Rakyat Mencari
Pemimpin Jujur
Muhammad Najib ; Peneliti Muda pada Monash-Institute,
Ketua Kajian Ilmu Kalam di
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
KARYA, 24 Desember 2013
Perihal kepemimpinan dewasa ini menjadi isu genting
ditengah masyarakat. Mendekati pemilu 2014, berbagai survei dilakukan sebagai
bentuk respon atas kegalauan masyarakat saat ini. Berdasarkan hasil survei,
pemimpin yang paling dicari masyarakat saat ini adalah yang mengedepankan
nilai-nilai kejujuran atau dapat dipercaya. Sosok dipercaya itu menjadi
syarat utama di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik
(parpol) dan orang di dalamnya.
Hasil survei dari indikator politik Indonesia menyebutkan
kriteria calon presiden (capres) yang dianggap penting adalah jujur atau
dipercaya memperoleh porsi paling banyak, yakni 51 persen. Berikutnya
perhatian kepada masyarakat (24 persen), memiliki kecakapan memimpin (12
persen), tegas (7 persen), berwibawa (8 persen), dan pintar (1 persen). Data
tersebut dapat dibaca, pemimpin yang pintar tidak dianggap penting namun bagi
masyarakat yang penting adalah kejujuran.
Maju atau mundur, kejayaan atau kejatuhan sebuah bangsa
sangat erat terkait dengan perihal kepemimpinan. Memang, kualitas pemimpin
(baca: pintar) memiliki peran sangat signifikan dalam membuat sebuah bangsa
dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam tata pergaulan dunia
global yang tidak hanya semakin kompetitif, tetapi dalam konteks-konteks
tertentu, terjadi pula upaya untuk menindas dan menghegemoni suatu kekuatan
atau golongan yang ingin menguasai dunia. Namun, untuk apa pemimpin pintar
kalau hanya "meminteri" rakyatnya. Bahkan, ketika kita melihat
fenomena dewasa ini, pemimpin pintar memiliki skill hebat dibidang tertentu
tapi tidak begitu memiliki signifikansi bagi kemajuan bangsa ini. Betapa
hebatnya politisi bahkan elite negara yang mahir berdebat dan piawai menyusun
anggaran, ujung-ujungnya banyak diantara mereka yang berurusan dengan kasus
hukum dan terbelit skandal korupsi.
Tentu masih hangat di benak masyarakat menjelang hari
kemerdekaan Indonesia, ada kado super istimewa, orang dari kalangan akademisi
berpendidikan tinggi justru melakukan korupsi dengan skala luar biasa.
Pertanyaannya, apakah kurang pintar seorang guru dari universitas papan atas
menangani soal perminyakan? Selama ini, dunia pendidikan (baca: akademisi),
dikenal steril dari praktik korupsi sehingga dipercaya masyarakat. Alih-alih
mampu memimpin, kepercayaan publik justru runtuh seketika melihat fakta
"sang guru besar" terlibat skandal suap.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin sejati
adalah orang yang tak hanya mampu membaca pikiran rakyat, memiliki pangkat
tinggi, mahir berdebat bahkan membaca peta dunia secara komprehensif, tetapi
lebih dari itu, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dimanapun dan
dalam keadaan apapun itu.
Sebab, selama ini kebanyakan para elite politik
menampilkan dua wajah yakni yang menyeru kebaikan di depan publik tetapi,
diam-diam di belakang bertindak sendiri memperkaya diri. Inilah yang harus
diwaspadai, jangan sampai pada pemilu nanti rakyat tertipu oleh pemimpin
polesan.
Kini, rakyat benar-benar jenuh dengan pemimpin yang
membangun track record dari polesan media dan lain sebagainya. Rakyat saat
ini sudah pintar dan mampu menilai pemimpin yang patut dijadikan pemimpin.
Jika para politisi atau elite di negeri ini masih mengandalkan pencitraan dan
mengumbar janji, maka sudah bisa dipastikan masyarakat tidak akan melirik
mereka sedikitpun.
Oleh sebab itu, para politisi dan elite di negeri ini mau
tidak mau, suka tidak suka harus mengikuti harapan atau idaman rakyat. Jangan
anggap suara rakyat dapat dibeli. Sebesar apa pun materi yang diberikan
mungkin diterima akan tetapi bukan berarti masyarakat memilihnya. Oleh sebab
itu, untuk porpol dan elite di dalamnya percuma mengeluarkan kucuran dana
besar-besaran, toh akhirnya rakyat akan lebih percaya pemimpin yang jelas
track record-nya.
Ada adagium, pemimpin jujur, rakyat makmur. Namun, kenapa
Indonesia yang kaya raya tetapi mengapa sampai saat ini rakyat Indonesia
kebanyakan hidup dibawah garis kemiskinan? Apakah kekayaan negeri ini tidak
mampu menyejahterakan rakyatnya? Jawabannya, adalah para pemimpin kita suka
berbohong. Lihat saja bagaimana mereka memainkan anggaran proyek-proyek
bernilai kakap, atau mempermainkan anggaran untuk diri sendiri atau
kelompoknya. Akibatnya, kesejahteraan rakyat mandeg di kantong para elite
negara.
Harus diakui bahwa saat ini rakyat sudah jenuh melihat
kelakuan para pemimpinnya yang tidak bertanggungjawab. Karena itu, masyarakat
sangat menaruh harapan terhadap pemimpin yang jujur dan bisa dipercaya dalam
menjalankan amanah. Tentu tidak hanya dalam takaran nasional melainkan juga
di level lebih rendah, sejak dari pedesaan hingga kabupaten/kot dan provinsi.
Rakyat percaya bahwa pemimpin yang jujur dan peduli terhadap mereka pantas
menduduki kursi nomor satu untuk lima tahun kedepan.
Jika bijak, sesungguhnya pemimpin idaman masyarakat saat
ini sudah nampak di depan mata. Pemimpin yang benar-benar tulus menyambangi
persoalan masyarakat dan segera mencari jalan keluar, lalu segera turun
tangan, bukan pemimpin polesan lewat distorsi opini-opini yang dikemas
sedemikian rupa untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Sekali lagi, rakyat tidak bisa dibohongi lagi, mereka tahu
dan pintar memilih calon pemimpin. Masyarakat pemilih sudah kapok dengan
pemimpin yang tumbuh dari pencitraan pada pemilu lalu dan tidak akan
terjerumus ke dalam lubang yang sama pada pemilu 2014 nanti.
Sekarang rakyat meminta kepada parpol dan para elite
politik yang ingin menarik simpati masyarakat pada pemilu nanti, tidak perlu
mengorbankan harta yang banyak, tetapi cukup tidak korupsi setelah berkuasa.
Artinya, bagi masyarakat pemilih, pemimpin yang jujur atau dipercaya
merupakan sebuah keniscayaan dan tidak dapat ditawar lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar