MENGAPA di telapak kaki,
bukan di telapak tangan, di gendongan, atau di pangkuan ibu? Karena kaki
adalah bagian tubuh yang menentukan arah perjalanan. Masa depan dan nasib
anak tergantung
dari langkah ibu; dengan kasih sayang disertai doa, mati raga, serta
derita, ia menanamkan keutamaan hidup agar anaknya kelak hidup bahagia
laiknya di surga.
Personifikasi perilaku tersebut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bermetafora sebagai Ibu Pertiwi. Melalui
rahimnya, telah lahir anak bangsa yang hebat-hebat, seperti Soekarno,
Hatta, dan Sjahrir. Perjalanan sejarah menunjukkan, sejak kemerdekaan, Ibu
Pertiwi lebih banyak berduka daripada sukanya. Ibu Pertiwi kadang-kadang
tersenyum, tetapi terlalu banyak tragedi yang menyebabkan Ibu Pertiwi harus
menguras air mata menyaksikan perilaku pemimpin negara yang
sewenang-sewenang dan korup.
Di tengah tangis Ibu Pertiwi serta
panasnya suhu politik menjelang pertarungan kekuasaan dalam Pemilu 2014,
lahir dari rahim Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) anak bangsa
yang oleh publik dianggap dapat menjadi salah seorang pemimpin yang
memberikan harapan memperbaiki kehidupan rakyat. Sosok itu nama populernya
Jokowi.
Serangkaian penelitian yang dilakukan
beberapa lembaga survei menunjukkan tingkat sentimen publik dan elektabilitas
Jokowi cenderung meningkat, seakan tidak terbendung. Contoh, survei CSIS,
April 2013, elektabilitas Jokowi unggul jauh melampaui kandidat lain, 28,6
persen. Survei November 2013, merayap menjadi 34 persen. Kalau PDI-P
mencalonkan Jokowi sebelum pileg, sebagai kandidat presiden, perolehan
PDI-P dapat mencapai 29 persen, jauh melampaui perolehan PDI-P jika belum
mencalonkannya, 17,6 persen. Hasil ini mengonfirmasi survei harian Kompas sebelumnya. Kecenderungan
menguatnya daya gravitasi politik Jokowi memungkinkan pasangan
Megawati-Jokowi (bukan Jokowi-Megawati) dapat mengungguli pasangan lain
dalam Pilpres 2014.
Namun, ekspektasi dan nasib sentimen
publik sangat bergantung kepada Ketua Umum PDI-P. Interes publik sebenarnya
bergayung sambut dengan penegasan Megawati yang disampaikan dalam Rakernas
PDI-P Ke-3, September lalu. Jokowi adalah salah satu kader PDI-P yang
andal. Setelah peristiwa itu hubungan tampaknya semakin terjalin.
Bimbingan Megawati sangat diperlukan
karena tantangan ke depan sangat besar. Beberapa isu penting, antara lain,
pertama, demokrasi yang terjebak pada individualisme yang kapitalistik,
sangat jauh dari gagasan besar Bung Hatta bahwa demokrasi yang cocok bagi
bangsa Indonesia adalah sosio-demokrasi yang menekankan kebersamaan. Kedua,
korupsi yang sudah menggerogoti seluruh tubuh Ibu Pertiwi melalui
eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi keserakahan kekuasaan. Ketiga,
wibawa negara yang terus surut akibat kepemimpinan yang lembek. Keempat,
pertumbuhan ekonomi yang selalu dinyatakan fundamentalnya kuat, ternyata
selain rentan terhadap perekonomian global, ketimpangan kaya-miskin semakin
lebar.
Terakhir, lingkaran dalam PDI-P yang
merasakan betapa getirnya menjadi kader partai oposisi selama hampir
sepuluh tahun, ibaratnya berdarah-darah; mereka sangat ingin mendapatkan
”imbalan politik” kalau PDI-P memenangi Pileg dan Pilpres 2014. Harapan
tersebut hampir mustahil kalau Jokowi sebagai kandidat presiden PDI-P
menang dalam pilpres. Kecemasan tersebut muncul karena Jokowi setelah
menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak membabi buta merekrut pejabat publik
ataupun memilih kontraktor. Dia teguh dengan prinsip transparan dan
meritokratik, bukan kekerabatan politik. Oleh karena itu, elemen-elemen
PDI-P itu akan mencoba menjegal agar kandidat pilpres dari PDI-P jangan
Jokowi, tetapi tokoh lain yang dianggap lebih memahami hasrat mereka.
Namun, menghadapi isu tersebut bukan soal
sulit bagi Megawati. Ia mahir mengelola dinamika internalnya. Antara lain,
setelah petaka 27 Juli 1996, banyak kader PDI-P mengusulkan agar melakukan
perlawanan keras terhadap penguasa dengan mengerahkan kekuatan massa (people’s
power). Namun, Megawati kukuh supaya tragedi itu diselesaikan secara
hukum. Banyak kader kecewa, tetapi ketajaman intuisi Megawati benar. Kasus
tersebut akhirnya, dari 267 gugatan, seorang hakim memenangkan gugatan
Megawati. Lebih dari sebuah kemenangan, Megawati telah mendidik kadernya
agar taat hukum.
Sekaligus menunjukkan karakter Megawati, sebagai pemimpin
ia teguh dalam prinsip dan bersedia mengambil risiko. Hal itu merupakan
modal kejayaan PDI-P dalam tahun-tahun berikutnya.
Sebagaimana Ibu Pertiwi melahirkan para
pendiri bangsa, Megawati melalui rahim PDI-P melahirkan tokoh yang sedang
diasuhnya untuk mengemban tugas berat. Bagi Jokowi, ia harus mengemban
amanat tersebut dengan amanah. Jangan menjadi Malin Kundang. Ingat, jalan
ke surga berada di telapak kaki ibu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar