Andai kekuatan hukum sepenuhnya
ada dalam hukum itu, ilmu hukum sepenuhnya bersifat dogmatik.
Kenyataannya tak demikian. Hukum tak sepenuhnya memiliki kekuatan melalui
dirinya sendiri.
Kekuatan
hukum, dalam alam hukum apa pun, selalu bergantung pada faktor nonhukum.
Fungsionaris hukum menjadi salah satu faktornya, bahkan faktor kunci.
Fungsionaris hukumlah yang membuat hukum itu anggun, indah, dan kuat.
Fungsionaris hukumlah yang membuat hukum diandalkan dalam hidup ini,
sebagai sesuatu yang indah pada esensinya.
Memang hukum
tidak selalu merupakan refleksi kemauan agung manusia dalam bernegara,
tetapi terlalu sering hukum disematkan sebagai hal terindah. Untuk hal
seesensial itulah, persoalan kapasitas etik Komisioner Komisi Pemilihan
Umum (KPU), yang hari-hari ini dimasalahkan lagi oleh beberapa partai
yang merasa dirugikan dengan tindakan hukum mereka, menemukan urgensinya
untuk dikenali. Menariknya, KPU juga terkepung dengan judicial reviewatas
PKPU Nomor 13 Tahun 2013 oleh forum anggota DPRD
Produk Polity
Memilih dan
memutuskan KPU sebagai satu-satunya organ konstitusi yang difungsikan
sebagai penyelenggara pemilu sejatinya merupakan pilihan dan putusan
agung. Pilihan dan putusan itu agung bukan lantaran pemilu sepanjang Orde
Baru, tak sekalipun memancarkan cahaya kemanusiaan, berharkat, dan
bermartabat, melainkan karena pemilu itu agung dalam esensinya.
Sejarah
tentang pemilu adalah sejarah tentang usaha tak berkesudahan dari setiap
orang yang bermimpi melepaskan dirinya dari status slave. Setelah tercapai dan setelah berganti status menjadi civilis, barulah ditemukan pemilu.
Status civilis tak lain adalah
status seseorang di tengah tata sosial politik sebagai individu-individu
merdeka setelah hilangnya stratifikasi three general estates.
Praktis,
pemilu tidak lain merupakan produk polity.
Polity tidak lain merupakan sebuah tatanan yang terbentuk berdasarkan
status merdeka setiap orang. Dalam polity
setiap orang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Setiap orang merdeka
dalam dirinya. Pemilu, dengan demikian, adalah sebuah cara polity merawat dirinya karena
hanya dengan cara itulah kemerdekaan setiap orang eksis, dan eksistensi
kemerdekaan itu sama dengan eksistensi polity yang anggun itu.
Bermaksud
memelihara cita rasa polity
seindah itu, bangsa ini, betapa pun belum terlatih berpemilu sekalipun,
harus menyelenggarakannya. Menariknya, pemilu pertama pada 1955 dengan
penyelenggara, yang semuanya berasal dari eksponen-eksponen partai yang
kemanusiaannya terdidik, menghasilkan pemilu yang anggun.
Tak ada
gerakan tiputipu, tak ada dokumen yang bocor, tak ada pula orang yang
terganjal karena penyelenggaranya salah menafsir hukum. Sayangnya, jalan
sejarah, begitu kata para bijak, tak selalu linear. Mungkin berlebihan,
tetapi sesudah pemilu pertama itu, Orde Baru, yang untuk pertama kalinya
melaksanakan pemilu pada 1971 laksana perang.
Keangkuhan
penyelenggaranya, yang tidak lain adalah pemerintah, sedemikian telanjang
untuk ukuran perikemanusiaan. Mutu etik demokratiknya tak bisa
dipertanyakan. Praktis pemilu di sepanjang Orde Baru tak cukup pantas
untuk dinilai sebagai cara khas orang berperikemanusiaan, berharkat, dan
bermartabat merawat kemanusiaan dengan cita rasa kebangsaan.
Nilai-nilai
kemanusiaan, yang selalu dirujuk sebagai partikel- partikel etik
demokratik, di mana pun di dunia ini, oleh Orde Baru dimanipulasi dengan
menyebut pemilu sebagai pesta, yang sejujurnya bukan pesta biasa.
Ini pesta
orang sombong, pesta penuh restriksi kemanusiaan. Jangan ada yang
cobacoba mempertanyakan mutu etik demokratiknya karena pemilu itu sendiri
sudah benar dan sah dengan sendirinya. Pemilu Orde Baru bukan hal yang
agung pada dirinya.
Demi Bangsa
Supaya
keagungan pemilu terpelihara atau kesombongan penyelenggara tak lagi
melukai keanggunan itu, MPR bukan hanya membuat organ baru yang namanya
KPU, melainkan lebih dari itu. MPR jatuh hati pada konsep “mandiri” dalam
pemikiran ketatanegaraan modern, yang telanjur diyakini manjur dalam
mematikan gerak intervensi eksekutif dan legislatif, disematkanlah sifat “mandiri”
pada organ yang dinamai KPU itu.
Konsep
“mandiri” sesuai asal-usulnya memang diyakini sebagai benteng dalam
menghadapi gerak-gerik tipu-tipu, tekanan, dan yang sejenisnya dari
eksekutif dan legislatif. Tetapi, sejarah ketatanegaraan modern juga memaksa
para ilmuwan untuk harus menimbang secara seksama dimensi mutu otak,
hati, dan nilai-nilai sebagai unsur-unsur esensial pembentuk perilaku
fungsionaris.
Dimensi-dimensi
itu harus ditimbang secara seksama karena KPU divisikan sebagai benteng
awal dalam berkebangsaan. Kemandirian KPU harus dilihat dalam konteks
itu. Bersifat dan bervisi sehebat itu, tak pelak, memaksa siapa pun untuk
tak sudi membenarkan tindakan-tindakan KPU, yang uncomplete fact and
unconclusive rules.
Putusan
organ, apa pun organ itu, yang tidak berpijak pada fakta yang cukup,
dengan hukum yang tepat, berisiko besar. Risikonya adalah tindakan hukum
organ itu mengandung kekeliruan secara materil. Kekeliruan materil
mengakibatkan tindakan hukum itu tidak sah. DKPP tak mungkin dapat
dipaksa untuk terpesona terhadap argumen-argumen Komisioner KPU tentang
kemungkinan melaporkan pembocor dokumen itu ke polisi.
Tak mungkin
DKPP tak memiliki posisi pemikiran tentang dokumen verifikasi sebagai
dokumen yang tak pernah disematkan oleh hukum positif sebagai dokumen
rahasia. Dokumen ini terbuka untuk dibaca oleh siapa pun, dalam keadaan
apa pun. Toh, isinya cuma fakta tentang beres atau tidaknya kepengurusan
suatu partai di daerah.
Cuma itu, tak
lebih. Apanya yang rahasia? Tetapi, entah karena itu atau bukan, sejauh
ini Komisioner KPU tak berusaha membentengi kelakuannya dengan senjata
yang bernama kewenangan atribusi. Padahal senjata ini didemonstrasikan
secara luar biasa oleh KPU dalam beberapa sidang di Bawaslu dan Peradilan
Tata Usaha Negara sebagai benteng atas serangkaian tindakan hukum mereka.
Publik
beruntung dengan tidak digunakannya senjata itu. Bila senjata itu
digunakan dalam peradilan etik kali ini, hukum positif kita diramaikan
dengan nalaryangluarbiasakacau. Nalar kacau itu berbentuk begini;
berdasarkan kewenangan atribusi, KPU berwenang meloloskan partai yang
tidak memenuhi syarat dan mendiskualifikasi partai yang memenuhi syarat.
Lucu bukan?
Sebentar lagi peradilan etik ini akan berakhir. Tak elok menebak ujung
ceritanya, tetapi sembari menanti, sudilah Komisioner KPU memperindah
kewenangan atribusinya dengan timbangan-timbangan etik.
Atribusi
bukan kewenangan yang jangkauannya ditentukan sendiri oleh pemegangnya.
Atribusi hanyalah kewenangan yang sumbernya disematkan secara expreciss verbis dalam konstitusi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar