Daulat
Nusantara
Muhidin M Dahlan ;
Kerani di
@warungarsip
|
TEMPO.CO,
14 Desember 2013
Dicanangkannya
Deklarasi Juanda, yang berlangsung pada tarikh 13 Desember 1957, menjadi
semacam terumbu terkoneksinya marka Nusantara sebagai kawasan sekaligus
wawasan. Kawasan adalah ruang, sedangkan gagasan adalah waktu.
Sebagai
kawasan, Nusantara adalah zamrud khatulistiwa-istilah Sukarno. Frase
"zamrud" pada masa ini merujuk pada sumber daya pangan dan energi
yang menjadi ultima kedaulatan. Adapun frase khatulistiwa adalah peletakan
geografis dan interaksi manusia dalam mengelola peradabannya yang plural di
sebuah benua kepulauan.
Anugerah
heterogenitas itulah yang menyadarkan Sukarno, sehingga kukuh dengan proyek
politik besarnya: persatuan. Muhammad Yamin mengikatnya dengan sebaris
kutipan dari kitab leluhur Nusantara: bhinneka tunggal ika. Mestinya,
semangat heterogenitas ini yang melambari semangat perayaan Hari Nusantara
pada 13 Desember tahun ini, yang dipusatkan di Palu, Sulawesi Tengah. Namun
heterogenitas bukan hanya bersifat interkomunitas dan respek terhadap
keberbedaan (suku bangsa). Heterogenitas itu juga menjadi fakta tak
terbantahkan bagi kita untuk meneruskan dialog budaya tanpa batas dalam
sekuen lini masa: lalu dan kini.
"Bahari
Baharu", yang menjadi tema Hari Nusantara 2013, menunjukkan soal uji
kemampuan kita mengelola kelampauan dan kekinian itu. Menjaga warisan dan
memacu kreativitas. Di satu sisi, bahari itu maritim yang selama ini
menjadi simbol eksotisme masa lampau dengan sentra rempah Maluku sebagai
pusat.
Bahari
bisa juga dibaca sebagai baharu, yang berarti kebaruan, kreativitas, dan
pluralitas. Dengan demikian, "Bahari Baharu" mencerminkan sikap
budaya kreativitas yang bersandar pada peradaban maritim, warisan benua
kepulauan, serta keindahan kontemporer.
Wawasan
"Bahari Baharu" adalah proyek kebangsaan kontemporer, dari kini
untuk masa depan. Namun, untuk menjaga wawasan itu, diperlukan proyek
kedaulatan yang menjadi domain negara. Nusantara sebagai negara-sebagaimana
terdokumentasikan dalam"buku hitam" Risalah Sidang BPUPKI-PPKI
(1945), mewariskan bentuk negara kesatuan yang berbentuk "republik"
(daulat kawasan); teks Proklamasi (daulat merdeka yang berdiri di atas tri
panji kemandirian: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
bermartabat secara kebudayaan); serta UUD 1945 (daulat hukum). Tiga daulat
itulah-daulat merdeka, daulat kawasan, dan daulat hukum-yang disebut Daulat
Nusantara. Ketiganya adalah warisan yang memandu kita dalam melihat
bagaimana negara menjaga kedaulatan.
Misalnya,
masihkah daulat merdeka di jalan yang benar di Hari Nusantara pada warsa
ini saat ketergantungan pangan menjadi-jadi dan ketahanan energi makin
koyak. Masihkah relevan tesis kekayaan biodiversitas yang diwariskan garis
Wallacea pada garis khatulistiwa di Kota Palu, sementara kita sudah
terlambat dua dasawarsa untuk sadar bahwa keragaman pangan merupakan jalan
daulat merdeka.
Kasus
Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka memang membuat kita
(masih) bisa menjaga "daulat kawasan". Namun tidak demikian
dengan daulat pengelolaan sumber daya tambang dan energi di perut kawasan
Nusantara yang hampir 75 persen dikuasai asing.
Mestinya
apa yang kita lakukan pada masa kini adalah cara kita mewariskan Daulat
Nusantara untuk generasi masa depan. Namun itulah, kita gagap. Sebagaimana
yang sudah-sudah, bahari sebagai masa silam terus kita usap sampai mengkilat,
tapi soal bahari dalam pengertian "baharu", kita terkaget-kaget.
Seperti orang yang ba(ha)ru: sadar setelah terlambat. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar