DI Renton, Washington,
Amerika Serikat, yang merupakan salah satu markas pembuatan pesawat
Boeing ukuran kecil, dipajang data angkasa tersibuk di dunia.
Kedip-kedip di layar
memperlihatkan wilayah udara Asia yang supersibuk. Asia menjadi lokasi
penumpang terbanyak di dunia. Asia juga mendominasi penjualan pesawat
Boeing, menurut Mike Nunes, Direktur Asia
Business Development Boeing.
Jadi, sungguh sebuah era yang
menyenangkan setelah ratusan tahun Asia berada di luar pusaran
pembangunan global.
Perlu bukti lain? Empat bandar
udara di Asia berada dalam daftar sepuluh bandara tersibuk di dunia,
yakni Beijing, Tokyo, Dubai, dan Hongkong. Jakarta dengan Soekarno-Hatta
ada di urutan ke-11. Rute transportasi udara domestik tersibuk di dunia
juga didominasi Asia. Dari sepuluh rute domestik tersibuk di dunia, hanya
Cape Town-Johannesburg di Arika Selatan yang berada di luar Asia.
Harian Financial Times,
18 September, mengutip Center for Aviation, menyebutkan rute
internasional tersibuk di dunia adalah Hongkong-Taiwan, diikuti
Jakarta-Singapura. Menyusul kemudian Hongkong-Shanghai, Dubai-Doha, dan
New York JFK-London Heathrow.
Pada transportasi laut,
berdasarkan worldshipping.org, pelabuhan kontainer tersibuk di dunia
adalah Shanghai, dengan sepuluh besar seluruhnya diisi pelabuhan di Asia.
Pelabuhan Tanjung Priok di urutan ke-23.
Itulah bagian dari gambaran
nyata ekonomi Asia yang sedang menggeliat.
Peran Asia dalam aktivitas
ekonomi di AS juga terasa saat beberapa waktu lalu dua belas wartawan
Asia Pasifik diundang Departemen Luar Negeri AS untuk melihat wilayah
barat AS. Mulai dari FedEx, pelabuhan Oakland, hingga perusahaan skala
menengah dan kecil di AS barat berpusat pada Asia untuk pengembangan
bisnis mereka.
”Di luar pemahaman umum yang memersepsikan perseteruan
China-AS, justru yang terjadi adalah kontak intensif kedua negara terkait
hubungan ekonomi,”
kata Monica Hardy Whaley, Presiden US
National Center for APEC di Seattle, AS.
Hardy Whaley hendak
mengatakan, betapa luar biasanya Asia sebagai penggerak perekonomian
global. Di episentrum ekonomi global inilah Indonesia terletak.
Data ekspor dari Kementerian
Perdagangan pun menunjukkan China, Jepang, dan sejumlah negara Asia
sebagai tumpuan, walau masih ada peran kuat AS, Jerman, serta Belanda
dari belahan Eropa. Adapun berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal,
sumber investasi asing untuk Indonesia pun didominasi negara Asia.
Bak percikan air pancuran yang
tempias ke sekitarnya, demikianlah RI terkena imbas secara alamiah dari
aktivitas perekonomian global. Setelah sekian puluh tahun negara ini
melulu didominasi kegiatan migas dan konsumsi domestik yang tak terlalu
membahana, kini muncul eksternalitas sebagai penopang kukuh.
Edward Theater, ekonom dari
UBS, pun menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia salah satu yang tumbuh
paling tinggi tahun ini, terutama di ASEAN.
Ada ancaman volatilitas dari
sisi Eropa dan AS yang masih didera kelesuan, seperti diisyaratkan Robert
J Shiler, salah satu penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2013. Akan tetapi,
ekonomi AS dan Eropa pada tahun 2014 diperkirakan tidak akan parah
seperti tahun 2008. Bahkan, jika pun terjadi krisis setara 2008, Bank
Pembangunan Asia sudah mematrikan bahwa kekuatan internal Asia Pasifik
relatif tangguh menghadapinya, dengan kekuatan keuangan negara-negara
Asia Pasifik serta cadangan devisa tinggi yang memang didominasi
negara-negara Asia.
Ekonom Denis Hew dalam
pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali, Oktober lalu,
menegaskan kekuatan Asia. Ia mengatakan, berbeda dengan perekonomian AS,
Eropa, dan Jepang yang jenuh, Asia Pasifik memiliki ruang luas untuk
terus menggelindingkan aktivitas ekonomi jika konektivitas regional dan
domestik digencarkan.
Ditambah lagi, dengan populasi
penduduk yang lebih dari separuhnya didominasi warga di bawah usia 30
tahun, Asia Pasifik adalah kawasan dengan potensi konsumsi yang terus
meledak.
DR Kishore Mahbubani dari National University of Singapore
pun
memprediksikan sikap iri AS kepada Asia, khususnya China tentang
potensi dahsyat ekonomi.
Hanya saja ada yang
mengkhawatirkan RI, sebagaimana diingatkan ekonom Bank Danamon, Anton
Gunawan, dalam dua tahun terakhir. Impor migas telah menjadi celah bahaya
bagi fluktuasi kurs rupiah. Defisit neraca transaksi berjalan akibat
melejitnya impor migas, yang diperburuk pencurian sumber daya migas
seperti diingatkan Bank Indonesia, menjadi ancaman bagi goyangan rupiah
berupa depresiasi yang memukul konsumen lewat inflasi impor.
Ada masalah infrastruktur yang
lamban seperti rutin dikeluhkan ekonom Tony Prasetiantono. Akan tetapi,
masalah defisit transaksi berjalan ini telah dua kali merontokkan rupiah,
di Juni lalu dan di November hingga Desember.
Inilah dua penyakit utama
ekonomi RI, impor migas dan infrastruktur. Jika masih menjadi perhatian
teknokrat hingga Presiden RI untuk diatasi, eksternalitas yang
menyejukkan akan menjadi kekuatan balon bertenaga besar untuk
melambungkan perekonomian RI. Akan tetapi, bisakah? Maukah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar