Kekacauan ujian nasional (UN) tahun ini merupakan
puncak dari kekisruhan yang telah teridentifikasi sejak awal. Bahkan,
pada saat pemerintah mengklaim keberhasilan luar biasa pada tahun ajaran
2010/2011, dengan menyatakan persentase kelulusan siswa mendekati nilai
sempurna, yakni 99,22 persen untuk SMA dan 99,52 persen untuk SMP, serta
tingkat kecurangan yang turun drastis dibanding tahun sebelumnya, DPD RI
justru mempertegas rekomendasi menghentikan UN sebagai alat evaluasi
akhir hasil belajar peserta didik.
Rekomendasi ini didasari temuan empiris dalam
pengawasan di berbagai daerah yang faktanya berkebalikan dengan klaim
pemerintah. Pertama, terjadi duplikasi atas penilaian aspek kognitif.
Nilai sekolah yang 40 persen meliputi penilaian kognitif, afektif, dan
psikomotorik, tapi nilai UN yang 60 persen seluruhnya merupakan penilaian
aspek kognitif.
Kedua, muncul modus baru kecurangan untuk mendongkrak
nilai sekolah dengan cara melakukan perbaikan atau penulisan ulang nilai
rapor siswa agar terjadi peningkatan atas rata-rata nilai rapor semester
siswa. Ketiga, tujuan UN sebagai pemetaan atas mutu pendidikan gagal
dicapai karena realitasnya sekolah-sekolah di Indonesia dengan tingkat
kelulusan 100 persen mempunyai kondisi yang tidak sama dari sisi
fasilitas, sarana, dan prasarana, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya.
Pada sisi yang sama, rekomendasi tersebut menyatakan
bahwa penyelenggaraan UN belum memenuhi prasyarat Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2596 K/Pdt/2009 berupa perkara citizen
lawsuit terhadap penyelenggaraan UN. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa,
sebelum pelaksanaan UN, pemerintah dipersyaratkan meningkatkan kualitas
guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi
yang lengkap di seluruh daerah Indonesia.
Prasyarat itu belum dipenuhi hingga hari ini, yang
dapat berdampak hukum pelaksanaan UN melanggar putusan MA. Karena itu,
DPD RI secara resmi merekomendasikan pemerintah agar melaksanakan Hasil
Pengawasan DPD RI No. 24/DPDRI/III/2009-2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkenaan dengan
penyelenggaraan UN.
Menghentikan UN sebagai alat evaluasi akhir hasil
belajar peserta didik dan mengembalikannya kepada sekolah sebagaimana
amanat Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan
Nasional. Yakni, "Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan".
Melakukan pemetaan pendidikan melalui riset ilmiah
yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya tanpa dibebani dengan lulus
dan tidak lulus, memberikan bantuan peningkatan kualitas pendidikan
berdasarkan hasil pemetaan pendidikan, serta menindaklanjuti seluruh
bentuk kecurangan dan pelanggaran penyelenggaraan UN, termasuk
penyimpangan anggaran melalui penanganan secara hukum dan administratif.
Rekomendasi ini berkali-kali disampaikan dalam rapat
dengan Menteri Pendidikan, tapi tidak pernah diindahkan hingga terjadilah
kekacauan luar biasa pada tahun ini. Peristiwa Jumat siang lalu (19
April) di Samarinda mencerminkan dengan akurat berbagai kekacauan
tersebut. Murid-murid peserta ujian di berbagai sekolah menunggu di kelas
sampai satu jam lebih karena panitia masih sibuk memfotokopi soal secara
massal.
Tidak Mendidik
Pada akhirnya, bersamaan dengan berbagai persoalan
yang memperlihatkan dampak negatif, UN telah menjelma menjadi kegiatan
pendidikan yang tidak mendidik.
Kaidah bahwa pendidikan dan institusi pendidikan
adalah milik masyarakat di daerah-daerah dan bukan milik pemerintah
pusat, sehingga sistem penyelenggaraan pendidikan yang
struktural-birokratik dan sentralistik harus dihindari, menjadi
terabaikan.
Desentralisasi pendidikan terhambat karena kebijakan
umum di pusat tidak efektif dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
lokal. Penghargaan terhadap perbedaan kompetensi dan keberagaman daerah
tidak terwujud. Yang menguat justru ketergantungan dan kebiasaan menunggu
petunjuk dari atas.
Padahal yang diamanatkan UU ialah desentralisasi
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, menciptakan infrastruktur
kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang
relevan dengan tuntutan zaman, konsep globalisasi, humanisasi, dan
demokrasi.
Muara yang hendak dicapai adalah amanat konstitusi
dan undang-undang yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat. Sedangkan kebijakan pendidikan yang sentralistik menghambat
kreativitas, inovasi kurikulum, dan kemandirian sekolah yang mengancam
pelaksanaan amanat UU tersebut.
Patut selalu diingat bahwa pendidikan adalah tanggung
jawab bersama. Keberhasilannya didukung oleh pembagian tugas yang jelas,
terutama antara pusat dan daerah.
Rekomendasi yang dihasilkan dalam konteks itu, antara
lain, agar pemerintah memetakan kembali pembagian tugas tersebut,
menempatkan pusat sebagai katalisator dan fasilitator penyelenggaraan
pendidikan, serta kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sebagai
standar nasional dan potensi daerah.
Sedangkan untuk UN, suara sudah bulat
agar segera dihapuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar