Sabtu, 21 Desember 2013

Eksternalitas Menyejukkan, tetapi…

Eksternalitas Menyejukkan, tetapi…

Simon Saragih  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  21 Desember 2013

  

DI Renton, Washington, Amerika Serikat, yang merupakan salah satu markas pembuatan pesawat Boeing ukuran kecil, dipajang data angkasa tersibuk di dunia.

Kedip-kedip di layar memperlihatkan wilayah udara Asia yang supersibuk. Asia menjadi lokasi penumpang terbanyak di dunia. Asia juga mendominasi penjualan pesawat Boeing, menurut Mike Nunes, Direktur Asia Business Development Boeing.

Jadi, sungguh sebuah era yang menyenangkan setelah ratusan tahun Asia berada di luar pusaran pembangunan global.

Perlu bukti lain? Empat bandar udara di Asia berada dalam daftar sepuluh bandara tersibuk di dunia, yakni Beijing, Tokyo, Dubai, dan Hongkong. Jakarta dengan Soekarno-Hatta ada di urutan ke-11. Rute transportasi udara domestik tersibuk di dunia juga didominasi Asia. Dari sepuluh rute domestik tersibuk di dunia, hanya Cape Town-Johannesburg di Arika Selatan yang berada di luar Asia.

Harian Financial Times, 18 September, mengutip Center for Aviation, menyebutkan rute internasional tersibuk di dunia adalah Hongkong-Taiwan, diikuti Jakarta-Singapura. Menyusul kemudian Hongkong-Shanghai, Dubai-Doha, dan New York JFK-London Heathrow.

Pada transportasi laut, berdasarkan worldshipping.org, pelabuhan kontainer tersibuk di dunia adalah Shanghai, dengan sepuluh besar seluruhnya diisi pelabuhan di Asia. Pelabuhan Tanjung Priok di urutan ke-23.

Itulah bagian dari gambaran nyata ekonomi Asia yang sedang menggeliat.
Peran Asia dalam aktivitas ekonomi di AS juga terasa saat beberapa waktu lalu dua belas wartawan Asia Pasifik diundang Departemen Luar Negeri AS untuk melihat wilayah barat AS. Mulai dari FedEx, pelabuhan Oakland, hingga perusahaan skala menengah dan kecil di AS barat berpusat pada Asia untuk pengembangan bisnis mereka.

”Di luar pemahaman umum yang memersepsikan perseteruan China-AS, justru yang terjadi adalah kontak intensif kedua negara terkait hubungan ekonomi,” kata Monica Hardy Whaley, Presiden US National Center for APEC di Seattle, AS.

Hardy Whaley hendak mengatakan, betapa luar biasanya Asia sebagai penggerak perekonomian global. Di episentrum ekonomi global inilah Indonesia terletak.

Data ekspor dari Kementerian Perdagangan pun menunjukkan China, Jepang, dan sejumlah negara Asia sebagai tumpuan, walau masih ada peran kuat AS, Jerman, serta Belanda dari belahan Eropa. Adapun berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, sumber investasi asing untuk Indonesia pun didominasi negara Asia.

Bak percikan air pancuran yang tempias ke sekitarnya, demikianlah RI terkena imbas secara alamiah dari aktivitas perekonomian global. Setelah sekian puluh tahun negara ini melulu didominasi kegiatan migas dan konsumsi domestik yang tak terlalu membahana, kini muncul eksternalitas sebagai penopang kukuh.
Edward Theater, ekonom dari UBS, pun menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia salah satu yang tumbuh paling tinggi tahun ini, terutama di ASEAN.

Ada ancaman volatilitas dari sisi Eropa dan AS yang masih didera kelesuan, seperti diisyaratkan Robert J Shiler, salah satu penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2013. Akan tetapi, ekonomi AS dan Eropa pada tahun 2014 diperkirakan tidak akan parah seperti tahun 2008. Bahkan, jika pun terjadi krisis setara 2008, Bank Pembangunan Asia sudah mematrikan bahwa kekuatan internal Asia Pasifik relatif tangguh menghadapinya, dengan kekuatan keuangan negara-negara Asia Pasifik serta cadangan devisa tinggi yang memang didominasi negara-negara Asia.

Ekonom Denis Hew dalam pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali, Oktober lalu, menegaskan kekuatan Asia. Ia mengatakan, berbeda dengan perekonomian AS, Eropa, dan Jepang yang jenuh, Asia Pasifik memiliki ruang luas untuk terus menggelindingkan aktivitas ekonomi jika konektivitas regional dan domestik digencarkan.

Ditambah lagi, dengan populasi penduduk yang lebih dari separuhnya didominasi warga di bawah usia 30 tahun, Asia Pasifik adalah kawasan dengan potensi konsumsi yang terus meledak.

DR Kishore Mahbubani dari National University of Singapore pun 
memprediksikan sikap iri AS kepada Asia, khususnya China tentang potensi dahsyat ekonomi.

Hanya saja ada yang mengkhawatirkan RI, sebagaimana diingatkan ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, dalam dua tahun terakhir. Impor migas telah menjadi celah bahaya bagi fluktuasi kurs rupiah. Defisit neraca transaksi berjalan akibat melejitnya impor migas, yang diperburuk pencurian sumber daya migas seperti diingatkan Bank Indonesia, menjadi ancaman bagi goyangan rupiah berupa depresiasi yang memukul konsumen lewat inflasi impor.

Ada masalah infrastruktur yang lamban seperti rutin dikeluhkan ekonom Tony Prasetiantono. Akan tetapi, masalah defisit transaksi berjalan ini telah dua kali merontokkan rupiah, di Juni lalu dan di November hingga Desember.

Inilah dua penyakit utama ekonomi RI, impor migas dan infrastruktur. Jika masih menjadi perhatian teknokrat hingga Presiden RI untuk diatasi, eksternalitas yang menyejukkan akan menjadi kekuatan balon bertenaga besar untuk melambungkan perekonomian RI. Akan tetapi, bisakah? Maukah?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar