|
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013
Sering kali saya bermimpi.
Guru-guru Indonesia berani melawan kebijakan pemerintah yang dianggap salah
oleh para pakar dan pemerhati pendidikan. Saya membaca berita di luar negeri
seperti Amerika Serikat dan Denmark. Guru-guru di sana berani menolak kebijakan
pemerintahnya sendiri. Namun, di sini, guru masih meributkan masalah sertifikasi
dan hanya bersuara lantang ketika kesejahteraannya terganggu.
Jarang sekali yang berpikir untuk bersuara lantang ketika
hak peserta didiknya dirampas oleh pemerintah. Guru hanya bisa diam, takut,
apatis, dan cuma bisa ‘berteriak’ di media sosial. Ketika disuruh maju
berhadapan dengan penguasa, satu per satu mereka mundur teratur. Akankah guru
berani bersuara lantang ketika ujian nasional yang amburadul tahun ini
dipertahankan kembali tahun depan?
Harus Bersuara Lantang
Ada
beberapa alasan guru tak berani bersuara lantang. Informasi yang penulis
dapatkan dari beberapa kawan sejawat, yaitu: (1) guru takut kepada atasan, (2)
guru takut pada nilai kondite dari atasan, (3) guru takut dipindahtugaskan/ mutasi,
(4) guru takut dikriminalisasikan, (5) guru pasrah saja dengan keadaan, (6)
guru ‘cuek’, yang penting tetap dapat gaji walaupun mengajar dengan metode ala
kadarnya, (7) Guru takut diintimidasi, (8) Kalau berani bersuara lantang itu
bukan guru, tapi dianggap aktivis LSM. Intinya, mereka takut dengan atasan dan
tidak enak dengan teman sejawat. Daripada dimusuhi teman sendiri, lebih baik
diam tak bersuara.
‘Hanya guru yang super sempurna
yang berani bersuara lantang. Mereka telah mempersenjatai diri dengan melek
hukum dan meminta perlindungan ke lembaga
bantuan hukum (LBH)’, kata Retno
Listiyarti Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui SMS kepada
penulis. Dari sekitar 2,9 juta guru, hanya sedikit, yang penulis temui, guru
yang berani menentang kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Suaranya
sangat lantang sekali membela hak peserta didik. Mereka bersuara karena punya
data dan fakta yang jelas mengenai keadaan yang terjadi di lapangan. Dia juga
berani mengatakan, “Sudahlah Pak
Presiden, UN tak usah ada lagi.”
Usai mengawas ujian nasional di SMP yang lalu,
seorang guru di luar Jawa mengirimkan pesan di inbox Facebook penulis. Beliau bercerita ada kecurangan UN di
sekolahnya. Kunci jawaban UN dibuat oleh beberapa guru. Caranya sangat
sistematis dan dia takut untuk melaporkannya. Beliau belum siap untuk dipecat
sebab yang melakukannya adalah atasannya sendiri. Inilah kisah nyata pendidikan
di negeri ini. Guru tak berani melawan atasan. Padahal dalam peraturan
perundang-undangan, tak ada aturan guru takut kepada atasan. Guru harus taat
kepada peraturan perundangundangan dan bukan atasan.
Seharusnya, guru harus berani berkata lantang ketika
melihat kecurangan dan ketidakadilan di depan mata. Baginya, pendidikan itu
harus dimulai dari kejujuran. Bagaimana mungkin pendidikan ini akan maju kalau
guru-gurunya saja tidak jujur?
Sementara yang lainnya akan berpikir dua kali untuk menolak
ajakan mengubah sebuah kebijakan disebabkan orang yang mengajak dianggap akan
menjerumuskan dirinya. Contoh kasus, kita bisa belajar dari Komunitas Air Mata
Guru di Medan, dan juga di Garut. Mereka yang menemukan kecurangan UN, nasibnya
malah dijadikan pesakitan. Mereka seperti orang yang menderita penyakit kusta,
dijauhkan oleh atasan dan teman-temannya sendiri. Guru-guru Indonesia berada
dalam posisi yang seperti ini.
Melihat fenomena dan kasus di atas, penulis mencoba
membangunkan kesadaran para guru akan pentingnya sebuah persatuan. Persatuan
yang terajut karena persamaan nasib dan punya tanggung jawab untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Guru tak boleh lagi bergerak sendirisendiri. Harus ada
organisasi guru yang berpihak kepada guru. Terutama guru-guru yang sedang
dizalimi di bidang hukum. Hukum rimba tak boleh ada dalam dunia pendidikan
kita.
Guru Indonesia harus bersatu dalam visi dan misi yang sama.
Dewan kehormatan guru di sekolah harus ditegakkan dan guru harus berani
merampas kembali hak guru dalam penilaian siswa yang sudah jelas tercantum
dalam undangundang Sisdiknas.
Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai
standar kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan
dan menyimpang dari amanat undang-undang, yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi, ‘evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Cukup jelas
bahwa yang berwenang mengevaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidiklah
yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses
belajar-mengajar di sekolah.
Jalur hukum haruslah ditempuh agar UN tak lagi dilaksanakan
tahun depan. Pemerintah harus memenuhi dulu 8 standar nasional pendidikan.
Kekuatan akademik tak boleh lumpuh oleh kekuatan politik. Teruslah berjuang
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saatnya guru bersuara lantang dan membawa cetar membahana
akan pentingnya sebuah revolusi pendidikan. Kuncinya cuma satu, guru harus
belajar cara menilai peserta didik dengan baik. Proses penilaian yang benar
harus dikuasai oleh para guru agar mampu melihat potensi unik peserta didiknya.
Kewajiban pemerintah adalah melatih para guru agar mampu
melakukan proses evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelatihan seperti ini
seharusnya sudah ada dalam program pemerintah dan bukan menghamburkan uang
negara dengan UN. Ketidakpercayaan pemerintah pada guru sudah terasa ketika
pembuatan program (silabus, RPP berkarakter sudah dicetak rapi). Guru hanya
diberi peluang ketika melaksanakan tugasnya saja pada saat penyampaian materi. Ketika
proses selanjutnya, yaitu evaluasi, pemerintahlah yang mengambil peran yang
seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah.
Akibatnya, kecurangan terjadi di sekolah-sekolah kita yang
bermutu rendah. Mereka, para pengelola sekolah, akan berusaha mendongkrak nilai
peserta didiknya walaupun dengan cara-cara yang tidak benar dan melanggar nilai
kejujuran. Mereka takut kredibilitas sekolahnya akan hancur di mata masyarakat
bila banyak peserta didiknya tak lulus UN. Sementara itu, guru yang berada di
dalamnya hanya diam membisu karena takut dipecat. Keadaan itu seperti lingkaran
setan yang sulit diungkap. Seperti tikus mati yang bau busuknya tercium, tapi
sulit ditemukan.
Guru pun terpecah menjadi dua kekuatan. Guru yang pro dan
kontra dengan UN. Tiap-tiap pihak menganggap dirinya yang paling benar,
sedangkan yang lain dianggap salah bila berseberangan dengan pola pikirnya.
Guru Takut Dipecat
Guru sangat takut bila melaporkan
adanya kecurangan UN. Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan
tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk
membongkar kecurangan UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani mengungkap
kan kebenaran demi tegaknya sebuah ke jujuran yang bernilai mahal.
Kita harus menyadari Guru sangat takut bila melaporkan
adanya kecurangan UN. Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan
tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk
membongkar kecurangan UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani
mengungkapkan kebenaran demi tegaknya sebuah kejujuran yang bernilai mahal. Kita
harus menyadari bahwa tugas, pokok, dan fungsi guru sangatlah mulia. Bila guru
menyadari ini, guru tak akan pernah takut untuk dipecat meskipun dia bersuara
lantang. Hal yang harus dilakukan guru adalah tingkatkan terus
profesionalismenya dan didiklah anak bangsa dengan sepenuh hati dan
kedisiplinan tinggi.
Rezeki dari Tuhan Sang Maha Pemberi pasti akan selalu
mengalir deras ketika guru ikhlas dalam menjalankan tugas yang sangat mulia
ini. Rezeki itu datangnya dari Allah dan bukan dari pimpinan sekolah. Guru
harus mampu memberikan keteladanan di mana pun dia berada. Tak ada dikotomi
guru kota dan guru desa.
Perlu juga disadari, guru yang bersuara lantang menolak UN
belum bisa dikatakan guru yang hebat, kalau dia tak memiliki sifat jujur.
Namun, setidaknya, mereka sudah mampu berpikir keras dan memeras otaknya untuk
berpikir beda dengan kehendak dan kemauan pemerintah. Bila semua guru cuma diam
dan tak ada yang bersuara, apalagi kritis, pemerintah akan selalu berkata, “Guru sudah setuju kok?”
Belajar dari
Pohon
Para guru harus belajar dari
falsafah pohon. Ada yang bekerja menjadi akar, ada yang menjadi batang,
ranting, cabang, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang segar bagi pohon
pendidikan.
Prof Arif Rachman sering mengatakan kepada kami, para guru.
”Pohon pendidikan itu berakar dari moral
dan agama. Berbatang ilmu pengetahuan dan teknologi, beranting amal perbuatan,
berdaun tali silaturahim, dan berbuah kebahagiaan.”
Ketika guru yang cerdas hanya diam, guru-guru pandir akan
menguasai dunia pendidikan. Mereka yang bersuara lantang tak bisa dikatakan
hebat, tetapi mereka yang cuma diam tak bisa juga dibilang hebat. Saatnya guru
berani bicara dan menulis di berbagai media. Tulisannya mengalir deras bagai
mata air yang turun ke bawah menghilangkan dahaga ilmu. Saya menjura hormat
kepada mereka. Saatnya guru bersuara lantang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar