Korupsi dan
Transaksi Tunai
Y Tomi Aryanto ;
Wartawan TEMPO
|
TEMPO.CO,
14 Desember 2013
Seperti
kebanyakan rakyat Indonesia, saya bersyukur bisa melihat berbagai kejutan
yang disuguhkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi melalui kasus-kasus yang
mereka tangani. Namun, setelah sekian lama, tak jarang saya jadi kurang
yakin apakah masih harus bertepuk tangan memberikan pujian kepada KPK, atau
mesti bersedih setiap kali ada kasus baru terungkap dan ada pejabat tinggi
yang tertangkap. Setelah 10 tahun lembaga ini berdiri, nyatanya kasus
korupsi bukannya berkurang, dan perilaku korup tak juga hilang.
Banyaknya
kasus korupsi yang dibongkar rupanya tak cukup membuat jera para koruptor.
Sudah ada 311 kepala daerah yang tersangkut, dan angka ini boleh jadi belum
akan berhenti. Apa lagi yang mesti dilakukan untuk menghentikannya?
Sudah
lama para kriminolog berdebat tentang apa yang menjadi penyebab utama
munculnya kejahatan. Apakah lantaran faktor-faktor dari dalam diri si
pelaku, atau lebih banyak akibat dorongan dari luar? Memang, tak ada satu
pun formula yang menjawab semua pertanyaan. Namun setidaknya saya percaya
terhadap satu pandangan bahwa niat buruk si pelaku saja terkadang tak cukup
untuk membuat sebuah tindakan durjana berlangsung. Saya kira korupsi bukan
pengecualian. Keinginan menjadi kaya atau berkuasa ada pada diri banyak
orang. Melalui jabatan atau kewenangan, kehendak itu bertemu dengan situasi
yang memberi peluang bagi seseorang untuk mendapatkannya.
Imbauan
dan pendidikan agar nafsu untuk cepat kaya dan hidup bermewahan semakin
tenggelam di tengah membanjirnya iklan dan promosi kenikmatan hidup yang
tak ada habisnya. Yang mungkin masih bisa dilakukan di sini adalah
memperketat sistem pengawasan dan mempersempit peluang seseorang melakukan
korupsi. Salahsatunya, dengan membuat aturan untuk membatasi transaksi
tunai.
Kenapa
transaksi tunai? Karena kebanyakan kasus korupsi dilakukan dengan cara ini.
Transaksi tunai adalah kanal utamanya. Sistem pengawasan yang sejatinya
sudah ketat terbukti tak efektif menangkal para pencuri di lingkup
birokrasi dan pos-pos kekuasaan. Sebab, si pengawas juga belum tentu tahan
godaan. Harapan sedikit bertambah lewat ancaman pemiskinan yang mulai
diperlihatkan melalui vonis dalam beberapa kasus. Tapi, jika kanal
dibiarkan tetap terbuka, agak sulit membayangkan perilaku ini bisa
berkurang secara signifikan, apalagi dihentikan.
Bayangkan
jika Anda memenangi tender proyek di pemerintahan, lalu diminta menyetorkan
sekian persen kepada pejabat yang memuluskan kemenangan Anda. Jika
transaksi tunai dibatasi, misalnya sampai Rp 10 juta saja per hari, maka
untuk memberi suap Rp 1 miliar, transaksi yang diperlukan akan mencapai 100
kali. Atau kalau mau, kirimkan saja lewat transfer rekening. Kira-kira,
maukah si pejabat menerima transferan Anda?
Ah,
masih bisa bertransaksi di luar negeri. Benar juga. Tapi berapa banyak yang
akan melakukan itu? Di tengah aneka jurus yang mulai tak mempan, pembatasan
transaksi tunai ini justru belum pernah dijalankan. Sebab, memberantas
korupsi tak selalu harus dengan menangkap mereka yang telanjur tergoda,
karena akan lebih baik jika bisa mencegahnya. Tak perlu seperti petugas
yang lebih suka menunggu di ujung tikungan sambil berharap-harap ada yang
melanggar, lalu baru dia meniup peluitnya. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar