|
JAWA POS, 29 April 2013
"The new breakout!" Slogan itu terpampang di halaman utama situs sebuah
perusahaan raksasa pembuat motor gede (moge). Pilihan kata breakout serta-merta berasosiasi dengan
kebebasan, pemberontakan, keberanian, bahkan kenekatan.
Teringat
pula wajah Ustad Jefri Al Buchori (rahimakumullah)
yang ternyata juga doyan mengendarai motor gede. Tak terbantahkan bahwa pemilik
motor gede adalah mereka yang ber-"jiwa laki!" -moto minuman tonik
yang iklannya juga dibintangi Uje, sapaan Ustad Jefri Al Buchori.
Tentu ada aksi-aksi luhur yang dilakukan para pemilik moge. Sayang,
kendati saya pasti bias, motor gede kadung memunculkan gelembung-gelembung
memori yang kurang sedap. Mulai kelakuan para pengendara motor gede (pemoge)
yang arogan di jalan raya hingga peristiwa mengenaskan berupa sejumlah
kecelakaan lalu lintas yang menimpa pengusaha, ada juga politisi, dan seorang
guru agama (Uje). Termasuk berita di Jawa
Pos kemarin, di Jogjakarta
seorang dokter pemoge masuk rumah sakit setelah menabrak ambulans jenazah
akibat menerobos lampu merah.
Jika benar bahwa pecandu motor gede adalah "jiwa laki!",
barangkali kesukaan itu efek dari adrenalin dan endorfin. Adrenalin yang
mengalir deras membangkitkan sensasi tegang, waspada. Sementara endorfin yang
membanjiri tubuh mendatangkan perasaan gembira, suka ria.
Semua orang memiliki dua jenis hormon tersebut. Bedanya "hanya"
di dompet. Bagi yang berkantong tipis, kombinasi adrenalin dan endorfin bisa
dirasakan ketika melakukan demonstrasi anarkistis dan dikejar-kejar polisi.
Bagi yang koceknya lumayan berisi, jejeritan namun asyik bisa dialami dengan
menaiki roller coaster di Dunia Fantasi. Nah, yang
pundi-pundinya tak lagi berbunyi lantaran penuh sesak oleh harta bisa menjajal
tsunami adrenalin dan banjir bandang endorfin saban menunggangi motor gede.
Bagusnya, para pengguna motor gede di sini tampil bersih dan rapi. Mereka
kalangan profesional kerah putih. Beda dengan komunitas yang sama di sejumlah
negara Barat yang kebanyakan berpenampilan liar seperti tak terurus, menenggak
minuman keras, dan melakukan seks bebas.
Tapi, saya tidak percaya bahwa Uje juga tengah tenggelam dalam sensasi
hormonal pada kecelakaan malam itu. Uje dikabarkan baru sakit. Adrenalin dan
endorfinnya mungkin sudah lebih dulu menyelinap ke balik kelambu, tak
tahu-menahu perihal kejadian memilukan yang dialami Uje.
Hindsight Bias
Uje juga bukan sosok semrawut. Justru Uje adalah guru agama idaman: Suara
indah, banyak ayat dan hadis yang dihafalnya di luar kepala, gaya ceramahnya
memang beda, tampilan lahiriah pun memesona. Dia figur panutan. Uje, bersama
dengan ustad-ustad lain semisal Aa' Gym dan Yusuf Mansur, laksana antitesis
dari ulama mestinya sudah lanjut usia. Ribuan umat yang membanjiri kediaman
Uje, menyemut di Masjid Istiqlal, dan membeludak di tempat Uje dimakamkan
adalah bukti tak terbantahkan bahwa betapa banyak orang yang hatinya tergerak
oleh sang ustad.
Entah berapa kilometer per jam laju motor gede Uje saat membentur pohon.
Pastinya, saya sempat terenyak betapa ukuran motor yang besar ternyata tidak
lantas membuat pengendaranya lebih tahan cedera. Andai itu terjadi pada motor
berukuran kecil, sepertinya lebih masuk akal. Apalagi, statistik menunjukkan
bahwa jumlah kecelakaan motor jauh lebih banyak daripada kecelakaan mobil.
Penyebabnya adalah motor lebih mudah oleng akibat tertiup angin atau terkena
gaya dorong dari kendaraan besar yang berpapasan dengannya. Karena itu, dengan memperbesar
ukuran motor, seperti bisa dijumpai pada motor di negara-negara Barat, menjadi
solusi bagi pengemudi kendaraan roda dua agar lebih bisa mengendalikan
tunggangannya.
Alhasil, besar kemungkinan kali ini terbukti lagi bahwa kebanyakan
kecelakaan lalu lintas melibatkan faktor majemuk. Kondisi kendaraan, satu hal.
Hal lain adalah si pengemudi sendiri. Human
error istilahnya.
Kesalahan pada faktor manusia (pengendara) berupa penyimpangan berpikir
yang disebut hindsight bias.
Bias itu ditandai oleh keyakinan individu bahwa dia tidak akan terkena bahaya.
Andai risiko datang, individu tersebut juga percaya bahwa dirinya akan mampu
menghadapi risiko sehingga lolos dari situasi yang tak diinginkan. Tatkala hindsight bias datang, muncul perilaku yang menyerempet-nyerempet
bahaya alias vivere pericoloso.
Saya tidak tahu apakah Uje mengalami bias kognitif seperti itu. Tetapi,
paling tidak, mengemudi saat kondisi badan sedang tidak bugar, saat tengah
malam buta pula, jelas bukan keputusan ideal.
Apa pun itu, saya ingin mengingat Uje sembari mengenang lagi keasyikan
batin setiap kali mendengar tausiah Uje. Sebagai orang yang pernah belok sana
belok sini (tidak hanya menyerempet, tapi menerjang bahaya), lalu memperoleh
hidayah untuk kembali ke titian lurus, ceramah-ceramah Uje terdengar otentik.
Uje kiranya sudah menemukan kendaraan pengganti. Kendaraan bersahaja yang
mengantarnya ke masa rehat yang sesungguhnya. Aamiin.
Allahu a'lam.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar