Kamis, 25 April 2013

Ujian Nasional Tidak Mendidik


Ujian Nasional Tidak Mendidik
GKR Hemas ; Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
KORAN TEMPO, 24 April 2013

  
Kekacauan ujian nasional (UN) tahun ini merupakan puncak dari kekisruhan yang telah teridentifikasi sejak awal. Bahkan, pada saat pemerintah mengklaim keberhasilan luar biasa pada tahun ajaran 2010/2011, dengan menyatakan persentase kelulusan siswa mendekati nilai sempurna, yakni 99,22 persen untuk SMA dan 99,52 persen untuk SMP, serta tingkat kecurangan yang turun drastis dibanding tahun sebelumnya, DPD RI justru mempertegas rekomendasi menghentikan UN sebagai alat evaluasi akhir hasil belajar peserta didik.
Rekomendasi ini didasari temuan empiris dalam pengawasan di berbagai daerah yang faktanya berkebalikan dengan klaim pemerintah. Pertama, terjadi duplikasi atas penilaian aspek kognitif. Nilai sekolah yang 40 persen meliputi penilaian kognitif, afektif, dan psikomotorik, tapi nilai UN yang 60 persen seluruhnya merupakan penilaian aspek kognitif.
Kedua, muncul modus baru kecurangan untuk mendongkrak nilai sekolah dengan cara melakukan perbaikan atau penulisan ulang nilai rapor siswa agar terjadi peningkatan atas rata-rata nilai rapor semester siswa. Ketiga, tujuan UN sebagai pemetaan atas mutu pendidikan gagal dicapai karena realitasnya sekolah-sekolah di Indonesia dengan tingkat kelulusan 100 persen mempunyai kondisi yang tidak sama dari sisi fasilitas, sarana, dan prasarana, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
Pada sisi yang sama, rekomendasi tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan UN belum memenuhi prasyarat Putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/Pdt/2009 berupa perkara citizen lawsuit terhadap penyelenggaraan UN. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa, sebelum pelaksanaan UN, pemerintah dipersyaratkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah Indonesia.
Prasyarat itu belum dipenuhi hingga hari ini, yang dapat berdampak hukum pelaksanaan UN melanggar putusan MA. Karena itu, DPD RI secara resmi merekomendasikan pemerintah agar melaksanakan Hasil Pengawasan DPD RI No. 24/DPDRI/III/2009-2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkenaan dengan penyelenggaraan UN.
Menghentikan UN sebagai alat evaluasi akhir hasil belajar peserta didik dan mengembalikannya kepada sekolah sebagaimana amanat Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional. Yakni, "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan".
Melakukan pemetaan pendidikan melalui riset ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya tanpa dibebani dengan lulus dan tidak lulus, memberikan bantuan peningkatan kualitas pendidikan berdasarkan hasil pemetaan pendidikan, serta menindaklanjuti seluruh bentuk kecurangan dan pelanggaran penyelenggaraan UN, termasuk penyimpangan anggaran melalui penanganan secara hukum dan administratif.
Rekomendasi ini berkali-kali disampaikan dalam rapat dengan Menteri Pendidikan, tapi tidak pernah diindahkan hingga terjadilah kekacauan luar biasa pada tahun ini. Peristiwa Jumat siang lalu (19 April) di Samarinda mencerminkan dengan akurat berbagai kekacauan tersebut. Murid-murid peserta ujian di berbagai sekolah menunggu di kelas sampai satu jam lebih karena panitia masih sibuk memfotokopi soal secara massal.
Tidak Mendidik
Pada akhirnya, bersamaan dengan berbagai persoalan yang memperlihatkan dampak negatif, UN telah menjelma menjadi kegiatan pendidikan yang tidak mendidik. 
Kaidah bahwa pendidikan dan institusi pendidikan adalah milik masyarakat di daerah-daerah dan bukan milik pemerintah pusat, sehingga sistem penyelenggaraan pendidikan yang struktural-birokratik dan sentralistik harus dihindari, menjadi terabaikan.
Desentralisasi pendidikan terhambat karena kebijakan umum di pusat tidak efektif dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Penghargaan terhadap perbedaan kompetensi dan keberagaman daerah tidak terwujud. Yang menguat justru ketergantungan dan kebiasaan menunggu petunjuk dari atas. 
Padahal yang diamanatkan UU ialah desentralisasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, menciptakan infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi.
Muara yang hendak dicapai adalah amanat konstitusi dan undang-undang yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Sedangkan kebijakan pendidikan yang sentralistik menghambat kreativitas, inovasi kurikulum, dan kemandirian sekolah yang mengancam pelaksanaan amanat UU tersebut.
Patut selalu diingat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Keberhasilannya didukung oleh pembagian tugas yang jelas, terutama antara pusat dan daerah.
Rekomendasi yang dihasilkan dalam konteks itu, antara lain, agar pemerintah memetakan kembali pembagian tugas tersebut, menempatkan pusat sebagai katalisator dan fasilitator penyelenggaraan pendidikan, serta kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sebagai standar nasional dan potensi daerah. 
Sedangkan untuk UN, suara sudah bulat agar segera dihapuskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar