Rabu, 18 Desember 2013

Pemira dan Ilusi Elektoral PKS

Pemira dan Ilusi Elektoral PKS
Teuku Kemal Fasya  ;    Dosen Atropologi FISIP
Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN,  17 Desember 2013
  


Seperti mengikuti tren politik Partai Demokrat (PD) melalui Konvensi Calon Presiden 2014, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga membuat model yang hampir sama dengan istilah Pemilihan Raya (Pemira).

Seperti juga latar-belakang konvensi PD karena buruknya perspektif elektoral partai tersebut pasca-Anas Urbaningrum menjadi tersangka kasus Hambalang, PKS pun melakukan Pemira dengan alasan yang hampir sama.

Sangat tidak bisa dipisahkan kausalitas tendensi Pemira dengan buruknya basis elektoral PKS, pascaterjangkarnya Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) ke dalam kasus suap impor daging sapi.

Meskipun Anis Matta mengatakan Pemira PKS berbeda dengan konvensi PD, tak sulit mencari persamaan keduanya, yaitu menggunakan momentum itu untuk meningkatkan kepercayaan diri dan menggembungkan potensi elektoral kepartaian. Alasan lain tentu sebagai proses demokratisasi internal.

Hasil Pemira di beberapa provinsi menempatkan tokoh yang telah dikenal publik sebagai yang paling dipilih, yaitu Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, dan Ahmad Heryawan (Aher).

Selain Aher, seluruh calon presiden PKS itu dikenal karena posisinya sebagai mantan atau tokoh nomor satu di partai berlambang dua sabit berpunggungan itu. Namun, euforia publik non-PKS menyambut proses tidaklah bergemuruh, malah cenderung sepi. Apa pasal?

Empat Faktor

Pertama, seperti juga konvensi PD, Pemira PKS ini bukan model ekspresi demokrasi prosedural ideal. Putusan akhir Pemira tidak ditentukan agregasi suara ikhwan/ikhwat PKS, tapi berada di tangan majelis syura sebagai pemegang veto.

Meski dibaluri definisi bahwa majelis syura bersifat kolektif-kolegial, pengaruh Hilmi Aminuddin sebagai ketua majelis syura tidak bisa dinomor-sekiankan. Seperti juga pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dewan Pembina PD, yang kebetulan saat ini juga menjabat sebagai ketua umum dan majelis tinggi. Pilihan akhir akan ditentukan di Pondok Pesantren Madani, Bogor.

Kedua, faktor ketokohan. Meskipun nama-nama kandidat presiden PKS (harus dibedakan dengan pengertian ketua umum PKS yang juga memakai istilah “presiden”) memiliki kharismatisme di internal partai, mereka bukanlah figur yang disukai apalagi dipilih publik luas.

Kadar kebangsaan keempat tokoh ini harus diuji lebih jauh lagi. Pandangan mereka masih terbonsai pada konsep eksklusif partai, belum meluas dan lugas mengartikulasikan gagasan-gagasan kebangsaan, pluralisme, HAM, dan demokrasi.

Ketiga, faktor partai PKS yang hanya partai medioker. Sejarah pemilu era Reformasi mencatat PKS hanya mampu menjadi partai menengah. Tiga kali pemilu di era Reformasi, PKS tidak pernah berhasil menyentuh persen dua digit. Dalam Pemilu 1999, PKS (saat itu bernama Partai Keadilan) hanya mendapat 1,38 persen suara.

Pemilu 2004 PKS mendapatkan 7,34 persen, dan pada Pemilu 2009 hanya beranjak sedikit (7,88 persen), meskipun persentase kursi di parlemen lebih besar dibandingkan persentase pemilu.

Dengan masih berlakunya undang-undang pemilu presiden (UU Nomor 42 Tahun 2008) bahwa syarat partai pengusung mandiri adalah 20 persen suara, tentu saja upaya kandidasi dari PKS hanya utopisme-absurd.

Keempat, opini politik dari internal ikut memperburuk citra PKS. Ketika akhirnya hakim Tipikor memberi vonis 16 tahun penjara untuk LHI, reaksi tokoh PKS tidak simpatik dan cenderung mendiskreditkan KPK. Komentar Hidayat, “Mau hukuman ringan, korupsilah yang banyak,” (kompas.com, 10 Desember) adalah komentar cengeng yang tidak menunjukkan talenta negarawan.

Kalangan internal PKS juga menyebarkan pesan bergambar melalui media sosial dan BlackBerry Messenger tentang perbandingan kasus korupsi Angelina Sondakh, Nazaruddin, Gayus, dan Djoko Susilo dengan judul “Lucunya KPK”. PKS ingin membesarkan pesan, LHI dihukum paling berat dan tidak diperlakukan secara adil.

Melalui pesan-pesan tersebut kalangan PKS membangun informasi bahwa LHI sudah dikorbankan dalam konteks pemberantasan korupsi. Publik membaca sikap ini sebagai sikap kekanak-kanakan. Alih-alih melakukan muhasabah (instropeksi) dan muzakarah (evaluasi internal), PKS justru mencari-cari kesalahan pihak lain dan membangun opini sebagai partai paling dizalimi.

Tentu saja dalam semangat pemberantasan korupsi sikap ini menjadi antitesis pembangunan politik bersih. Sikap ini ini pun semakin memperburuk citra dan basis elektoral non-kader.

Komentar Anis Matta bahwa ia tahu diri sebagai suku minoritas, ikut memperburuk iklim politik nasional yang seharusnya semakin menjauhi hantu-hantu primodialisme-sektarianisme, minoritas-mayoritas dalam transkrip politik.

Pilihan Realistik

Kiranya beberapa faktor di atas cukup memberikan gambaran, bahwa menampuk calon PKS sebagai calon Presiden RI seperti pungguk merindukan bulan, jauh panggang dari api. Belum lagi ditambah tren elektoral partai-partai berbasis Islam dalam Pemilu 2014 semakin mengecil.

Kemerosotan partai-partai Islam ini bisa dilihat dari ketiadaan ideologi, lemahnya kapabilitas figur, dan pilihan politik masyarakat yang semakin liberal dan rasional. Bahkan, rilis penelitian Lembaga Survei Nasional November lalu menyatakan, PKS adalah partai Islam yang paling tidak disukai pemilih.
Pandangan publik terkait kasus impor sapi, menunjukkan korupsi dan dakwah adalah hipokritas paling optimal. Belum lagi perilaku hedonistik dan seksualistik yang terungkap di fakta persidangan.

Jalan paling realistik yang perlu dipikirkan PKS adalah bukan terlibat dalam politik pertarungan bursa presiden, melainkan memperbaiki citra partai yang sedang terpuruk melalui pengemasan ulang partai. Jika sebelumnya kesan sebagai partai dakwah yang eksklusif dibentangkan di depan aktivitas dan iklan partai, kini PKS harus bersikap lebih objektif dengan dinamika politik nasional.

Perubahan tagline partai untuk Pemilu 2009 menjadi “Kerja, Cinta, dan Harmoni” adalah pilihan tepat ketika tagline “Bersih, Peduli, dan Profesional” gagal diwujudkan. Kesan sebagai partai yang menyukai isu-isu jarak jauh (distant issues) seperti sentimen anti-Amerika, Israel, dan kini pro-Morsi, menyebabkan PKS hanya menjadi partai internasionalis Islam politik dibandingkan Islam kultural Nusantara.

Sebagai partai Indonesia, PKS seharusnya lebih banyak terlibat dalam isu-isu jarak dekat dan problem-problem kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan Indonesia.

Meskipun partai ini secara genealogis berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin dan pemikiran seperti Sayyid Qutb, Hasan Al Banna, dan pemikir revivalis Islam, PKS juga harus berani membuka khazanah pada pemikiran Islam moderat dan belajar memahami demokrasi dalam konteks lokal (Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, 2012).

Seperti kesimpulan profesor politik Islam di Ohio University, Elizabeth Collins, PKS tetap bisa menjadi alternatif di tengah gerakan Islam radikal ke Indonesia. Jika saja mereka mau melakukan reposisi sebagai partai jalan tengah, tidak perlu mengurut pikiran dan hati memenangi Pemilu 2014 dan berambisi mencalonkan presiden dari kalangannya.

Lebih baik mencari partai koalisi yang yang tepat untuk menduetkan calon wakil presiden dari kalangannya. Hindari pikiran ilusionis dan tindakan-tindakan keliru yang membangkrutkan politik PKS di masa kurang lima bulan lagi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar