|
SUARA MERDEKA, 29 April 2013
Ujian
nasional (UN), tahapan yang selalu terdengar angker bagi sebagian peserta
didik. Betapa tidak, nasib mereka setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan
ditentukan oleh hasil akhir ujian, dan pekan depan dimulai ujian nasional untuk
satuan SD/ MI. Beragam problematika mengiringi hari-hari peserta ujian.
Tekanan
psikis menuntut mereka bisa lulus dengan nilai yang distandarkan acap membuat
stres. Fenomena kesurupan massal merupakan salah satu bukti yang sering
bermunculan menjelang pelaksanaan ujian. Kondisi itu diperburuk dengan
rendahnya kualitas lembar jawaban komputer sehingga rentan robek saat dihapus.
Keminiman
jumlah soal, bahkan dijumpai pula soal-soal yang tidak terdistribusikan dengan
baik sehingga tak ayal ujian pun tertunda. Semua kondisi itu otomatis
memengaruhi mental siswa. Belum lagi tindakan melanggar hukum yang mengitari
medan ujian. Dari kabar bocoran soal lengkap dengan jawabannya, kelonggaran
pengawas ujian, sistem dongkrak nilai dari pihak sekolah, hingga modus
kecurangan lain.
Tekanan
untuk bisa lulus, tak hanya dirasakan siswa. Ada lingkaran yang saling menekan,
mengitari perjalanan ujian. Siswa mendapat tekanan dari guru; guru mendapat
tekanan dari kepala sekolah; kasek mendapat tekanan dari pengurus sekolah;
pengurus sekolah mendapat tekanan dari pejabat Dinas Pendidikan.
Tidak
berhenti pada titik itu karena masih berlanjut. Pejabat Dinas Pendidikan
mendapat tekanan dari wali kota/ bupati; wali kota/ bupati mendapat tekanan
dari gubernur; gubernur mendapat tekanan dari menteri; dan menteri mendapat
tekanan dari presiden. Demikianlah rangkaian yang berkelindan selama ujian.
Dari
rangkaian tekanan itu pastilah ada upaya supaya dapat memenuhi target
kelulusan. Beragam jalan pun ditempuh, dan tak dimungkiri beragam modus
kecurangan ikut mewarnai perjalanan ujian. Mengingat UN menyumbang nilai 60%
dari syarat kelulusan, sisanya 40% benar-benar diupayakan oleh pihak sekolah
agar seluruh siswa lulus.
Hal
itu tidak adil bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik bagus. Perekayasaan
nilai menurunkan mutu pendidikan. Kecurangan itu juga membentuk mental buruk
bagi siswa. Padahal melalui merekalah tongkat estafet pembangunan bangsa
diteruskan. Karena itu sejak dini siswa perlu dibekali pendidikan karakter.
Tidak
hanya dari segi intelektual, namun juga segi akhlak. Pendidikan karakter tidak
serta merta bisa didapat tanpa melalui proses. Makin jelas, ujian nasional
tidak pas jika semata-mata dijadikan acuan kelulusan karena keputusan itu bisa
mendorong beberapa pihak melegalkan berbagai cara demi kelulusan.
Potret Konkret
Pada
dasarnya, ujian nasional bertujuan memetakan pemerataan pendidikan. Proses
belajar meliputi rencana, pelaksanaan, dan penilaian atau evaluasi.
Sebelum-nya, dunia pendidikan menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), dan pihak sekolah menentukan sendiri rencana pembelajaran melalui
kurikulum, menentukan pelaksanaan melalui kegiatan belajar mengajar.
Persoalannya,
penilaian atau evaluasi dirampas oleh pemerintah melalui ujian nasional. Kenapa
bukan sekolah yang menentukan kelulusan? Tahun ajaran 2013 pemerintah mulai
menerapkan kurikulum baru, yang lebih mengedepankan proses, bukan hasil.
Pemerintah perlu mengaji ulang pelaksanaan ujian nasional, dan mengembalikan
fungsi seperti semula.
Biarkanlah
pihak sekolah menentukan kelulusan. Berapa pun nilai ujian semua siswa dapat
lulus, letakkanlah beban berat syarat kelulusan ujian nasional pada pundak
siswa. Hal itu supaya tidak ada lagi cerita yang melatarbelakangi tekanan
mental mereka. Ke depan, untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, biarkanlah sekolah menyeleksi calon siswa.
Mereka
yang lulus dengan nilai baik pasti dapat diterima di sekolah yang memiliki
kualitas pendidikan baik pula. Adapun siswa yang kurang nilai akademiknya tetap
dapat melanjutkan ke sekolah yang memasang standar tidak terlalu tinggi. Pola
itu bisa memotret kualitas pendidikan secara lebih nyata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar