bisa memberatkan mempelai yang tidak mampu.
Karena itulah, Inspektur Jenderal
Kementerian Agama (Irjen Kemenag) Mohammad Jasin menegaskan bahwa uang yang
diberikan sebagai jasa kepenghuluan di luar kantor dan jam kerja yang
melebihi tarif resmi merupakan gratifikasi. Berarti, tindak pidana.
Idealnya, masyarakat harus mencatatkan
pernikahan di KUA pada jam kerja agar tidak mengeluarkan biaya lebih.
Tetapi, realitas menunjukkan, kebanyakan merasa lebih nyaman jika
pencatatan pernikahan dilakukan di luar kantor dan jam kerja. Misalnya, di
rumah atau masjid. Inilah dilema.
Para penghulu bisa juga beralasan bahwa
keluarga mempelai memberikan uang transpor secara sukarela. Sebagai
ungkapan rasa syukur, keluarga mempelai memberikan amplop (berisi uang,
tentu). Tetapi, praktik ''salam tempel'' itu bisa menimbulkan persoalan,
terutama berkaitan dengan transparansi serta akuntabilitas dana jasa
kepenghuluan.
Karena itu, jangan heran jika dalam
praktiknya, seperti diakui Romli, uang jasa kepenghuluan tersebut dibagikan
ke mana-mana. Sebagian masuk kas KUA berdasar tarif resmi. Sebagian lagi
dinikmati P2N yang melaksanakan tugas kepenghuluan. Yang menarik adalah
pengakuan Romli bahwa ada setoran kepada pejabat terkait di lingkungan
Kemenag. Romli bahkan menyatakan, praktik memberikan upeti kepada pejabat
Kemenag itu sudah membudaya di seluruh Nusantara. Terang saja pernyataan
Romli itu menjadi tamparan bagi pejabat Kemenag di kabupaten/kota dan
provinsi.
Kasus gratifikasi jasa kepenghuluan ternyata
sangat memengaruhi rapor integritas Kemenag. Dalam survei integritas oleh
KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di nomor buncit. Salah satu
indikatornya adalah maraknya kasus gratifikasi jasa kepenghuluan yang
melibatkan P2N di KUA. Mestinya itu mencoreng Kemenag. Bermoto ''Ikhlas
Beramal'', Kemenag semestinya menjadi benteng kebobrokan moral bangsa.
Kasus yang dialami Romli bisa jadi merupakan
fenomena gunung es. Karena itu, kejadian tersebut harus dijadikan pintu
masuk untuk mewujudkan budaya berintegritas. Sudah saatnya Kemenag
merumuskan sistem yang terukur untuk mengatur biaya pencatatan nikah di
luar kantor dan jam kerja seperti yang diminta Gubernur Jatim Soekarwo.
Selain sudah menjadi kebiasaan, fasilitas di banyak KUA sangat terbatas dan
memprihatinkan.
Kepastian regulasi tersebut mutlak
dibutuhkan sebagai ikhtiar untuk membangun budaya berintegritas setiap
pegawai Kemenag, termasuk para penghulu. Kemenag harus menjaga marwah
profesi penghulu. Semoga pegawai dan institusi Kemenag semakin berintegritas
hingga layak disebut departemen ''suci''. Pendapatan pegawainya pun halalan thayiban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar