Sabtu, 27 April 2013

KPU di Peradilan Etik


KPU di Peradilan Etik
Margarito Kamis ;  Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
KORAN SINDO, 26 April 2013

  
Andai kekuatan hukum sepenuhnya ada dalam hukum itu, ilmu hukum sepenuhnya bersifat dogmatik. Kenyataannya tak demikian. Hukum tak sepenuhnya memiliki kekuatan melalui dirinya sendiri. 

Kekuatan hukum, dalam alam hukum apa pun, selalu bergantung pada faktor nonhukum. Fungsionaris hukum menjadi salah satu faktornya, bahkan faktor kunci. Fungsionaris hukumlah yang membuat hukum itu anggun, indah, dan kuat. Fungsionaris hukumlah yang membuat hukum diandalkan dalam hidup ini, sebagai sesuatu yang indah pada esensinya. 

Memang hukum tidak selalu merupakan refleksi kemauan agung manusia dalam bernegara, tetapi terlalu sering hukum disematkan sebagai hal terindah. Untuk hal seesensial itulah, persoalan kapasitas etik Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang hari-hari ini dimasalahkan lagi oleh beberapa partai yang merasa dirugikan dengan tindakan hukum mereka, menemukan urgensinya untuk dikenali. Menariknya, KPU juga terkepung dengan judicial reviewatas PKPU Nomor 13 Tahun 2013 oleh forum anggota DPRD

Produk Polity 

Memilih dan memutuskan KPU sebagai satu-satunya organ konstitusi yang difungsikan sebagai penyelenggara pemilu sejatinya merupakan pilihan dan putusan agung. Pilihan dan putusan itu agung bukan lantaran pemilu sepanjang Orde Baru, tak sekalipun memancarkan cahaya kemanusiaan, berharkat, dan bermartabat, melainkan karena pemilu itu agung dalam esensinya. 

Sejarah tentang pemilu adalah sejarah tentang usaha tak berkesudahan dari setiap orang yang bermimpi melepaskan dirinya dari status slave. Setelah tercapai dan setelah berganti status menjadi civilis, barulah ditemukan pemilu. Status civilis tak lain adalah status seseorang di tengah tata sosial politik sebagai individu-individu merdeka setelah hilangnya stratifikasi three general estates. 

Praktis, pemilu tidak lain merupakan produk polity. Polity tidak lain merupakan sebuah tatanan yang terbentuk berdasarkan status merdeka setiap orang. Dalam polity setiap orang menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Setiap orang merdeka dalam dirinya. Pemilu, dengan demikian, adalah sebuah cara polity merawat dirinya karena hanya dengan cara itulah kemerdekaan setiap orang eksis, dan eksistensi kemerdekaan itu sama dengan eksistensi polity yang anggun itu. 

Bermaksud memelihara cita rasa polity seindah itu, bangsa ini, betapa pun belum terlatih berpemilu sekalipun, harus menyelenggarakannya. Menariknya, pemilu pertama pada 1955 dengan penyelenggara, yang semuanya berasal dari eksponen-eksponen partai yang kemanusiaannya terdidik, menghasilkan pemilu yang anggun. 

Tak ada gerakan tiputipu, tak ada dokumen yang bocor, tak ada pula orang yang terganjal karena penyelenggaranya salah menafsir hukum. Sayangnya, jalan sejarah, begitu kata para bijak, tak selalu linear. Mungkin berlebihan, tetapi sesudah pemilu pertama itu, Orde Baru, yang untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu pada 1971 laksana perang. 

Keangkuhan penyelenggaranya, yang tidak lain adalah pemerintah, sedemikian telanjang untuk ukuran perikemanusiaan. Mutu etik demokratiknya tak bisa dipertanyakan. Praktis pemilu di sepanjang Orde Baru tak cukup pantas untuk dinilai sebagai cara khas orang berperikemanusiaan, berharkat, dan bermartabat merawat kemanusiaan dengan cita rasa kebangsaan. 

Nilai-nilai kemanusiaan, yang selalu dirujuk sebagai partikel- partikel etik demokratik, di mana pun di dunia ini, oleh Orde Baru dimanipulasi dengan menyebut pemilu sebagai pesta, yang sejujurnya bukan pesta biasa. 

Ini pesta orang sombong, pesta penuh restriksi kemanusiaan. Jangan ada yang cobacoba mempertanyakan mutu etik demokratiknya karena pemilu itu sendiri sudah benar dan sah dengan sendirinya. Pemilu Orde Baru bukan hal yang agung pada dirinya. 

Demi Bangsa 

Supaya keagungan pemilu terpelihara atau kesombongan penyelenggara tak lagi melukai keanggunan itu, MPR bukan hanya membuat organ baru yang namanya KPU, melainkan lebih dari itu. MPR jatuh hati pada konsep “mandiri” dalam pemikiran ketatanegaraan modern, yang telanjur diyakini manjur dalam mematikan gerak intervensi eksekutif dan legislatif, disematkanlah sifat “mandiri” pada organ yang dinamai KPU itu. 

Konsep “mandiri” sesuai asal-usulnya memang diyakini sebagai benteng dalam menghadapi gerak-gerik tipu-tipu, tekanan, dan yang sejenisnya dari eksekutif dan legislatif. Tetapi, sejarah ketatanegaraan modern juga memaksa para ilmuwan untuk harus menimbang secara seksama dimensi mutu otak, hati, dan nilai-nilai sebagai unsur-unsur esensial pembentuk perilaku fungsionaris. 

Dimensi-dimensi itu harus ditimbang secara seksama karena KPU divisikan sebagai benteng awal dalam berkebangsaan. Kemandirian KPU harus dilihat dalam konteks itu. Bersifat dan bervisi sehebat itu, tak pelak, memaksa siapa pun untuk tak sudi membenarkan tindakan-tindakan KPU, yang uncomplete fact and unconclusive rules. 

Putusan organ, apa pun organ itu, yang tidak berpijak pada fakta yang cukup, dengan hukum yang tepat, berisiko besar. Risikonya adalah tindakan hukum organ itu mengandung kekeliruan secara materil. Kekeliruan materil mengakibatkan tindakan hukum itu tidak sah. DKPP tak mungkin dapat dipaksa untuk terpesona terhadap argumen-argumen Komisioner KPU tentang kemungkinan melaporkan pembocor dokumen itu ke polisi. 

Tak mungkin DKPP tak memiliki posisi pemikiran tentang dokumen verifikasi sebagai dokumen yang tak pernah disematkan oleh hukum positif sebagai dokumen rahasia. Dokumen ini terbuka untuk dibaca oleh siapa pun, dalam keadaan apa pun. Toh, isinya cuma fakta tentang beres atau tidaknya kepengurusan suatu partai di daerah. 

Cuma itu, tak lebih. Apanya yang rahasia? Tetapi, entah karena itu atau bukan, sejauh ini Komisioner KPU tak berusaha membentengi kelakuannya dengan senjata yang bernama kewenangan atribusi. Padahal senjata ini didemonstrasikan secara luar biasa oleh KPU dalam beberapa sidang di Bawaslu dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai benteng atas serangkaian tindakan hukum mereka. 

Publik beruntung dengan tidak digunakannya senjata itu. Bila senjata itu digunakan dalam peradilan etik kali ini, hukum positif kita diramaikan dengan nalaryangluarbiasakacau. Nalar kacau itu berbentuk begini; berdasarkan kewenangan atribusi, KPU berwenang meloloskan partai yang tidak memenuhi syarat dan mendiskualifikasi partai yang memenuhi syarat. 

Lucu bukan? Sebentar lagi peradilan etik ini akan berakhir. Tak elok menebak ujung ceritanya, tetapi sembari menanti, sudilah Komisioner KPU memperindah kewenangan atribusinya dengan timbangan-timbangan etik. 

Atribusi bukan kewenangan yang jangkauannya ditentukan sendiri oleh pemegangnya. Atribusi hanyalah kewenangan yang sumbernya disematkan secara expreciss verbis dalam konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar