Rabu, 25 Desember 2013

Rakyat Mencari Pemimpin Jujur

Rakyat Mencari Pemimpin Jujur
Muhammad Najib  ;   Peneliti Muda pada Monash-Institute,
Ketua Kajian Ilmu Kalam di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
SUARA KARYA,  24 Desember 2013
  


Perihal kepemimpinan dewasa ini menjadi isu genting ditengah masyarakat. Mendekati pemilu 2014, berbagai survei dilakukan sebagai bentuk respon atas kegalauan masyarakat saat ini. Berdasarkan hasil survei, pemimpin yang paling dicari masyarakat saat ini adalah yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran atau dapat dipercaya. Sosok dipercaya itu menjadi syarat utama di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol) dan orang di dalamnya.

Hasil survei dari indikator politik Indonesia menyebutkan kriteria calon presiden (capres) yang dianggap penting adalah jujur atau dipercaya memperoleh porsi paling banyak, yakni 51 persen. Berikutnya perhatian kepada masyarakat (24 persen), memiliki kecakapan memimpin (12 persen), tegas (7 persen), berwibawa (8 persen), dan pintar (1 persen). Data tersebut dapat dibaca, pemimpin yang pintar tidak dianggap penting namun bagi masyarakat yang penting adalah kejujuran.

Maju atau mundur, kejayaan atau kejatuhan sebuah bangsa sangat erat terkait dengan perihal kepemimpinan. Memang, kualitas pemimpin (baca: pintar) memiliki peran sangat signifikan dalam membuat sebuah bangsa dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam tata pergaulan dunia global yang tidak hanya semakin kompetitif, tetapi dalam konteks-konteks tertentu, terjadi pula upaya untuk menindas dan menghegemoni suatu kekuatan atau golongan yang ingin menguasai dunia. Namun, untuk apa pemimpin pintar kalau hanya "meminteri" rakyatnya. Bahkan, ketika kita melihat fenomena dewasa ini, pemimpin pintar memiliki skill hebat dibidang tertentu tapi tidak begitu memiliki signifikansi bagi kemajuan bangsa ini. Betapa hebatnya politisi bahkan elite negara yang mahir berdebat dan piawai menyusun anggaran, ujung-ujungnya banyak diantara mereka yang berurusan dengan kasus hukum dan terbelit skandal korupsi.

Tentu masih hangat di benak masyarakat menjelang hari kemerdekaan Indonesia, ada kado super istimewa, orang dari kalangan akademisi berpendidikan tinggi justru melakukan korupsi dengan skala luar biasa. 

Pertanyaannya, apakah kurang pintar seorang guru dari universitas papan atas menangani soal perminyakan? Selama ini, dunia pendidikan (baca: akademisi), dikenal steril dari praktik korupsi sehingga dipercaya masyarakat. Alih-alih mampu memimpin, kepercayaan publik justru runtuh seketika melihat fakta "sang guru besar" terlibat skandal suap.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin sejati adalah orang yang tak hanya mampu membaca pikiran rakyat, memiliki pangkat tinggi, mahir berdebat bahkan membaca peta dunia secara komprehensif, tetapi lebih dari itu, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dimanapun dan dalam keadaan apapun itu. 

Sebab, selama ini kebanyakan para elite politik menampilkan dua wajah yakni yang menyeru kebaikan di depan publik tetapi, diam-diam di belakang bertindak sendiri memperkaya diri. Inilah yang harus diwaspadai, jangan sampai pada pemilu nanti rakyat tertipu oleh pemimpin polesan.

Kini, rakyat benar-benar jenuh dengan pemimpin yang membangun track record dari polesan media dan lain sebagainya. Rakyat saat ini sudah pintar dan mampu menilai pemimpin yang patut dijadikan pemimpin. Jika para politisi atau elite di negeri ini masih mengandalkan pencitraan dan mengumbar janji, maka sudah bisa dipastikan masyarakat tidak akan melirik mereka sedikitpun.

Oleh sebab itu, para politisi dan elite di negeri ini mau tidak mau, suka tidak suka harus mengikuti harapan atau idaman rakyat. Jangan anggap suara rakyat dapat dibeli. Sebesar apa pun materi yang diberikan mungkin diterima akan tetapi bukan berarti masyarakat memilihnya. Oleh sebab itu, untuk porpol dan elite di dalamnya percuma mengeluarkan kucuran dana besar-besaran, toh akhirnya rakyat akan lebih percaya pemimpin yang jelas track record-nya.

Ada adagium, pemimpin jujur, rakyat makmur. Namun, kenapa Indonesia yang kaya raya tetapi mengapa sampai saat ini rakyat Indonesia kebanyakan hidup dibawah garis kemiskinan? Apakah kekayaan negeri ini tidak mampu menyejahterakan rakyatnya? Jawabannya, adalah para pemimpin kita suka berbohong. Lihat saja bagaimana mereka memainkan anggaran proyek-proyek bernilai kakap, atau mempermainkan anggaran untuk diri sendiri atau kelompoknya. Akibatnya, kesejahteraan rakyat mandeg di kantong para elite negara.

Harus diakui bahwa saat ini rakyat sudah jenuh melihat kelakuan para pemimpinnya yang tidak bertanggungjawab. Karena itu, masyarakat sangat menaruh harapan terhadap pemimpin yang jujur dan bisa dipercaya dalam menjalankan amanah. Tentu tidak hanya dalam takaran nasional melainkan juga di level lebih rendah, sejak dari pedesaan hingga kabupaten/kot dan provinsi. Rakyat percaya bahwa pemimpin yang jujur dan peduli terhadap mereka pantas menduduki kursi nomor satu untuk lima tahun kedepan.

Jika bijak, sesungguhnya pemimpin idaman masyarakat saat ini sudah nampak di depan mata. Pemimpin yang benar-benar tulus menyambangi persoalan masyarakat dan segera mencari jalan keluar, lalu segera turun tangan, bukan pemimpin polesan lewat distorsi opini-opini yang dikemas sedemikian rupa untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Sekali lagi, rakyat tidak bisa dibohongi lagi, mereka tahu dan pintar memilih calon pemimpin. Masyarakat pemilih sudah kapok dengan pemimpin yang tumbuh dari pencitraan pada pemilu lalu dan tidak akan terjerumus ke dalam lubang yang sama pada pemilu 2014 nanti.

Sekarang rakyat meminta kepada parpol dan para elite politik yang ingin menarik simpati masyarakat pada pemilu nanti, tidak perlu mengorbankan harta yang banyak, tetapi cukup tidak korupsi setelah berkuasa. Artinya, bagi masyarakat pemilih, pemimpin yang jujur atau dipercaya merupakan sebuah keniscayaan dan tidak dapat ditawar lagi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar