|
KOMPAS, 28 April 2013
Chairil
memasuki pergaulan seni rupa yang menurut saya menarik. Ada beberapa pelukis
penting yang berhubungan erat dengannya, yaitu Affandi, S Sudjojono, Basuki
Resobowo, dan Nashar. Dalam sebuah puisinya, Chairil menyebut salah satu
lukisan Raden Saleh, ”Kebakaran di Hutan”. Ilustrasi dalam buku puisi Chairil
terbitan Dian Rakyat, juga dibuat perupa penting yang pernah menyatakan ”seni
rupa Indonesia tidak ada”, Oesman Effendi.
Lukisan
Affandi tentang Chairil, yang dirampungkan pada saat penyair itu dimakamkan,
memperlihatkan penglihatan pergaulan seniman dalam lingkungan sosialisme dan
eksistensialisme pada masanya: warna-warna keras, tajam, kelam, dan
bergelombang. Tubuh Chairil melompat (seperti terbang), jari-jari tangannya
terbuka antara menggapai dan akan mencengkeram. Kebinatangan yang dibiarkan
menjadi luapan energi pada tubuhnya.
Lukisan
itu ikut menarasikan sosok kepenyairan dan bagaimana seorang seniman memandang
kehidupan. Narasi yang menjadi legendaris tentang kesunyian, individualisme,
pemberontakan yang mewarnai identitas seniman-seniman modernis pada masanya.
Masa di mana pertemuan antara sastra dan seni rupa saling membentuk narasi
untuk imaji-imaji di sekitar dunia seni dan seniman. Bayangannya ikut
menciptakan ilusi dari bagaimana seni dan sastra mengisi arus internalisasi
dari kebudayaan baru untuk Indonesia baru.
Menjadi
menarik kalau kita menatap lukisan itu melalui salah satu puisi Chairil yang
ditulisnya untuk Affandi ”Kepada Pelukis Affandi”: Dan tangan ’kan kaku,
menulis berhenti. Kecemasan derita, kecemasan mimpi. Berilah aku tempat di
menara tinggi. Dimana kau sendiri meninggi. Antara Chairil dan Affandi,
keduanya saling mengambil posisi monumental dalam membangun personifikasi dari
bentuk kemanusiaan yang mereka idealkan. Kemanusiaan yang berusaha keluar dari
setting bangsa inlander yang telah mengoloni tubuh-kolonial dalam pergaulan
setelah kemerdekaan. Aku binatang jalang tidak hanya perlawanan politik tubuh
dari kolonialisme antropologi atas bangsa-bangsa terjajah. Tatapan monumental
ini, yang banyak memenuhi bahasa visual dalam puisi-puisi Chairil, kadang
menjadi sangat karikaturalistik dalam penggambaran kepahlawanan. Terutama dalam
puisinya tentang Dipo Negoro: Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang
semangat yang tak bisa mati.
Puisi
itu tidak terlalu jauh dari bagaimana Raden Saleh menafsirkan kembali adegan
penangkapan Diponogoro yang memperlihatkan komposisi politik tubuh antara
tubuh-kolonial dan tubuh-penjajah. Lukisan yang mengubah perjuangan Diponogoro
yang tanahnya telah dirampas menjadi ikon perlawanan nasionalisme yang heroik.
Puisi Chairil yang lain, ”Betinanya Affandi”, juga untuk Affandi, menarik untuk
dilihat dalam konteks lukisan Affandi tentang Chairil maupun paradoks identitas
Barat dan Timur yang masih menjadi wacana besar pada masa mereka: ... jika di
barat nanti menjadi gelap. Turut tenggelam sama sekali. Juga yang mengendap. Di
mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Permainan
rima antara gelap, tenggelam dan mengendap merupakan khas Chairil membuat majas
dalam puisi-puisinya. Gelap dan tenggelam menjadi visual ketika dimasukkan
unsur mengendap dalam puisinya. Mengendap menghasilkan gambaran antara
kemanusiaan, kerawanan dan kecemasan sekaligus, tetapi juga unsur gerak yang
disembunyikan.
Gramatika
Chairil
juga membuat puisi untuk pelukis Basuki Resobowo dalam tiga versi. Puisi yang
memberi pembacaan kritis terhadap cara-cara agama melukiskan surga melalui
bidadari dan sungai susu. Penghadiran sosok nenek dalam puisi ini digunakan
Chairil untuk memunculkan ruang dongeng dari kebiasaan bahwa neneklah yang
selalu menceritakan dongeng. Sosok yang memenuhi unsur ruang dan waktu sebagai
narasi di luar pengalaman investigatif.
Pergaulan
seni rupa yang dilakukan Chairil terlihat hasilnya yang lebih konkret pada
gramatika puisi yang tidak lagi melayani gramatika bahasa Indonesia. Gramatika
puisi Chairil mematahkan unsur linieritas bahasa melalui kerja ”menatap” yang
banyak dilakukan dalam puisi-puisinya:
Dan bara kagum menjadi api/ Berselempang
semangat yang tak bisa mati//Mampus
kau dicabik-cabik sepi// Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan terbuang//
Sedang dengan cermin, aku enggan berbagi// Aku bercermin tidak untuk ke pesta.
Gramatika
itu membuat dinamika baru antara subyek dan predikat. Majas yang tidak lagi
melakukan hiperbola pada umumnya, seperti cara-cara penggambaran kecantikan
perempuan dengan ”bulan purnama”. Melainkan majas yang dilakukan dalam
lingkungan semiotik dari subyek yang diangkat, seperti antara bara dan api (Dan
bara kagum menjadi api). Bara dan api mengalami visualisasi baru dengan
memasukkan kata kagum dalam puisi ini. Faktor kagum yang dengan tegas
menghasilkan tubuh pada bara dan api. Chairil memasukkan faktor tubuh dalam
bahasa puisinya yang tidak lazim dalam puisi-puisi dari generasinya: Mampus kau
dicabik-cabik sepi. Sepi dihadirkan sebagai makhluk yang buas.
Dalam
dunia patung, kerja monumental umumnya dilakukan melalui pilihan materi-materi
berat seperti logam, batu, dan beton. Menggunakan ukuran besar yang tidak bisa
diatasi tubuh. Ditempatkan di ruang outdoor yang bisa terlihat dari berbagai
arah. Dalam puisi Chairil, kerja monumental itu bisa menjadi sangat internal:
sesuatu yang terjadi di dalam, melainkan tetap bisa dilihat dari luar. Dalam
puisi ”Lagu Biasa” itu, unsur eksternal dalam setting internal terjadi dengan
menghadirkan faktor orkes dan nyanyian ”Ave Maria” yang dibuat paradoks antara
religiusitas dan tindakan romantik lelaki perempuan.
Kerja
monumental seperti yang dilakukan Chairil itu, dengan latar modernisme yang
bunyinya tidak hanya keras untuk bahasa Indonesia, tetapi juga untuk Indonesia
sebagai pembentukan bangsa dan negara baru, merupakan latar yang kini sulit
kita temukan. Kerja monumental semakin tergantikan dengan realitas fragmentaris
yang berlangsung di sekitar kita. Realitas yang pecah, masa kini yang
realitasnya selalu kehilangan bingkainya sendiri. Pergeseran pasar dan modal,
pergantian produk-produk konsumsi yang masif dan cepat, mobilisasi ruang dan
waktu yang cepat, migrasi identitas yang masif melalui globalisasi, salah satu
di antara faktor yang tidak lagi memungkinkan menggunakan kerja monumental dalam
politik identitas kita di masa kini.
Globalisasi
dengan unsur utamanya dalam kontrol keuangan internasional, pada satu sisi
memang masih menggunakan maksimalisasi dari kerja monumental melalui pembesaran
modal, pasar, dan produk-produk massal. Tetapi semuanya dilakukan dengan materi
yang lebih cepat rusak dan hancur untuk menghasilkan perputaran yang lebih
cepat. Mengecoh penguasaan di atas fondasi yang tidak permanen, melainkan mobil
untuk percepatan, perubahan, dan pemindahan.
Kardus
merupakan materi yang tepat untuk realitas masa kini. Kardus digunakan untuk
menyimpan dan melindungi. Tetapi sifatnya sementara, tidak seperti penggunaan
peti besi. Sementara cermin, yang banyak digunakan Chairil dalam puisinya, kini
menghasilkan ruang maya yang baru melalui media digital, TV, maupun internet.
Tidak satu pun puisi Chairil pada masanya yang menggunakan materi kardus, dan
memperlihatkan bagaimana dunia pengemasan pada masa Chairil memang masih berada
dalam ilusi cermin: aku bisa melihat diriku dengan posisi di depan cermin.
Cermin seakan-akan telah mengembalikan aku kepada diriku sebagai ”aku yang
terlihat”. Tetapi aku dalam cermin itu, adalah aku yang tidak bisa dimasuki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar