Selasa, 30 April 2013

Tantangan Alternatif Pembangunan


Tantangan Alternatif Pembangunan
Erix Hutasoit ;  Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area; Sedang mengikuti E-Learning bidang Komunikasi di RTI University, North Carolina, Amerika Serikat (AS)
KORAN SINDO, 29 April 2013

  
Warjio punya gagasan bagus dalam artikel Mafia Berkeley vs Mafia Isdev (KORAN SINDO MEDAN, 22 April 2013). 

Merujuk hasil International Conference Islamic Development (ICID) 2013 di Medan, Warjio menawarkan pembangunan berteraskan Islam (PBI) sebagai alternatif pem bangunan melawan sistem kapitalisme dan liberalisme. Prakarsa dari The Centre for Islamic Development Management Studies (ISDEV) di Universiti Sains Malaysia (USM) ini, tentu menarik didiskusikan lebih lanjut. 

Saat ini, dunia memang sedang mencari model pembangunan alternatif. Selain ISDEV dengan PBI, ada juga ekonom seperti Joseph E Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi yang mengajukan Gross National Happiness (GNH). GNH ditujukan merevisi patokan kinerja pembangunan yang selama ini cuma merujuk GNP (Gross National Product). Bagi Stiglitz, GNP bukanlah tolok ukur nyata kesejahteraan sebuah negara-bangsa (nation state). 

Kebahagiaan warga (citizen’ happiness) seharusnya menjadi ukuran keberhasilan program pembangunan pemerintah. Pendapat para ahli itu dirangkum dalam laporan Commission on the Measurement of Economic Performance and Sosial Progress (2009). GNH sendiri diinspirasi dari kebijakan pembangunan Raja Bhutan ke-4, Jigme Singye Wangchuck pada 1972. 

Filosofi GNH adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan tingkat emosi dan spiritual masyarakat (peoples’ emotional and spiritual balance). Wang chuck meyakini setiap orang pada dasarnya mengejar kebahagiaan, bukan kekayaan. Kebahagiaan hanya bisa terwujud jika ada keseimbangan antara kesejahteraan, emosi positif, dan kehidupan spiritual yang baik. 

Ada sembilan domain yang men jadi ukuran GNH yaitu, tingkat kesejahtera an/kebahagiaan psikologis (psychological wellbeing), kesehatan (health), pendidikan (education), pemanfaatan waktu (time use),keragaman dan ketahanan budaya (cultural diversity and resilience), pemerintahan yang baik (good governance),daya hidup komunitas (community vitality), keragaman dan ketahanan ekologis (ecological diversity and resilience), dan taraf hidup (living standard). Sebagai alternatif pembangunan PBI maupun GNH mem bawa kita pada pertanyaan penting. Apakah model tersebut akan berhasil di Indonesia? 

Bertarung di Kelas Ekonomi 

Tantangan pertama PBI mau pun GNH ada di wilayah akademik. Biarpun PBI dan GNH dirumuskan oleh ekonom ternama, namun tidak sertamerta konsep ini bisa diajarkan di Fakultas Ekonomi. PBI maupun GNH harus terlebih dulu menggeser dominasi paradigma neoklasik yang diwariskan Mafia Berkeley. 

Ada dua warisan Mafia Berkeley yang masih merajai pengajaran di fakultas ekonomi. Pertama,dominasi konsep homoeconomicus (manusia ekonomi). Konsep ini selalu diajarkan secara berlebihan di kelas teori. Ide ini merujuk pada The Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776) yang ditulis Adam Smith. Di sini keegoisan manusia (selfish) untuk memenuhi kebutuhannya dianggap sebagai kewajaran. 

Istilah maximum gain minimum sacrifice dijadikan prinsip suci ekonomi yang pantang dilanggar. Inilah yang membuat cara berpikir sarjana ekonomi kita tak ada bedanya dengan para spekulan di pasar modal, yaitu hanya uang dan keuntungan. Sebaliknya, konsep homosocialis (manusia sosial) yang ditulis Smith dalam On the Theory of Moral Sentiments (1759), malah diringkas atau bahkan dibonsai habis di fakultas ekonomi. Padahal, Smith menekankan pentingnya empati atau cinta kasih manusia kepada masyarakatnya. 

Kedua, dominasi empiris-analitis atau deduktif sebagai alat analisis. Logika ini menekankan bahwa ekonomi adalah ilmu murni yang bebas nilai. Paradigma ini merujuk gagasan kelompok positivisme dalam perdebatan metodologi di abad ke-18. Positivisme menganggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenarannya lewat metode ilmu alam (natural science).

Setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan metode ilmu alam, dianggap tidak layak disebut sebagai ilmu. Pandangan positivisme ini membuat ilmu ekonomi mengalami dua hal. Pertama, dianggap terpisah dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu kritik sosial lainnya. Kedua, melalui pemikiran Ragar Frish dan Jan Timbergen yang mengembangkan Ekonometri, ilmu ekonomi disahkan sebagai ilmu murni dengan mengambil statistika dan matematika sebagai alat analisisnya. Pada titik inilah PBI dan GNH akan berhadapan dengan teori neoklasik secara akad emik. 

Neoklasik tegas menolak memasukkan faktor keadilan dan kebudayaan dalam analisisnya. Para ekonom barisan neo-klasik berkeyakinan penuh bahwa faktor etis seperti nilai, etika, dan ideologi tidak berperan dalam penentuan kebijakan ekonomi. Kebalikannya, PBI dan GNH didesain atas dasar keadilan, kebahagiaan, kebaikan umat, dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. 

Sokongan Politik 

Melalui lintasan sejarah, kita bisa melihat bahwa pilihan model pembangunan selalu ditentukan oleh sokongan politik. Model sosialisme menjadi juara di masa Orde Lama (Orla) karena disokong Presiden Soekaro yang berpaham sosialis. Sementara dominasi neoklasik berjaya di zaman Orde Baru (Orba) berkat dukungan politik Presiden Soeharto melalui Golkar dan militer. 

Pengaruh neoklasik dimulai ketika alumnus University of California, Berkeley, AS menukangi pembangunan pada tahun 1960-an. Widjojo Nitisastro, pemimpin Mafia Berkeley menekankan, pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya jalan pembangunan. Dampaknya, investasi asing mengucur deras ke Indonesia. Alhasil, angka-angka statistik pun segera melonjak drastis, inflasi yang pernah mencapai 600% berhasil ditarik hingga di bawah dua digit. 

Sukses inilah yang membuat Indonesia diganjar Bank Dunia sebagai salah satu “the Asian Economic Miracle”. Kesuksesan ini menjalar ke ruang kuliah di fakultas ekonomi. Teori ekonomi neo-klasik bersama metode analitis empirik didaulat sebagai buku babon ekonomi. Pengajar ekonomi merasa tidak bertaraf internasional, kalau tidak merujuk Paul Samuelson. 

Kajian ekonomi terasa hambar kalau tidak ada rimbunan statistika. Pada masa Orba, kepentingan itu terlihat jelas dari usaha para ahli pembangunan dan peneliti sosial mengontrol dan memanipulasi informasi agar bisa mem prediksi perubahan sosial. Melalui kontrol politik yang ketat, masyarakat direkayasa, termasuk dengan kekerasan agar targettarget yang telah dituangkan dalam cetak biru pembangunan menjadi kenyataan. 

Praktik manipulatif ini sebenarnya menunjukkan paradoks teori ekonomi neoklasik bersama model empiris-analisisnya. Karena apa yang tertera di atas kertas berdasarkan statistik dan matematika cenderung berbeda, bahkan berlawanan dengan kenyataan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekalipun belum tentu berdampak pada pemerataan kesejahteraan rakyat. 

Ironisnya, sekalipun perekonomian yang dibangun Widjojo Nitisastro rubuh di tahun 1998, namun praktik neoklasik tetap bercokol sampai sekarang. Pergantian rezim tidak secara otomatis mengganti model pembangunan. Hal itu bisa terjadi, karena fakultas ekonomi di Indonesia terus melahirkan ekonom-ekonom neo-klasik seperti Budiono dan Sri Mulyani. 

Dan merekalah menjadi arsitek utama pembangunan. Di akhir tahun 1990-an bengawan ekonomi UGM itu, Prof Dr Mubyarto meng kritik neoklasik yang enggan memasukkan faktor keadilan dan kebudayaan dalam analisisnya. Dia menawarkan ekonomi Pancasila sebagai jalan tengah. Namun, tawaran Mubyarto bagai jeritan di padang pasir. Prakarsa itu tak pernah menjadi arus besar (mainstreaming) dalam diskursus teori ekonomi di Indonesia. 

Tiadanya dukungan politik menyebabkan ekonomi Pancasila tidak bergaung. Walau digagas puluhan tahu lalu, teori ekonomi Pancasila lebih sering menjadi topik diskusi di ruang seminar, ketimbang diadopsi menjadi program pembangunan. Sampai di sini, saya tertarik menanti usaha para penganjur PIB maupun GNH mem perjuangkan gagasannya. 

Akankah mereka meraup dukungan politik. Penganjur PIB maupun GNH harus membuktikan bahwa rintisan pembangunan yang mereka tawarkan bisa mengakomodir keberagaman budaya Indonesia. Mereka harus membuktikannya dalam realitas. Karena kajian akademis saja belum cukup membuktikan PIB maupun GNH cocok dan diterima di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar