Uji
materi terhadap Undang-Undang Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) ke Mahkamah Konstitusi mendapat tanggapan beragam. Sebagian
menganggap langkah tersebut sebagai upaya membuat lincah BUMN dalam
berbisnis. Di lain pihak, ada kekhawatiran bahwa jika uji materi itu
dikabulkan, peluang korupsi akan menjadi lebih besar di lingkungan entitas
bisnis milik negara tersebut.
Koalisi
untuk Akuntabilitas Keuangan (KUAK) Negara terang-terangan menyatakan
khawatir. Mereka curiga bahwa uji materi tersebut merupakan modus elite
partai dalam mencari biaya politik dari BUMN. Mereka juga mencurigai hal
itu sebagai cara BUMN menyelamatkan diri dari pemeriksaan atau audit BPK.
Bahkan, mereka mencurigai BUMN akan berbondong-bondong melakukan IPO
(penawaran perdana saham) menjelang pemilu 2014.
Semua
itu merupakan kekhawatiran yang berlebihan. Bahwa mereka khawatir akan
pemisahan keuangan BUMN dengan keuangan negara, itu jelas sesuatu yang sah.
Namun mengkaitkan uji materi dengan kebutuhan elite partai politik untuk
menggali biaya pemilu bisa dianggap sebagai paranoia politik. Apalagi,
mereka mengatakan BUMN akan menjadi sasaran perampokan karena tidak akan
lagi diaudit BPK (Koran Tempo, Senin, 18 November 2013).
Uji
materi sejumlah pasal dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK itu bermula dari
keprihatinan Ketua Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia
(CSSUI) Prof Dr Arifin P. Soeria Atmadja, S.H. Beliau sangat bersemangat
untuk membantu BUMN/BUMD agar bisa bergerak lincah dan bersaing seperti
entitas bisnis swasta.
Dia
menyatakan ada yang salah dalam pengaturan BUMN/BUMD sebagai lembaga
bisnis. Dalam setiap forum, ia selalu mengatakan BUMN agak sulit bersaing
dengan swasta. Sebab, dari sisi aturan, mereka diatur oleh lebih dari
delapan undang-undang. Sedangkan perusahaan swasta hanya diatur maksimal
tiga UU. Ini menyebabkan BUMN/BUMD tidak punya ladang bermain yang sama.
Apa
saja regulasi yang mengatur BUMN? UU PT, UU Pasar Modal, UU Sektoral, UU
BUMN, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, serta UU
Pemeriksaan Pengeluaran dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Khusus BUMD,
masih ditambah UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan perusahaan swasta hanya
diatur oleh UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral.
Prof
Arifin pula yang getol menggalang dukungan untuk mengajukan permohonan uji
materi. Bahkan, kegigihannya dalam memperjuangkan BUMN dan BUMD ini dibawa
sampai beliau wafat. Dosen UI ini meninggal karena kelelahan setelah
berdiskusi membahas materi di Hotel Borobudur, Jakarta. Ibaratnya, ia wafat
di medan perjuangan saat gugatannya sedang dalam proses persidangan di
Mahkamah Konstitusi. Semoga Allah membalas amal baik beliau.
Di
mata Prof Arifin, BUMN merupakan badan hukum privat, bukan badan hukum
publik seperti pemerintah. Kekayaan BUMN adalah kekayaan BUMN itu sendiri,
bukan kekayaan negara. Kepemilikan pemerintah bukan pada asetnya, melainkan
pada jumlah sahamnya. Karena itu, kerugian BUMN/BUMD bukan kerugian negara,
melainkan kerugian korporasi seperti perusahaan swasta.
Lantas
bagaimana kalau terjadi penyimpangan? Jika terjadi penyimpangan pengelolaan
sehingga terjadi kerugian, harus diselesaikan melalui pendekatan perdata
lewat ganti rugi atau pengembalian kerugian. Jika yang bersangkutan tidak
bisa menyelesaikan melalui mekanisme ganti rugi atau berkeberatan, baru
dilakukan proses pidana.
Seringkali
keberatan atas langkah Prof Arifin ini muncul hanya karena melihat modal
yang disetor ke BUMN berasal dari APBN. Karena modalnya dari APBN, maka ia
harus diperlakukan sebagai aset negara dan harus mengikuti regulasi lembaga
publik. Alasan inilah yang selalu menjadi senjata mereka dalam mengajukan
keberatan atas pemisahan kekayaan BUMN/BUMD dari kekayaan negara.
Tapi
apakah harus demikian? Sebetulnya tidak. Gaji pegawai negeri yang diterima
setiap bulan sudah tidak bisa disebut sebagai uang negara. Karena itu,
ketika gaji itu sudah di saku pegawai dan dicopet, bukan berarti ia
menghilangkan uang negara. Gaji yang telah dibayarkan telah menjadi milik
pribadi dan pertanggungjawabannya juga pribadi.
Jika
dicermati, baik yang menggugat UU Keuangan Negara dan UU BPK ke MK maupun
yang menolak mempunyai semangat yang sama. Pihak penggugat membutuhkan
revisi regulasi agar mereka lebih lincah dalam menjalankan roda bisnis BUMN
dan BUMD. Dengan tidak adanya "ranjau regulasi" yang bisa
mencelakakan pengurusnya, mereka berharap bisa bersaing dengan swasta dan
bisa melipatgandakan kekayaan negara lewat bisnis yang digelutinya.
Sementara
itu, pihak yang menolak gugatan tersebut punya semangat menjaga aset negara
yang berada di BUMN/BUMD tidak hilang dan terus bertahan. Semangat keduanya
tentu harus kita dukung bersama. Namun, dalam prakteknya, upaya mengontrol
secara langsung itu menjadi kurang produktif, bahkan malah menghambat
BUMN/BUMD menjalankan perannya sebagai pengungkit ekonomi nasional ataupun
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar