Berdaulatnya
Negara Tanpa Hukum
Mariyadi Faqih ; Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Peneliti dan Penulis sejumlah Buku Ilmu Hukum |
SUARA
KARYA, 24 Desember 2013
Dalam Pasal 1 UUD 1945 sudah digariskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Masuknya identitas Indonesia sebagai negara
hukum dalam batang tubuh konstitusi, dan tidak lagi di penjelasan konstitusi,
sebenarnya diorientasikan untuk menegakan jati diri Indonesia sebagai negara
hukum.
Sayangnya, paska masuknya identitas itu,
Indonesia tetap dituding sebagai negara yang tidak layak mengibarkan bendera
negara hukum atau bahkan Indonesia masih layak distigmatisasi sebagai negara
tanpa hukum (state without law).
Mengapa demikian? Meski hakim-hakim Mahkamah Agung (MA) semakin berani menjatuhkan
vonis yang berisi sanksi pidana berlapis, mulai dari sanksi penjara dan denda
atau penggantian berkali lipat, namun koruptor kelas teri, sedang, hingga
kakap, masih berlomba mencari peruntungan, yang mengindikasikan kalau norma
yuridis bukanlah hal fundamental dan sakral yang harus dijadikan supremasi rule of live-nya.
Kedaulatan "negara tanpa hukum"
benar-benar masih menjadi julukan yang tepat bagi Republik ini. Pasalnya,
semakin banyak problem hukum yang bermunculan, sementara banyak kasus besar
yang belum terselesaikan. Bagaimana jadinya nasib negara hukum ini, jika ke
depan, perkara besar terus membanjir, sementara problem lama belum juga
tuntas atau tidak jelas kabarnya. Bahkan sebagian elemen masyarakat
bersesimpulan kalau kasus lama telah mengisi agenda kasus mengambang (floating case).
Kita tentu belum lupa dengan kasus Century, yang masih
temaram, meski sudah ada yang jadi tersangka yaitu, Budi Mulya. Di mata
publik, kasus bernilai Rp 6,7 triliun telah tergerus aktualitasnya oleh
kasus-kasus baru. Bagaimana seandainya suatu ketika terjadi kasus yang
kadarnya serupa dengan Century, lebih besar dari Hambalang, atau mengorbankan
keuangan negara dalam jumlah besar dan melibatkan elite-elite kekuasaan,
apakah KPK atau penegak hukum lainnya masih punya waktu dan kapabilitas untuk
menyelesaikannya?
Keniscayaan bisa terjadi dan terbongkarnya
kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) dengan korban keuangan negara dalam jumlah besar bukanlah
kemustahilan. Pasalnya sistem politik, model pengelolaan partai politik, dan
"lembeknya" kinerja aparat penegak hukum lebih berelasi pada
masalah uang. Yang paling menyolok misalnya adalah soal sistem rekrutmen
kader untuk bakal calon legislatif atau pelamar calon pimpinan daerah hingga
ke ranah suksessi parpol, yang mengadalkan pada uang (upeti dan sejenisnya).
Sistem ini tak bisa dipungkiri oleh siapapun, merupakan akar fundamental yang
menentukan terjadinya dan maraknya korupsi.
Penempatan uang dalam derajat privilitas itu
bisa membuat banyak atau beragam baksil negara (korupsi), sewaktu-waktu
meledak, yang mengakibatkan tercabik-cabik atau kian berdaulatnya negara
tanpa hukum. Jati diri negara hukum dipermainkan oleh elemen penegak hukum
dan sindikasinya yang sama-sama telah memperlakukan uang sebagai nafas
utamanya. Akibat uang yang membelenggu profesi, negara hukum tereliminasi.
Dalam identitas formal, barangkali negara hukum tak akan pernah terhapus,
namun dalam kenyataan, negara hukum tidak bisa memberi apa-apa rakyat atau
pencari keadilan. Ini tak terlepas dari sepak terjang aparatnya yang lebih
disibukkan memburu uang daripada melaksanakan kinerja secara transparan,
egaliter, berkejujuran, dan berkeadilan.
"Uang tidak dapat
memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang
yang tinggal di dalamnya," demikian pernyataan John Hagee, dalam buku
Barack Obama Menerjang Harapan, yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).
Pernyataan Hagee tersebut sejatinya
mengajarkan, bahwa setiap orang atau negara harus hati-hati dalam menyikapi
pesona uang. Kehadiran uang bukan hanya bisa menipu, mengelabuhi, dan
menyesatkan orang, tetapi juga dapat menggiring orang menjadi "bajingan
berdasi" dan keji yang menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan,
kedamaian, dan kesejahteraan sesama.
Negara hukum merupakan wujud negara yang
idealisasinya mampu membahagiakan atau menyejahterakan rakyat, namun karena
negara ini dihuni atau dipilari oleh banyak oportunis, khususnya dalam
lingkungan peradilan, akibatnya negara hukum ini, melalui instrumen-instrumennya
gagal memberi yang terbaik pada rakyatnya. Itu artinya, negara hukum yang
sebe-narnya berfungsi jadi payung besar kehidupan rakyat, khususnya dalam
membumikan program-program pemanusiaan dan penyejahteraan rakyat, serta
keadilan bisa tergiring jadi negara beridentitas "gagal total",
manakala praksis manajemen peradilannya terseret dalam sindikasi politik,
yang sindikasi ini berelasi pada soal uang dan kedudukan.
Bukan hanya idea besar Hagge di atas yang
meminta orang mewaspadai uang. Barnum, sebagai Anggota Pendiri Sirkus Barnum
& Bailey, juga mengingatkan, bahwa uang merupakan hamba yang sangat baik,
tetapi tuan yang sangat buruk. Saat uang berada di tangan "tuan"
yang salah, maka niscaya uang inipun tidak akan bisa digunakan jadi instrumen
menyejahterakan dan sebaliknya dapat dijadikan pengaman menyelamatkan atau
melindungi kesejahteraan sejumlah orang atau korporasi, yang keduanya ini
berpengaruh secara politik pada negara.
Senyatanya, uang di negara ini bisa digunakan
sebagai alat mati (berhala) yang membuat negara hukum beralih jadi negeri
permainan, yang menempatkan setiap elemen kekuasaan dan politik, mampu beradu
okol dan akal untuk saling menjegal dan menghabisi. Anggaran optimalisasi
2014 misalnya merupakan sumber kriminogen yang potensial melahirkan dan
mengakselerasikan bibit-bibit koruptor.
Dus, negara hukum pun tidak akan mampu memberi keadilan
pada rakyat miskin ketika ia semakin terbeli oleh kekuatan tertentu, yang
kemudian meluluhkan segala aktivitas bertajuk gerakan moral dan penyemaian
keadilan. Kekuasaan yang terbeli atau terintervensi ini, merupakan baksil
utama yang membuat negara hukum kehilangan elan vitalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar