Kamis, 12 Desember 2013

Romli Effect untuk Integritas Kemenag

Romli Effect untuk Integritas Kemenag
Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS,  11 Desember 2013
  


KOLOM Jati Diri koran ini edisi Selasa (10/12) mengangkat topik menarik: Menyorot Romli Effect Penghulu. Romli adalah kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Kediri yang dijerat kasus gratifikasi berupa penerimaan honor jasa kepenghuluan. Modusnya, Romli memungut biaya melebihi tarif resmi pernikahan. Padahal, tarif resmi yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 30.000 untuk setiap pernikahan. Selama setahun (Januari-Desember 2012) bertugas sebagai kepala KUA, Romli diduga menerima gratifikasi jasa kepenghuluan hingga Rp 42 juta.

Sejawat lewat Forum Komunikasi Kepala KUA di Jawa Timur menilai, perlakuan terhadap Romli tersebut merupakan bentuk kriminalisasi profesi kepenghuluan. Para penghulu pun memutuskan untuk mogok. Para petugas negara yang biasanya siap siaga melayani pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja tersebut tidak lagi bersedia memenuhi undangan keluarga mempelai. Dampaknya, pencatatan nikah harus dilaksanakan pada jam kerja di KUA mulai Januari 2014. 

Selain patut disayangkan, ancaman itu bisa disebut ''keangkuhan profesi'', layaknya kasus mogok dokter dan mogok guru. Sebab, sebagai pemegang ''monopoli'' pencatatan pernikahan, semestinya mereka mengimbangi dengan pelayanan yang berstandar baik.

Layanan pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja sejauh ini telah membudaya. Biaya pencatatan nikah pun berlipat tatkala mengundang petugas pencatat nikah (P2N) di luar kantor dan jam kerja. Namun, berapa pun tarifnya pasti akan dibayar keluarga mempelai. Buktinya, dalam penyelidikan Kejari Banyuwangi terhadap KUA Glenmore, pungli itu mencapai Rp 300 ribu sampai Rp 5 juta (Jawa Pos halaman 12, kemarin). 

Pernikahan merupakan saat-saat yang membahagiakan sehingga tidak terasa jika harus mengeluarkan banyak uang, termasuk untuk jasa kepenghuluan. Tetapi, persoalannya, pemberian ''salam tempel'' tersebut bisa memberatkan mempelai yang tidak mampu.

Karena itulah, Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Irjen Kemenag) Mohammad Jasin menegaskan bahwa uang yang diberikan sebagai jasa kepenghuluan di luar kantor dan jam kerja yang melebihi tarif resmi merupakan gratifikasi. Berarti, tindak pidana.

Idealnya, masyarakat harus mencatatkan pernikahan di KUA pada jam kerja agar tidak mengeluarkan biaya lebih. Tetapi, realitas menunjukkan, kebanyakan merasa lebih nyaman jika pencatatan pernikahan dilakukan di luar kantor dan jam kerja. Misalnya, di rumah atau masjid. Inilah dilema. 

Para penghulu bisa juga beralasan bahwa keluarga mempelai memberikan uang transpor secara sukarela. Sebagai ungkapan rasa syukur, keluarga mempelai memberikan amplop (berisi uang, tentu). Tetapi, praktik ''salam tempel'' itu bisa menimbulkan persoalan, terutama berkaitan dengan transparansi serta akuntabilitas dana jasa kepenghuluan.

Karena itu, jangan heran jika dalam praktiknya, seperti diakui Romli, uang jasa kepenghuluan tersebut dibagikan ke mana-mana. Sebagian masuk kas KUA berdasar tarif resmi. Sebagian lagi dinikmati P2N yang melaksanakan tugas kepenghuluan. Yang menarik adalah pengakuan Romli bahwa ada setoran kepada pejabat terkait di lingkungan Kemenag. Romli bahkan menyatakan, praktik memberikan upeti kepada pejabat Kemenag itu sudah membudaya di seluruh Nusantara. Terang saja pernyataan Romli itu menjadi tamparan bagi pejabat Kemenag di kabupaten/kota dan provinsi.

Kasus gratifikasi jasa kepenghuluan ternyata sangat memengaruhi rapor integritas Kemenag. Dalam survei integritas oleh KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di nomor buncit. Salah satu indikatornya adalah maraknya kasus gratifikasi jasa kepenghuluan yang melibatkan P2N di KUA. Mestinya itu mencoreng Kemenag. Bermoto ''Ikhlas Beramal'', Kemenag semestinya menjadi benteng kebobrokan moral bangsa. 

Kasus yang dialami Romli bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Karena itu, kejadian tersebut harus dijadikan pintu masuk untuk mewujudkan budaya berintegritas. Sudah saatnya Kemenag merumuskan sistem yang terukur untuk mengatur biaya pencatatan nikah di luar kantor dan jam kerja seperti yang diminta Gubernur Jatim Soekarwo. Selain sudah menjadi kebiasaan, fasilitas di banyak KUA sangat terbatas dan memprihatinkan.

Kepastian regulasi tersebut mutlak dibutuhkan sebagai ikhtiar untuk membangun budaya berintegritas setiap pegawai Kemenag, termasuk para penghulu. Kemenag harus menjaga marwah profesi penghulu. Semoga pegawai dan institusi Kemenag semakin berintegritas hingga layak disebut departemen ''suci''. Pendapatan pegawainya pun halalan thayiban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar