|
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013
Jika ingin melihat hasil dari
sebuah proses pendidikan, lihatlah bagaimana sikap dan watak anak-anak kita 25
tahun ke depan.
Jika sikap dan watak ratarata anak Indonesia baik dan jujur
yang ditandai dengan minimnya kasus-kasus korupsi dan perbuatan asusila
lainnya, itu berarti buah dari proses pendidikan yang benar. Jika masa depan
Indonesia jauh lebih buruk daripada kondisi saat ini, itu berarti ada yang
salah dalam standar proses pendidikan kita.
Saya lebih memercayai standar proses dari standar lainnya.
Standar proses memerlukan guru-guru dengan standar norma dan perilaku yang tak
bisa dibeli, yaitu kejujuran dan keikhlasan. Ada ratusan bahkan ribuan sekolah,
madrasah, dan pesantren tutup ditinggalkan banyak peminatnya lantaran dalam
mengelola institusi, mereka tak memercayai dua hal, yaitu standar proses
pengajaran yang benar serta standar norma dan perilaku jujur dan ikhlas. Itu
artinya faktor guru sangat penting dan dominan dalam sebuah proses pendidikan.
Mari kita belajar mengapa misalnya Finlandia selalu menjadi
rujukan siapa saja yang tertarik dengan pengembangan sistem pendidikan. Sahlberg
(2011: 58) mengatakan titik singgung keberhasilan sistem pendidikan di
Finlandia terletak pada kesadaran yang sama antara pemerintah dan masyarakatnya
terhadap pen tingnya menegakkan keadilan sosial. Kesadaran semacam itulah yang
membuat proses pendidikan menjadi seimbang, tanpa perlu disusupi embelembel
moralitas palsu.
Kesadaran tentang keadilan sosial (social justice) merupakan simbol perlindungan bagi siapa saja yang
berada dalam radius sistem pendidikan yang berlaku. Ibarat rumah, social justice kemudian melahirkan
guru-guru dan anak-anak yang percaya setiap usaha untuk mengembangkan
pendidikan selalu bermula dari kesadaran bahwa persamaan (equity) dan distribusi sumber daya yang seimbang (equitable distribution of resources)
merupakan dua kata kunci implementatif dari keadilan sosial.
Dalam konteks tersebut, lagilagi
itu dilihat sebagai sebuah proses tak berujung, bukan sekedar menumbuhkan
kompetisi tak sehat di kalangan siswa dan guru seperti yang terjadi pada kasus
UN di Indonesia. Kesadaran moralitas itu penting untuk dipikirkan secara
implementatif dalam setiap proses rekrutmen guru dan siswa. Merekrut guru tak
sekadar proses menemukan seseorang yang bisa mengajar, tetapi menempatkan
posisi psikologis mereka ke dalam rumah guru Indonesia yang memercayai keadilan
sosial menjadi jauh lebih penting.
Jika rumah guru Indonesia ditempati para guru yang memiliki
kesadaran kolektif luar biasa itu, empat prinsip dasar dalam proses pendidikan
pasti akan terjadi, yaitu pertama, para guru akan memiliki kesadaran untuk
terus belajar daripada mengajar (teach
less, learn more). Bayangkan, jika sekolah kita dihuni guru dengan jenis
seperti itu, jangankan ujian nasional, ujian akhirat pun akan sanggup diatasi
terutama dalam melahirkan anak-anak yang memiliki sikap moral yang baik dan
bertanggung jawab. Kedua, para guru akan melakukan proses belajar-mengajar di
kelas dengan penuh sukacita karena tidak dihantui setumpuk tes yang membebani
pikiran mereka beserta anak didik. Prinsip test
less, learn better juga harus menjadi katalisator efektif dalam membuat
skema pembelajaran yang menyenangkan sepanjang hayat.
Selain itu, saya membayangkan prinsip keadilan sosial dalam
pendidikan akan melahirkan kebijakan yang memandang manusia secara sejajar serta
melihat perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai aset komunitas yang
harus terus dikelola dengan benar. Kita sudah memilikinya dalam dasar negara
Pancasila, tetapi lemah dalam aspek implementasinya. Persamaan (equity) dalam proses pendidikan berarti
kita harus memberi perhatian lebih kepada kebutuhan siswa (student need) dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan
tersebut.
Karena itu, menjadi penting bagi kita semua untuk mulai
mereformasi dunia pendidikan kita dari dalam sekolah, bukan dari luar. Segala
bentuk intervensi yang mengatasnamakan reformasi, apalagi bersifat politis,
hanya akan menambah panjang penderitaan anak-anak kita.
Memperbaiki kualitas guru menjadi lebih baik, lebih kritis,
lebih menghargai perbedaan, serta lebih memiliki keinginan untuk terus belajar
juga agenda terbesar sekolah, bukan pemerintah tingkat pusat. Mungkin itu yang
dimaksud Wakil Presiden Boediono, bahwa jangan-jangan UN, misalnya, lebih baik
didesentralisasi.
Saya mengartikan desentralisasi itu, secara domestik, ialah
tanggung jawab sekolah beserta masyarakat sekitar yang anak-anaknya bersekolah
di situ, bukan desentralisasi yang dikelola pemerintah daerah yang tak paham
dan sama sekali tak mengerti hakikat pendidikan. Itu artinya proses membuat
rumah guru Indonesia harus dimulai di tingkat sekolah, dengan cara memetakan
problem yang muncul menyangkut kompetensi guru, kepala sekolah, dan orangtua.
Saya kira saran dari Sahlberg (2011) cocok untuk memulai
langkah kecil perubahan sistem pendidikan kita, seperti selalu berpikir ke
depan (thinking ahead) secara
visioner untuk membuat sekolah-sekolah menjadi lebih baik. Kemudian, perubahan
itu harus dimulai dari kondisi internal sekolah (delivering within the school),
bukan tempat yang lain, bukan kantor Kemendikbud atau pemda.
Yang terakhir, sekolah harus memiliki program yang
memberdayakan sekolah lainnya (leading
across) sehingga para guru, kepala sekolah, dan siswa memiliki kesempatan
untuk belajar dari sekolah lainnya.
Akhirnya, rumah guru Indonesia ialah kesadaran panjang
tentang pentingnya memercayai prinsip keadilan sosial (social justice) sebagai basis filosofis proses, praktik, dan
program pendidikan yang bermuasal dari tiap sekolah. Di dalam sekolah biasanya
muncul ide dan konsep-konsep menarik tentang masa depan secara generic dan genuine, terutama dari guru, kepala sekolah, dan siswa yang selalu
memaknai belajar sebagai kebutuhan sepanjang hayat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar