Selasa, 30 April 2013

Saatnya Guru Bersuara Lantang


Saatnya Guru Bersuara Lantang
Wijaya Kusumah  ;  Pendidik dan Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013


Sering kali saya bermimpi. Guru-guru Indonesia berani melawan kebijakan pemerintah yang dianggap salah oleh para pakar dan pemerhati pendidikan. Saya membaca berita di luar negeri seperti Amerika Serikat dan Denmark. Guru-guru di sana berani menolak kebijakan pemerintahnya sendiri. Namun, di sini, guru masih meributkan masalah sertifikasi dan hanya bersuara lantang ketika kesejahteraannya terganggu.

Jarang sekali yang berpikir untuk bersuara lantang ketika hak peserta didiknya dirampas oleh pemerintah. Guru hanya bisa diam, takut, apatis, dan cuma bisa ‘berteriak’ di media sosial. Ketika disuruh maju berhadapan dengan penguasa, satu per satu mereka mundur teratur. Akankah guru berani bersuara lantang ketika ujian nasional yang amburadul tahun ini dipertahankan kembali tahun depan?

Harus Bersuara Lantang

Ada beberapa alasan guru tak berani bersuara lantang. Informasi yang penulis dapatkan dari beberapa kawan sejawat, yaitu: (1) guru takut kepada atasan, (2) guru takut pada nilai kondite dari atasan, (3) guru takut dipindahtugaskan/ mutasi, (4) guru takut dikriminalisasikan, (5) guru pasrah saja dengan keadaan, (6) guru ‘cuek’, yang penting tetap dapat gaji walaupun mengajar dengan metode ala kadarnya, (7) Guru takut diintimidasi, (8) Kalau berani bersuara lantang itu bukan guru, tapi dianggap aktivis LSM. Intinya, mereka takut dengan atasan dan tidak enak dengan teman sejawat. Daripada dimusuhi teman sendiri, lebih baik diam tak bersuara.

‘Hanya guru yang super sempurna yang berani bersuara lantang. Mereka telah mempersenjatai diri dengan melek hukum dan meminta perlindungan ke lembaga bantuan hukum (LBH)’, kata Retno Listiyarti Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui SMS kepada penulis. Dari sekitar 2,9 juta guru, hanya sedikit, yang penulis temui, guru yang berani menentang kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Suaranya sangat lantang sekali membela hak peserta didik. Mereka bersuara karena punya data dan fakta yang jelas mengenai keadaan yang terjadi di lapangan. Dia juga berani mengatakan, “Sudahlah Pak Presiden, UN tak usah ada lagi.”

Usai mengawas ujian nasional di SMP yang lalu, seorang guru di luar Jawa mengirimkan pesan di inbox Facebook penulis. Beliau bercerita ada kecurangan UN di sekolahnya. Kunci jawaban UN dibuat oleh beberapa guru. Caranya sangat sistematis dan dia takut untuk melaporkannya. Beliau belum siap untuk dipecat sebab yang melakukannya adalah atasannya sendiri. Inilah kisah nyata pendidikan di negeri ini. Guru tak berani melawan atasan. Padahal dalam peraturan perundang-undangan, tak ada aturan guru takut kepada atasan. Guru harus taat kepada peraturan perundangundangan dan bukan atasan.

Seharusnya, guru harus berani berkata lantang ketika melihat kecurangan dan ketidakadilan di depan mata. Baginya, pendidikan itu harus dimulai dari kejujuran. Bagaimana mungkin pendidikan ini akan maju kalau guru-gurunya saja tidak jujur?

Sementara yang lainnya akan berpikir dua kali untuk menolak ajakan mengubah sebuah kebijakan disebabkan orang yang mengajak dianggap akan menjerumuskan dirinya. Contoh kasus, kita bisa belajar dari Komunitas Air Mata Guru di Medan, dan juga di Garut. Mereka yang menemukan kecurangan UN, nasibnya malah dijadikan pesakitan. Mereka seperti orang yang menderita penyakit kusta, dijauhkan oleh atasan dan teman-temannya sendiri. Guru-guru Indonesia berada dalam posisi yang seperti ini.

Melihat fenomena dan kasus di atas, penulis mencoba membangunkan kesadaran para guru akan pentingnya sebuah persatuan. Persatuan yang terajut karena persamaan nasib dan punya tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru tak boleh lagi bergerak sendirisendiri. Harus ada organisasi guru yang berpihak kepada guru. Terutama guru-guru yang sedang dizalimi di bidang hukum. Hukum rimba tak boleh ada dalam dunia pendidikan kita.

Guru Indonesia harus bersatu dalam visi dan misi yang sama. Dewan kehormatan guru di sekolah harus ditegakkan dan guru harus berani merampas kembali hak guru dalam penilaian siswa yang sudah jelas tercantum dalam undangundang Sisdiknas.

Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan dan menyimpang dari amanat undang-undang, yakni UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi, ‘evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Cukup jelas bahwa yang berwenang mengevaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidiklah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar-mengajar di sekolah.

Jalur hukum haruslah ditempuh agar UN tak lagi dilaksanakan tahun depan. Pemerintah harus memenuhi dulu 8 standar nasional pendidikan. Kekuatan akademik tak boleh lumpuh oleh kekuatan politik. Teruslah berjuang dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saatnya guru bersuara lantang dan membawa cetar membahana akan pentingnya sebuah revolusi pendidikan. Kuncinya cuma satu, guru harus belajar cara menilai peserta didik dengan baik. Proses penilaian yang benar harus dikuasai oleh para guru agar mampu melihat potensi unik peserta didiknya.

Kewajiban pemerintah adalah melatih para guru agar mampu melakukan proses evaluasi yang menyeluruh dan sistemik. Pelatihan seperti ini seharusnya sudah ada dalam program pemerintah dan bukan menghamburkan uang negara dengan UN. Ketidakpercayaan pemerintah pada guru sudah terasa ketika pembuatan program (silabus, RPP berkarakter sudah dicetak rapi). Guru hanya diberi peluang ketika melaksanakan tugasnya saja pada saat penyampaian materi. Ketika proses selanjutnya, yaitu evaluasi, pemerintahlah yang mengambil peran yang seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah.

Akibatnya, kecurangan terjadi di sekolah-sekolah kita yang bermutu rendah. Mereka, para pengelola sekolah, akan berusaha mendongkrak nilai peserta didiknya walaupun dengan cara-cara yang tidak benar dan melanggar nilai kejujuran. Mereka takut kredibilitas sekolahnya akan hancur di mata masyarakat bila banyak peserta didiknya tak lulus UN. Sementara itu, guru yang berada di dalamnya hanya diam membisu karena takut dipecat. Keadaan itu seperti lingkaran setan yang sulit diungkap. Seperti tikus mati yang bau busuknya tercium, tapi sulit ditemukan.

Guru pun terpecah menjadi dua kekuatan. Guru yang pro dan kontra dengan UN. Tiap-tiap pihak menganggap dirinya yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap salah bila berseberangan dengan pola pikirnya.

Guru Takut Dipecat

Guru sangat takut bila melaporkan adanya kecurangan UN. Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk membongkar kecurangan UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani mengungkap kan kebenaran demi tegaknya sebuah ke jujuran yang bernilai mahal.

Kita harus menyadari Guru sangat takut bila melaporkan adanya kecurangan UN. Padahal, guru PNS tak akan bisa dipecat bila menjalankan tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) dengan baik. Jadi, jangan takut untuk membongkar kecurangan UN. Begitu pun guru non-PNS. Guru harus berani mengungkapkan kebenaran demi tegaknya sebuah kejujuran yang bernilai mahal. Kita harus menyadari bahwa tugas, pokok, dan fungsi guru sangatlah mulia. Bila guru menyadari ini, guru tak akan pernah takut untuk dipecat meskipun dia bersuara lantang. Hal yang harus dilakukan guru adalah tingkatkan terus profesionalismenya dan didiklah anak bangsa dengan sepenuh hati dan kedisiplinan tinggi.

Rezeki dari Tuhan Sang Maha Pemberi pasti akan selalu mengalir deras ketika guru ikhlas dalam menjalankan tugas yang sangat mulia ini. Rezeki itu datangnya dari Allah dan bukan dari pimpinan sekolah. Guru harus mampu memberikan keteladanan di mana pun dia berada. Tak ada dikotomi guru kota dan guru desa.

Perlu juga disadari, guru yang bersuara lantang menolak UN belum bisa dikatakan guru yang hebat, kalau dia tak memiliki sifat jujur. Namun, setidaknya, mereka sudah mampu berpikir keras dan memeras otaknya untuk berpikir beda dengan kehendak dan kemauan pemerintah. Bila semua guru cuma diam dan tak ada yang bersuara, apalagi kritis, pemerintah akan selalu berkata, “Guru sudah setuju kok?”

Belajar dari Pohon

Para guru harus belajar dari falsafah pohon. Ada yang bekerja menjadi akar, ada yang menjadi batang, ranting, cabang, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang segar bagi pohon pendidikan.
Prof Arif Rachman sering mengatakan kepada kami, para guru. ”Pohon pendidikan itu berakar dari moral dan agama. Berbatang ilmu pengetahuan dan teknologi, beranting amal perbuatan, berdaun tali silaturahim, dan berbuah kebahagiaan.”

Ketika guru yang cerdas hanya diam, guru-guru pandir akan menguasai dunia pendidikan. Mereka yang bersuara lantang tak bisa dikatakan hebat, tetapi mereka yang cuma diam tak bisa juga dibilang hebat. Saatnya guru berani bicara dan menulis di berbagai media. Tulisannya mengalir deras bagai mata air yang turun ke bawah menghilangkan dahaga ilmu. Saya menjura hormat kepada mereka. Saatnya guru bersuara lantang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar