Rabu, 25 Desember 2013

Berdaulatnya Negara Tanpa Hukum

Berdaulatnya Negara Tanpa Hukum
Mariyadi Faqih  ;   Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Peneliti dan Penulis sejumlah Buku Ilmu Hukum
SUARA KARYA,  24 Desember 2013

  

Dalam Pasal 1 UUD 1945 sudah digariskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Masuknya identitas Indonesia sebagai negara hukum dalam batang tubuh konstitusi, dan tidak lagi di penjelasan konstitusi, sebenarnya diorientasikan untuk menegakan jati diri Indonesia sebagai negara hukum.

Sayangnya, paska masuknya identitas itu, Indonesia tetap dituding sebagai negara yang tidak layak mengibarkan bendera negara hukum atau bahkan Indonesia masih layak distigmatisasi sebagai negara tanpa hukum (state without law). Mengapa demikian? Meski hakim-hakim Mahkamah Agung (MA) semakin berani menjatuhkan vonis yang berisi sanksi pidana berlapis, mulai dari sanksi penjara dan denda atau penggantian berkali lipat, namun koruptor kelas teri, sedang, hingga kakap, masih berlomba mencari peruntungan, yang mengindikasikan kalau norma yuridis bukanlah hal fundamental dan sakral yang harus dijadikan supremasi rule of live-nya.

Kedaulatan "negara tanpa hukum" benar-benar masih menjadi julukan yang tepat bagi Republik ini. Pasalnya, semakin banyak problem hukum yang bermunculan, sementara banyak kasus besar yang belum terselesaikan. Bagaimana jadinya nasib negara hukum ini, jika ke depan, perkara besar terus membanjir, sementara problem lama belum juga tuntas atau tidak jelas kabarnya. Bahkan sebagian elemen masyarakat bersesimpulan kalau kasus lama telah mengisi agenda kasus mengambang (floating case).

Kita tentu belum lupa dengan kasus Century, yang masih temaram, meski sudah ada yang jadi tersangka yaitu, Budi Mulya. Di mata publik, kasus bernilai Rp 6,7 triliun telah tergerus aktualitasnya oleh kasus-kasus baru. Bagaimana seandainya suatu ketika terjadi kasus yang kadarnya serupa dengan Century, lebih besar dari Hambalang, atau mengorbankan keuangan negara dalam jumlah besar dan melibatkan elite-elite kekuasaan, apakah KPK atau penegak hukum lainnya masih punya waktu dan kapabilitas untuk menyelesaikannya?

Keniscayaan bisa terjadi dan terbongkarnya kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan korban keuangan negara dalam jumlah besar bukanlah kemustahilan. Pasalnya sistem politik, model pengelolaan partai politik, dan "lembeknya" kinerja aparat penegak hukum lebih berelasi pada masalah uang. Yang paling menyolok misalnya adalah soal sistem rekrutmen kader untuk bakal calon legislatif atau pelamar calon pimpinan daerah hingga ke ranah suksessi parpol, yang mengadalkan pada uang (upeti dan sejenisnya). Sistem ini tak bisa dipungkiri oleh siapapun, merupakan akar fundamental yang menentukan terjadinya dan maraknya korupsi.

Penempatan uang dalam derajat privilitas itu bisa membuat banyak atau beragam baksil negara (korupsi), sewaktu-waktu meledak, yang mengakibatkan tercabik-cabik atau kian berdaulatnya negara tanpa hukum. Jati diri negara hukum dipermainkan oleh elemen penegak hukum dan sindikasinya yang sama-sama telah memperlakukan uang sebagai nafas utamanya. Akibat uang yang membelenggu profesi, negara hukum tereliminasi. Dalam identitas formal, barangkali negara hukum tak akan pernah terhapus, namun dalam kenyataan, negara hukum tidak bisa memberi apa-apa rakyat atau pencari keadilan. Ini tak terlepas dari sepak terjang aparatnya yang lebih disibukkan memburu uang daripada melaksanakan kinerja secara transparan, egaliter, berkejujuran, dan berkeadilan.

"Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya," demikian pernyataan John Hagee, dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan, yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).

Pernyataan Hagee tersebut sejatinya mengajarkan, bahwa setiap orang atau negara harus hati-hati dalam menyikapi pesona uang. Kehadiran uang bukan hanya bisa menipu, mengelabuhi, dan menyesatkan orang, tetapi juga dapat menggiring orang menjadi "bajingan berdasi" dan keji yang menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan sesama.

Negara hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu membahagiakan atau menyejahterakan rakyat, namun karena negara ini dihuni atau dipilari oleh banyak oportunis, khususnya dalam lingkungan peradilan, akibatnya negara hukum ini, melalui instrumen-instrumennya gagal memberi yang terbaik pada rakyatnya. Itu artinya, negara hukum yang sebe-narnya berfungsi jadi payung besar kehidupan rakyat, khususnya dalam membumikan program-program pemanusiaan dan penyejahteraan rakyat, serta keadilan bisa tergiring jadi negara beridentitas "gagal total", manakala praksis manajemen peradilannya terseret dalam sindikasi politik, yang sindikasi ini berelasi pada soal uang dan kedudukan.

Bukan hanya idea besar Hagge di atas yang meminta orang mewaspadai uang. Barnum, sebagai Anggota Pendiri Sirkus Barnum & Bailey, juga mengingatkan, bahwa uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan yang sangat buruk. Saat uang berada di tangan "tuan" yang salah, maka niscaya uang inipun tidak akan bisa digunakan jadi instrumen menyejahterakan dan sebaliknya dapat dijadikan pengaman menyelamatkan atau melindungi kesejahteraan sejumlah orang atau korporasi, yang keduanya ini berpengaruh secara politik pada negara.

Senyatanya, uang di negara ini bisa digunakan sebagai alat mati (berhala) yang membuat negara hukum beralih jadi negeri permainan, yang menempatkan setiap elemen kekuasaan dan politik, mampu beradu okol dan akal untuk saling menjegal dan menghabisi. Anggaran optimalisasi 2014 misalnya merupakan sumber kriminogen yang potensial melahirkan dan mengakselerasikan bibit-bibit koruptor.

Dus, negara hukum pun tidak akan mampu memberi keadilan pada rakyat miskin ketika ia semakin terbeli oleh kekuatan tertentu, yang kemudian meluluhkan segala aktivitas bertajuk gerakan moral dan penyemaian keadilan. Kekuasaan yang terbeli atau terintervensi ini, merupakan baksil utama yang membuat negara hukum kehilangan elan vitalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar