BAGI para ahli ekonomi, di dunia
ini hanya ada dua ilmu, yakni ilmu ekonomi dan ilmu nonekonomi. Pesan yang
tersirat bahwa setiap perkembangan ekonomi harus juga ditanggapi secara
ekonomi. Seminimal mungkin ditanggapi secara nonekonomi jika tak ingin
mengundang krisis ekonomi yang berdampak memprihatinkan dalam jangka
pendek, menengah, ataupun jangka panjang.
Dalam kaitan ini, para pemimpin
di mana saja, termasuk di negeri ini, harus cerdas membaca angka-angka yang
ada dan kemudian segera mengambil kebijakan tepat untuk mengantisipasinya.
Rumitnya, para pemimpin Indonesia ternyata lebih banyak dibuai pertimbangan
nonekonomi demi popularitas. Alhasil, mereka hanya berhenti pada angka yang
disajikan. Tak pernah atau terlambat melakukan antisipasi. Jangan
menoleransi pemimpin seperti ini.
Kondisi ekonomi Indonesia saat
ini tak bisa ditampik, lagi terancam krisis apabila defisit perdagangan dan
defisit transaksi berjalan tidak segera diatasi. Sudah selama sembilan
triwulan terakhir Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan. Rekor
defisit mencapai 9,8 miliar dollar AS pada triwulan II-2013.
Antisipasi yang terlambat ini
membuat nilai rupiah kini terus melemah, sudah menyentuh Rp 12.000 per
dollar AS. Sebenarnya, nilai rupiah yang lemah baik untuk ekspor produk
yang berbasis bahan baku lokal. Namun, pasar global yang melemah membuat
manfaat dari pelemahan rupiah lagi tak banyak berarti. Lagi pula
infrastruktur jelek, korupsi, dan ekonomi biaya tinggi tetap merajalela.
Daya saing ekspor rendah.
Celakanya, sebagian besar
defisit transaksi berjalan ini karena sumbangsih defisit perdagangan yang
terjadi sejak tahun 2012. Defisit perdagangan yang pertama kali terjadi
sejak tahun 1962. Impor produk nonminyak dan gas (migas) dan produk migas
melonjak. Sekali lagi bukti bahwa pemerintah tidak cerdik membaca
angka-angka dan mengantisipasinya.
Mengapa? Sudah sangat jelas
bahwa negeri ini mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen
dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi,
bahkan nomor dua di dunia setelah China, berkonsekuensi menumbuhkan
kebutuhan yang tinggi di dalam negeri. Apalagi dengan kehadiran 240 juta
penduduk.
Yang ada, pemerintah lebih
banyak menggadang-gadang hasil studi McKinsey Global Institute. Menurut
McKinsey, kekuatan ekonomi Indonesia kini 16 besar dunia dengan 45 juta
konsumen potensial. Kekuatan ini akan menjadi nomor tujuh dunia pada tahun
2030 dengan 135 juta konsumen potensial.
Bukan soal dengan laporan
McKinsey? Gugatan yang ada, apa yang dilakukan pemerintah dan semua pihak
di negeri ini menanggapi laporan McKinsey ini? Bagaimana menyikapi
angka-angka ini demi sebuah kepentingan ekonomi yang memberikan manfaat
besar bagi negeri ini sendiri.
Kebutuhan besar
Kekuatan konsumen yang besar
berarti ada kebutuhan yang besar. Dengan daya beli yang memadai, tak ada
persoalan dengan harga. Berapa pun yang ditawarkan, bisa diserap. Yang
terjadi adalah semua kebutuhan tadi dipasok dari impor. Bahkan juga produk
yang bisa dihasilkan di dalam negeri.
Impor pun melonjak jauh di atas
ekspor sehingga terjadi defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
Misalnya impor bahan bakar minyak (BBM). Pertumbuhan ekonomi membuat
produksi otomotif melonjak tinggi. Itu berarti ada kebutuhan BBM yang
besar. Harga minyak mentah yang melonjak karena situasi geopolitik membuat
beban impor minyak meningkat.
Beban subsidi pun pada APBN-P
2013 sebesar Rp 299,8 triliun. Subsidi BBM mencapai Rp 199,9 triliun dan
subsidi listrik Rp 99,9 triliun. Anehnya, subsidi yang memberatkan anggaran
ini terus dibiarkan dan harga BBM baru dinaikkan bulan Juni lalu. Semuanya
karena lebih banyak pertimbangan nonekonomi, tetapi juga karena kurang
cerdas membaca angka.
Seharusnya, beban subsidi
listrik itu memunculkan upaya mengalihkan kebijakan energi dari energi
fosil yang bakal habis ke energi baru dan terbarukan. Semisal, panas bumi lebih
diberikan insentif untuk menghasilkan listrik. Negeri di cincin api ini
punya potensi panas bumi hingga 28.000 megawatt (MW) atau 40 persen potensi
dunia. Yang ada baru 1.341 MW atau 4,6 persen.
Demikian pula menambah biodiesel
dalam BBM solar. Mandatori pencampuran baru dinaikkan menjadi 10 persen.
Padahal, produksi biodiesel berupa minyak kelapa sawit mentah (CPO) di
Indonesia begitu besar. Dana subsidi listrik bisa dialihkan ke industri
kelapa sawit nasional. Penghematan devisa pun terjadi.
Kenyataannya, pemerintah lebih
senang mengimpor BBM. Bahkan kilang di dalam negeri untuk mengolah minyak
mentah saja tak pernah dibangun sejak tahun 1970-an. Hal itu mengakibatkan
defisit transaksi berjalan terus membengkak. Impor terus tak terkendali dan
cadangan devisa terus susut.
Kurang cerdasnya pemerintah
membaca angka-angka kebutuhan ini juga terlihat pada pengembangan produk
manufaktur dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan domestik. Tekstil dan
produk tekstil impor kini mendominasi pasar lokal. Tengok ke Pasar Tanah
Abang, Jakarta, produk lokal tersingkir.
Produk pertanian yang bisa
dipasok dari dalam juga tidak diperhatikan dari sisi produksinya. Beberapa
produk hortikultura, daging sapi, jagung, dan kedelai praktis diimpor. Pada
era Orde Baru, produksi beberapa produk, seperti jagung, kedelai, dan
beras, bisa sangat tinggi.
Semisal, produksi kedelai tahun
2013 hanya 800.000 ton, padahal tahun 1992 mencapai 1,9 juta ton. Terpaksa
impor 2 juta ton kedelai per tahun. Bawang putih juga diimpor 410.000 ton
dan bawang merah perlu impor 100.000 ton per tahun. Total impor pangan
Indonesia tahun 2012 sebesar Rp 81,5 triliun. Nilai yang cukup besar untuk
menguras devisa.
Apa yang terjadi jika tidak
cerdas membaca angka-angka dan juga tidak segera mengambil kebijakan antisipasi?
Jangan pernah berharap nilai rupiah stabil menguat. Karena impor tetap
tinggi, jatuhnya rupiah akan membuat inflasi karena selisih kurs juga akan
merambat.
Bank Indonesia pun menaikkan
kebijakan bunga acuan (BI Rate) untuk mengatasi inflasi. Hal itu
mengakibatkan, pertumbuhan ekonomi terkoreksi. Padahal, pertumbuhan
dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi angka
kemiskinan.
Cadangan devisa Indonesia pernah
124 miliar dollar AS pada Agustus 2011. Kini tinggal 96 miliar dollar AS.
Kalau impor, khususnya BBM, terus dibiarkan, tak heran cadangan devisa akan
anjlok. Membuat kepercayaan terhadap perekonomian negeri ini juga rendah.
Memasuki tahun 2014, saat akan
diselenggarakan pemilihan presiden baru. Tak bisa lain pemimpin yang menjadi
favorit adalah yang cerdas membaca angka-angka ekonomi dan antisipatif.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar