Rabu, 25 Desember 2013

Tunda Pemilu 2014

Tunda Pemilu 2014
Samsudin Tarigan    MAYJEN TNI Purn.,
Mantan Ketua Komisi 2 DPR, Mantan Pangdam Mulawarman
REPUBLIKA,  24 Desember 2013

  

Pembukaan UUD 1945 sebagai norma dasar negara (state fundamental norm) telah disepakati tidak boleh diubah. Dia harus menjadi acuan kebijaksanaan, strategi, dan keputusan semua bi dang struktur bernegara (Poleksosbud). Dia merupakan turunan pertama dasar negara Pancasila. Pembukaan UUD 45 itu memberikan panduan tentang sistem pemerintahan RI. Sistem pemerintahan ini secara tegas dinyatakan pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 45. Lebih rinci sistem pemerintahan diatur dalam Penjelasan UUD 45 pada "Bab Sistem Pemerintahan Negara" Pasal III titik 3. Di sini dijelaskan bahwa MPR adalah "Pemegang Kekuasaan Tertinggi". Presiden diangkat serta tunduk dan bertanggung jawab kepada Lembaga Tertinggi Negara itu. 

UUD 45 yang telah diamendemen empat kali, melahirkan UUD 2002. Namun, UUD 2002 itu, yang seharusnya turunan Pembukaan UUD 45, telah menyimpang. Penyimpangan UUD 2002 yang paling mendasar terletak pada sistem pemerintahan, seperti yang tertulis pada pasal 1 ayat 2 dan pasal 6A ayat 1. Kedua pasal ini telah menghilangkan kekuasaan MPR. Padahal, kekuasaan MPR itu telah diamanatkan Pembukaan UUD 45 dan wajib hukumnya dipatuhi. 
Dengan kata lain UUD 2002 secara mendasar telah cacat karena bukan lagi turunan Pembukaan UUD 45. 

Sistem pemerintahan RI pernah dibahas dalam rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945. Atas kesepakatan, rapat itu ditetapkan pemerintah RI akan menggunakan sistem sendiri sebagai sistem pemerintahan demokratis RI. Dalam sistem itu terdapat ciri presidensial sekaligus parlementer. 

UUD 2002 mengarahkan pemerintah RI menganut sistim presidensial. Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar sistem presidensial berjalan adalah: partai politik pendukung presiden harus memiliki suara mayoritas di DPR. Pemerintah yang sekarang tidak memenuhi syarat itu. Keadaan saat ini menunjukkan tidak harmonisnya hubungan eksekutif dan legislatif, yang berdampak pada pelaksanaan program pemerintah. Pemerintah berada pada posisi lemah dalam berhadapan dengan DPR RI sehingga `trust" kepada pemerintah sangat tipis.

Elemen dasar suatu negara yang kuat terletak pada otoritas penegak hukum yang efektif. Justru masalah hukum paling carut-marut dan paling menjatuhkan wibawa pemerintah. Krisis kepemimpinan, krisis moral di kalangan penyelenggara negara dan hukum yang sudah kehilangan legitimasi adalah penyebab masyarakat frustrasi dan apatis. "Silent leges inter arma" kata Cicero. 

Jika hukum bisu senjata akan bicara. Senjata di sini dapat berarti kerusuhan.
Kondisi masyarakat, seperti jumlah penduduk yang begitu besar, angka kemiskinan yang tinggi, ketimpangan ekonomi, sikap intoleransi yang telah menimbulkan konflik meluas, serta korupsi yang sistematis, telah membawa masyarakat ke arah berperliku a social di semua lapisan. Keadaan itu merupakan indikator suatu negara berpotensi gagal. 

Ada pemikiran supaya segera mengkaji ulang --kata lain dari amandemen ke-5-- UUD 45. Karena adanya konstrein waktu maka Pemilu 2014 dengan UU Pemilu dan sistem yang sekarang akan terlaksana sebelum kaji ulang selesai. Artinya, setelah Pemilu 2014 sistem pemerintahan akan tetap seperti sekarang yaitu sistem pemerintahan yang diamanatkan UUD 2002 yang cacat itu. Pemilihan anggota DPR RI, DPRD, dan kepala-kepala daerah akan tetap marak dengan transaksi politik, money politics, kekerasan, dan ekonomi biaya tinggi. Carut-marut keadaan tidak akan berubah paling tidak untuk 5-10 tahun ke depan. 

Untuk keselamatan rakyat dan agar kita kembali kepada sistem pemerintahan yang diamanatkan Pembukaan UUD 45, maka pemilu menjadi faktor sensitivitas dan sentral sifatnya. Tinggal pilih, Pemilu 2014 berjalan sesuai waktu, tetapi amanat Pembukaan UUD-45 kita ing kari dan kita tetap dalam keadaan carut-marut, atau Pemilu 2014 ditunda dulu.
Jika Pemilu 2014 ditunda maka visualisasi selanjutnya adalah sebagai berikut: jabatan presiden dan wakil presiden yang sekarang berakhir pada waktunya.
Untuk mengisi kekosongan dibentuk Dewan Presidium yang akan menjalankan pemerintahan. Pada masa Dewan Presidium dilakukan amendemen ke-5 UUD 45 yang memuat, antara lain, RI akan kembali ke "sistem sendiri". Pada masa itu pula UU Pemilu, UU Kepartaian, dan lain-lain dibuat. Selanjutnya pemilu dilakukan dengan UU pemilu yang baru. Anggota Dewan Presidium terdiri atas para tokoh dan cendekiawan serta para akademisi yang kesemuanya non-parpol. MPR, DPR RI, dan DPD tetap berfungsi dengan status sementara. 

Cara yang dipakai untuk melakukan "paket" perbaikan di atas adalah melalui Konsensus Nasional. Memang, cara ini inkonstitusional karena tidak diatur dalam   konstitusi kita; namun dapat menghindarkan gejolak seperti yang pernah kita lakukan pada Konsensus Nasional tahun 1966-1969.

Kunci tercapainya Konsensus Nasional berada pada "kemauan dan kesepakatan" partai-partai politik seperti yang terjadi pada tahun 1966-1969. Demi keselamatan rakyat dan NKRI dimintakan jiwa besar dan sifat kenegarawanan kita semua. Mari kita mundur selangkah untuk suatu lompatan jauh ke depan. Sekali lagi: solus populi suprima lex, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar