Selasa, 17 Desember 2013

Surga di Telapak Kaki Ibu

Surga di Telapak Kaki Ibu
J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS,  17 Desember 2013
  


MENGAPA di telapak kaki, bukan di telapak tangan, di gendongan, atau di pangkuan ibu? Karena kaki adalah bagian tubuh yang menentukan arah perjalanan. Masa depan dan nasib anak tergantung dari langkah ibu; dengan kasih sayang disertai doa, mati raga, serta derita, ia menanamkan keutamaan hidup agar anaknya kelak hidup bahagia laiknya di surga.

Personifikasi perilaku tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bermetafora sebagai Ibu Pertiwi. Melalui rahimnya, telah lahir anak bangsa yang hebat-hebat, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Perjalanan sejarah menunjukkan, sejak kemerdekaan, Ibu Pertiwi lebih banyak berduka daripada sukanya. Ibu Pertiwi kadang-kadang tersenyum, tetapi terlalu banyak tragedi yang menyebabkan Ibu Pertiwi harus menguras air mata menyaksikan perilaku pemimpin negara yang sewenang-sewenang dan korup.

Di tengah tangis Ibu Pertiwi serta panasnya suhu politik menjelang pertarungan kekuasaan dalam Pemilu 2014, lahir dari rahim Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) anak bangsa yang oleh publik dianggap dapat menjadi salah seorang pemimpin yang memberikan harapan memperbaiki kehidupan rakyat. Sosok itu nama populernya Jokowi.

Serangkaian penelitian yang dilakukan beberapa lembaga survei menunjukkan tingkat sentimen publik dan elektabilitas Jokowi cenderung meningkat, seakan tidak terbendung. Contoh, survei CSIS, April 2013, elektabilitas Jokowi unggul jauh melampaui kandidat lain, 28,6 persen. Survei November 2013, merayap menjadi 34 persen. Kalau PDI-P mencalonkan Jokowi sebelum pileg, sebagai kandidat presiden, perolehan PDI-P dapat mencapai 29 persen, jauh melampaui perolehan PDI-P jika belum mencalonkannya, 17,6 persen. Hasil ini mengonfirmasi survei harian Kompas sebelumnya. Kecenderungan menguatnya daya gravitasi politik Jokowi memungkinkan pasangan Megawati-Jokowi (bukan Jokowi-Megawati) dapat mengungguli pasangan lain dalam Pilpres 2014.

Namun, ekspektasi dan nasib sentimen publik sangat bergantung kepada Ketua Umum PDI-P. Interes publik sebenarnya bergayung sambut dengan penegasan Megawati yang disampaikan dalam Rakernas PDI-P Ke-3, September lalu. Jokowi adalah salah satu kader PDI-P yang andal. Setelah peristiwa itu hubungan tampaknya semakin terjalin.

Bimbingan Megawati sangat diperlukan karena tantangan ke depan sangat besar. Beberapa isu penting, antara lain, pertama, demokrasi yang terjebak pada individualisme yang kapitalistik, sangat jauh dari gagasan besar Bung Hatta bahwa demokrasi yang cocok bagi bangsa Indonesia adalah sosio-demokrasi yang menekankan kebersamaan. Kedua, korupsi yang sudah menggerogoti seluruh tubuh Ibu Pertiwi melalui eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi keserakahan kekuasaan. Ketiga, wibawa negara yang terus surut akibat kepemimpinan yang lembek. Keempat, pertumbuhan ekonomi yang selalu dinyatakan fundamentalnya kuat, ternyata selain rentan terhadap perekonomian global, ketimpangan kaya-miskin semakin lebar.

Terakhir, lingkaran dalam PDI-P yang merasakan betapa getirnya menjadi kader partai oposisi selama hampir sepuluh tahun, ibaratnya berdarah-darah; mereka sangat ingin mendapatkan ”imbalan politik” kalau PDI-P memenangi Pileg dan Pilpres 2014. Harapan tersebut hampir mustahil kalau Jokowi sebagai kandidat presiden PDI-P menang dalam pilpres. Kecemasan tersebut muncul karena Jokowi setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak membabi buta merekrut pejabat publik ataupun memilih kontraktor. Dia teguh dengan prinsip transparan dan meritokratik, bukan kekerabatan politik. Oleh karena itu, elemen-elemen PDI-P itu akan mencoba menjegal agar kandidat pilpres dari PDI-P jangan Jokowi, tetapi tokoh lain yang dianggap lebih memahami hasrat mereka.

Namun, menghadapi isu tersebut bukan soal sulit bagi Megawati. Ia mahir mengelola dinamika internalnya. Antara lain, setelah petaka 27 Juli 1996, banyak kader PDI-P mengusulkan agar melakukan perlawanan keras terhadap penguasa dengan mengerahkan kekuatan massa (people’s power). Namun, Megawati kukuh supaya tragedi itu diselesaikan secara hukum. Banyak kader kecewa, tetapi ketajaman intuisi Megawati benar. Kasus tersebut akhirnya, dari 267 gugatan, seorang hakim memenangkan gugatan Megawati. Lebih dari sebuah kemenangan, Megawati telah mendidik kadernya agar taat hukum. 
Sekaligus menunjukkan karakter Megawati, sebagai pemimpin ia teguh dalam prinsip dan bersedia mengambil risiko. Hal itu merupakan modal kejayaan PDI-P dalam tahun-tahun berikutnya.

Sebagaimana Ibu Pertiwi melahirkan para pendiri bangsa, Megawati melalui rahim PDI-P melahirkan tokoh yang sedang diasuhnya untuk mengemban tugas berat. Bagi Jokowi, ia harus mengemban amanat tersebut dengan amanah. Jangan menjadi Malin Kundang. Ingat, jalan ke surga berada di telapak kaki ibu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar