Seperti mengikuti tren politik
Partai Demokrat (PD) melalui Konvensi Calon Presiden 2014, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) juga membuat model yang hampir sama dengan istilah
Pemilihan Raya (Pemira).
Seperti juga latar-belakang
konvensi PD karena buruknya perspektif elektoral partai tersebut pasca-Anas
Urbaningrum menjadi tersangka kasus Hambalang, PKS pun melakukan Pemira
dengan alasan yang hampir sama.
Sangat
tidak bisa dipisahkan kausalitas tendensi Pemira dengan buruknya basis
elektoral PKS, pascaterjangkarnya Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) ke dalam kasus
suap impor daging sapi.
Meskipun
Anis Matta mengatakan Pemira PKS berbeda dengan konvensi PD, tak sulit
mencari persamaan keduanya, yaitu menggunakan momentum itu untuk
meningkatkan kepercayaan diri dan menggembungkan potensi elektoral
kepartaian. Alasan lain tentu sebagai proses demokratisasi internal.
Hasil
Pemira di beberapa provinsi menempatkan tokoh yang telah dikenal publik
sebagai yang paling dipilih, yaitu Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Tifatul
Sembiring, dan Ahmad Heryawan (Aher).
Selain
Aher, seluruh calon presiden PKS itu dikenal karena posisinya sebagai
mantan atau tokoh nomor satu di partai berlambang dua sabit berpunggungan
itu. Namun, euforia publik non-PKS menyambut proses tidaklah bergemuruh,
malah cenderung sepi. Apa pasal?
Empat
Faktor
Pertama,
seperti juga konvensi PD, Pemira PKS ini bukan model ekspresi demokrasi
prosedural ideal. Putusan akhir Pemira tidak ditentukan agregasi suara
ikhwan/ikhwat PKS, tapi berada di tangan majelis syura sebagai pemegang
veto.
Meski
dibaluri definisi bahwa majelis syura bersifat kolektif-kolegial, pengaruh
Hilmi Aminuddin sebagai ketua majelis syura tidak bisa dinomor-sekiankan.
Seperti juga pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dewan Pembina
PD, yang kebetulan saat ini juga menjabat sebagai ketua umum dan majelis
tinggi. Pilihan akhir akan ditentukan di Pondok Pesantren Madani, Bogor.
Kedua,
faktor ketokohan. Meskipun nama-nama kandidat presiden PKS (harus dibedakan
dengan pengertian ketua umum PKS yang juga memakai istilah “presiden”)
memiliki kharismatisme di internal partai, mereka bukanlah figur yang
disukai apalagi dipilih publik luas.
Kadar
kebangsaan keempat tokoh ini harus diuji lebih jauh lagi. Pandangan mereka
masih terbonsai pada konsep eksklusif partai, belum meluas dan lugas
mengartikulasikan gagasan-gagasan kebangsaan, pluralisme, HAM, dan
demokrasi.
Ketiga,
faktor partai PKS yang hanya partai medioker. Sejarah pemilu era Reformasi
mencatat PKS hanya mampu menjadi partai menengah. Tiga kali pemilu di era
Reformasi, PKS tidak pernah berhasil menyentuh persen dua digit. Dalam
Pemilu 1999, PKS (saat itu bernama Partai Keadilan) hanya mendapat 1,38
persen suara.
Pemilu
2004 PKS mendapatkan 7,34 persen, dan pada Pemilu 2009 hanya beranjak
sedikit (7,88 persen), meskipun persentase kursi di parlemen lebih besar
dibandingkan persentase pemilu.
Dengan
masih berlakunya undang-undang pemilu presiden (UU Nomor 42 Tahun 2008)
bahwa syarat partai pengusung mandiri adalah 20 persen suara, tentu saja
upaya kandidasi dari PKS hanya utopisme-absurd.
Keempat,
opini politik dari internal ikut memperburuk citra PKS. Ketika akhirnya
hakim Tipikor memberi vonis 16 tahun penjara untuk LHI, reaksi tokoh PKS
tidak simpatik dan cenderung mendiskreditkan KPK. Komentar Hidayat, “Mau
hukuman ringan, korupsilah yang banyak,” (kompas.com, 10 Desember) adalah
komentar cengeng yang tidak menunjukkan talenta negarawan.
Kalangan
internal PKS juga menyebarkan pesan bergambar melalui media sosial dan BlackBerry
Messenger tentang perbandingan kasus korupsi Angelina Sondakh, Nazaruddin,
Gayus, dan Djoko Susilo dengan judul “Lucunya KPK”. PKS ingin membesarkan
pesan, LHI dihukum paling berat dan tidak diperlakukan secara adil.
Melalui
pesan-pesan tersebut kalangan PKS membangun informasi bahwa LHI sudah
dikorbankan dalam konteks pemberantasan korupsi. Publik membaca sikap ini
sebagai sikap kekanak-kanakan. Alih-alih melakukan muhasabah (instropeksi)
dan muzakarah (evaluasi internal), PKS justru mencari-cari kesalahan
pihak lain dan membangun opini sebagai partai paling dizalimi.
Tentu
saja dalam semangat pemberantasan korupsi sikap ini menjadi antitesis
pembangunan politik bersih. Sikap ini ini pun semakin memperburuk
citra dan basis elektoral non-kader.
Komentar
Anis Matta bahwa ia tahu diri sebagai suku minoritas, ikut memperburuk
iklim politik nasional yang seharusnya semakin menjauhi hantu-hantu
primodialisme-sektarianisme, minoritas-mayoritas dalam transkrip politik.
Pilihan
Realistik
Kiranya
beberapa faktor di atas cukup memberikan gambaran, bahwa menampuk calon PKS
sebagai calon Presiden RI seperti pungguk merindukan bulan, jauh panggang
dari api. Belum lagi ditambah tren elektoral partai-partai berbasis Islam
dalam Pemilu 2014 semakin mengecil.
Kemerosotan
partai-partai Islam ini bisa dilihat dari ketiadaan ideologi, lemahnya
kapabilitas figur, dan pilihan politik masyarakat yang semakin liberal dan
rasional. Bahkan, rilis penelitian Lembaga Survei Nasional November lalu
menyatakan, PKS adalah partai Islam yang paling tidak disukai pemilih.
Pandangan
publik terkait kasus impor sapi, menunjukkan korupsi dan dakwah adalah
hipokritas paling optimal. Belum lagi perilaku hedonistik dan seksualistik
yang terungkap di fakta persidangan.
Jalan
paling realistik yang perlu dipikirkan PKS adalah bukan terlibat dalam
politik pertarungan bursa presiden, melainkan memperbaiki citra partai yang
sedang terpuruk melalui pengemasan ulang partai. Jika sebelumnya kesan
sebagai partai dakwah yang eksklusif dibentangkan di depan aktivitas dan
iklan partai, kini PKS harus bersikap lebih objektif dengan dinamika
politik nasional.
Perubahan tagline partai
untuk Pemilu 2009 menjadi “Kerja, Cinta, dan Harmoni” adalah pilihan tepat
ketika tagline “Bersih, Peduli, dan Profesional” gagal diwujudkan.
Kesan sebagai partai yang menyukai isu-isu jarak jauh (distant issues) seperti
sentimen anti-Amerika, Israel, dan kini pro-Morsi, menyebabkan PKS hanya
menjadi partai internasionalis Islam politik dibandingkan Islam kultural
Nusantara.
Sebagai
partai Indonesia, PKS seharusnya lebih banyak terlibat dalam isu-isu jarak
dekat dan problem-problem kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan
Indonesia.
Meskipun
partai ini secara genealogis berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin dan
pemikiran seperti Sayyid Qutb, Hasan Al Banna, dan pemikir revivalis Islam,
PKS juga harus berani membuka khazanah pada pemikiran Islam moderat dan
belajar memahami demokrasi dalam konteks lokal (Burhanuddin
Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, 2012).
Seperti
kesimpulan profesor politik Islam di Ohio University, Elizabeth Collins,
PKS tetap bisa menjadi alternatif di tengah gerakan Islam radikal ke
Indonesia. Jika saja mereka mau melakukan reposisi sebagai partai jalan
tengah, tidak perlu mengurut pikiran dan hati memenangi Pemilu 2014 dan
berambisi mencalonkan presiden dari kalangannya.
Lebih
baik mencari partai koalisi yang yang tepat untuk menduetkan calon wakil
presiden dari kalangannya. Hindari pikiran ilusionis dan tindakan-tindakan
keliru yang membangkrutkan politik PKS di masa kurang lima bulan lagi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar