Selasa, 30 April 2013

Awas Bias Psikis Pemoge


Awas Bias Psikis Pemoge
Reza Indragiri Amriel ;  Psikolog Forensik, Konsultan UNODC dan Indonesia Legal Roundtable, Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
JAWA POS, 29 April 2013


"The new breakout!" Slogan itu terpampang di halaman utama situs sebuah perusahaan raksasa pembuat motor gede (moge). Pilihan kata breakout serta-merta berasosiasi dengan kebebasan, pemberontakan, keberanian, bahkan kenekatan. 

Teringat pula wajah Ustad Jefri Al Buchori (rahimakumullah) yang ternyata juga doyan mengendarai motor gede. Tak terbantahkan bahwa pemilik motor gede adalah mereka yang ber-"jiwa laki!" -moto minuman tonik yang iklannya juga dibintangi Uje, sapaan Ustad Jefri Al Buchori.

Tentu ada aksi-aksi luhur yang dilakukan para pemilik moge. Sayang, kendati saya pasti bias, motor gede kadung memunculkan gelembung-gelembung memori yang kurang sedap. Mulai kelakuan para pengendara motor gede (pemoge) yang arogan di jalan raya hingga peristiwa mengenaskan berupa sejumlah kecelakaan lalu lintas yang menimpa pengusaha, ada juga politisi, dan seorang guru agama (Uje). Termasuk berita di Jawa Pos kemarin, di Jogjakarta seorang dokter pemoge masuk rumah sakit setelah menabrak ambulans jenazah akibat menerobos lampu merah.

Jika benar bahwa pecandu motor gede adalah "jiwa laki!", barangkali kesukaan itu efek dari adrenalin dan endorfin. Adrenalin yang mengalir deras membangkitkan sensasi tegang, waspada. Sementara endorfin yang membanjiri tubuh mendatangkan perasaan gembira, suka ria.

Semua orang memiliki dua jenis hormon tersebut. Bedanya "hanya" di dompet. Bagi yang berkantong tipis, kombinasi adrenalin dan endorfin bisa dirasakan ketika melakukan demonstrasi anarkistis dan dikejar-kejar polisi. Bagi yang koceknya lumayan berisi, jejeritan namun asyik bisa dialami dengan menaiki roller coaster di Dunia Fantasi. Nah, yang pundi-pundinya tak lagi berbunyi lantaran penuh sesak oleh harta bisa menjajal tsunami adrenalin dan banjir bandang endorfin saban menunggangi motor gede.

Bagusnya, para pengguna motor gede di sini tampil bersih dan rapi. Mereka kalangan profesional kerah putih. Beda dengan komunitas yang sama di sejumlah negara Barat yang kebanyakan berpenampilan liar seperti tak terurus, menenggak minuman keras, dan melakukan seks bebas.

Tapi, saya tidak percaya bahwa Uje juga tengah tenggelam dalam sensasi hormonal pada kecelakaan malam itu. Uje dikabarkan baru sakit. Adrenalin dan endorfinnya mungkin sudah lebih dulu menyelinap ke balik kelambu, tak tahu-menahu perihal kejadian memilukan yang dialami Uje.

Hindsight Bias 

Uje juga bukan sosok semrawut. Justru Uje adalah guru agama idaman: Suara indah, banyak ayat dan hadis yang dihafalnya di luar kepala, gaya ceramahnya memang beda, tampilan lahiriah pun memesona. Dia figur panutan. Uje, bersama dengan ustad-ustad lain semisal Aa' Gym dan Yusuf Mansur, laksana antitesis dari ulama mestinya sudah lanjut usia. Ribuan umat yang membanjiri kediaman Uje, menyemut di Masjid Istiqlal, dan membeludak di tempat Uje dimakamkan adalah bukti tak terbantahkan bahwa betapa banyak orang yang hatinya tergerak oleh sang ustad.

Entah berapa kilometer per jam laju motor gede Uje saat membentur pohon. Pastinya, saya sempat terenyak betapa ukuran motor yang besar ternyata tidak lantas membuat pengendaranya lebih tahan cedera. Andai itu terjadi pada motor berukuran kecil, sepertinya lebih masuk akal. Apalagi, statistik menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan motor jauh lebih banyak daripada kecelakaan mobil. Penyebabnya adalah motor lebih mudah oleng akibat tertiup angin atau terkena gaya dorong dari kendaraan besar yang berpapasan dengannya. Karena itu, dengan memperbesar ukuran motor, seperti bisa dijumpai pada motor di negara-negara Barat, menjadi solusi bagi pengemudi kendaraan roda dua agar lebih bisa mengendalikan tunggangannya.

Alhasil, besar kemungkinan kali ini terbukti lagi bahwa kebanyakan kecelakaan lalu lintas melibatkan faktor majemuk. Kondisi kendaraan, satu hal. Hal lain adalah si pengemudi sendiri. Human error istilahnya.

Kesalahan pada faktor manusia (pengendara) berupa penyimpangan berpikir yang disebut hindsight bias. Bias itu ditandai oleh keyakinan individu bahwa dia tidak akan terkena bahaya. Andai risiko datang, individu tersebut juga percaya bahwa dirinya akan mampu menghadapi risiko sehingga lolos dari situasi yang tak diinginkan. Tatkala hindsight bias datang, muncul perilaku yang menyerempet-nyerempet bahaya alias vivere pericoloso.

Saya tidak tahu apakah Uje mengalami bias kognitif seperti itu. Tetapi, paling tidak, mengemudi saat kondisi badan sedang tidak bugar, saat tengah malam buta pula, jelas bukan keputusan ideal.

Apa pun itu, saya ingin mengingat Uje sembari mengenang lagi keasyikan batin setiap kali mendengar tausiah Uje. Sebagai orang yang pernah belok sana belok sini (tidak hanya menyerempet, tapi menerjang bahaya), lalu memperoleh hidayah untuk kembali ke titian lurus, ceramah-ceramah Uje terdengar otentik. 

Uje kiranya sudah menemukan kendaraan pengganti. Kendaraan bersahaja yang mengantarnya ke masa rehat yang sesungguhnya. Aamiin. Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar