|
SINAR HARAPAN, 29 April 2013
Harian Sinar Harapan memasuki
usia ke-52 tahun pada 27 April 2013. Prinsip pemberitaan yang menjadi jantung
surat kabar ini adalah jurnalisme damai. Pembeda pokok jurnalisme damai dengan
jurnalisme arus utama (mainstream)
dapat ditelusuri ketika peliputan terhadap konflik dijalankan.
Samuel Peleg (2006) mengemukakan
bahwa jurnalisme arus utama berposisi sebagai mesin propaganda dan menciptakan
garis pemisah antara pihak yang berkonflik sebagai “kita” melawan “mereka”.
Kategori “kita” versus
“mereka” yang ditampilkan media biasanya merupakan cermin dari keadaan sosial
yang membelah pihak mayoritas dengan pihak minoritas. Supaya dari segi ekonomi
dan politik lebih aman, media massa mengambil sudut pandang suara mayoritas
dalam pemberitaan, dan serentak dengan itu mengabaikan suara minoritas.
Jurnalisme damai pada
situasi semacam itu justru bisa menyuarakan kelompok minoritas yang dibisukan.
Dengan demikian, media yang menampilkan suara kaum minoritas tidak bisa dicap
sebagai alat propaganda mereka, kecuali jika media itu memberitakan konflik
secara hitam-putih dengan berpola kita-mereka.
Menyuarakan kepentingan
minoritas tidak saja dapat dilihat sebagai realisasi penciptaan perdamaian,
melainkan pelaksanaan amanat kebebasan pers. Sejak 2009, UNESCO menekankan
bahwa media wajib bertanggung jawab pada pemberitaannya untuk mampu mencerminkan
seluruh kepentingan masyarakat.
UNESCO (lembaga Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, sosial, dan kebudayaan) menyatakan
bahwa media harus mampu memberikan suara kepada kaum minoritas dan
kelompok-kelompok terpinggirkan.
Selain itu, UNESCO—sebagai
pemegang mandat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers—juga menegaskan media
harus mampu mendorong terciptanya dialog di antara semua kelompok yang terdapat
dalam masyarakat.
Persoalannya, apakah mudah
bagi media yang berada dalam masyarakat yang pluralistik untuk memberikan suara
bagi kaum minoritas? Apa mungkin bagi pihak media mendorong munculnya dialog
dalam masyarakat majemuk jika prasangka dan diskriminasi memenuhi ruang-ruang
sosial dan kebudayaannya?
Inilah tantangan yang harus
dihadapi kalangan jurnalis serta para pengelola media. Terlebih lagi, ketika
media menyuarakan kepentingan kaum minoritas selalu rentan mendapat ancaman,
seperti penyerbuan yang dilakukan segerombolan orang atau berbagai aksi lain
yang menimbulkan ketakutan.
Media, yang memiliki tekad
kuat untuk menyajikan suara dari kelompok yang dibisukan, justru dituding
menjadi megafonagitasi bagi kelompok abnormal. Padahal, tujuan media dalam
menyuarakan kaum minoritas adalah untuk menghadirkan semua kelompok sosial
secara seimbang.
Memilih Bungkam
Tanpa kepedulian media
terhadap minoritas, niscaya kelompok mayoritas semakin mendominasi kaum
minoritas. Kelompok mayoritas seakan-akan dibolehkan melakukan kekerasan
terhadap kaum yang kecil jumlahnya dengan mengerahkan slogan, seperti ideologi,
keyakinan, dan kebenaran yang tidak bisa dikompromikan.
Dalam situasi ini, banyak
media yang memilih bungkam dan membiarkan kekerasan terhadap kaum minoritas
berlangsung. Akibatnya, media hanya menjadi corong dan sarana pembenar
bagi kaum mayoritas memonopoli kebenaran dengan cara kekerasan.
Pada masyarakat yang sangat
majemuk, persoalan mayoritas-minoritas niscaya terjadi. Inilah model masyarakat
yang terbentuk dari kolase etnisitas, agama, gender, seksualitas, dan kelas
sosial yang tidak mungkin diseragamkan.
Problem minoritas muncul,
sebagaimana dikemukakan Alex Thio (1989), ketika kelompok mayoritas memiliki
prasangka berlebihan dan akhirnya menjalankan diskriminasi. Prasangka merupakan
sikap negatif terhadap anggota-anggota kelompok minoritas, seperti dalam
pemikiran, keyakinan, perasaan, dan kecenderungan yang memojokkan. Diskriminasi
adalah tindakan penyingkiran yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Prasangka dan diskriminasi
terhadap kaum minoritas ini sering kali dikekalkan dalam pemberitaan media.
Mengapa? Ada empat kemungkinan yang bisa menyajikan jawabannya. Pertama,
pihak jurnalis memiliki gagasan yang menjadi panduan dalam bekerja.
Boleh jadi jurnalis menolak
berprasangka dan tidak sudi mendiskriminasi kaum minoritas. Tapi, karena
ruang-ruang sosial tidak memungkinkan jurnalis mengekspresikan pemikiran dan
sikap antiprasangka dan menolak diskriminasi, maka jurnalis tersebut kemudian berkompromi
atau tunduk pada dominasi yang terjadi.
Kedua, struktur dan
pembagian peran dalam organisasi pemberitaan. Inilah persoalan internal redaksi
yang rumit dipecahkan. Apabila ruang-ruang berita media tidak memberi iklim
memadai bagi kemungkinan menyuarakan kaum minoritas, media hanya mengikuti
kehendak mayoritas.
Seorang jurnalis yang
memiliki sikap kritis terhadap diskriminasi dan perilaku tidak bermoral yang
dilakukan kelompok mayoritas, otomatis, tergerus dalam ruang pemberitaan yang
kompromistis. Ruang internal media dikalahkan kekuatan eksternal yang
melingkupinya.
Ketiga, kepentingan ekonomi
dan politik yang digulirkan oleh pemilik modal media. Pada dimensi ini terdapat
wajah ganda yang kemungkinan terjadi. Jika pemilik modal adalah sosok yang cenderung
menerima prasangka dan perilaku diskriminatif, media dikendalikan untuk
menyenangkan dan sekadar membenarkan kelompok mayoritas.
Sebaliknya, jika pemilik
modal merupakan figur yang berani menggugat prasangka dan aksi diskriminatif,
media didorong mempertanyakan dan bahkan melawan tindakan-tindakan kelompok
mayoritas yang melawan hukum.
Keempat, lingkungan sosial
dan politik media. Tentu saja, media tidak hidup dalam situasi masyarakat dan
perpolitikan yang vakum. Kekuatan lingkungan yang bercorak eksternal ini sangat
memengaruhi kelangsungan hidup media.
Jika suatu ketika media
menyajikan pemberitaan yang menolak prasangka dan diskriminasi, sedangkan
masyarakat memberikan dukungan yang memadai, maka media itu pasti bersemangat
mendukung persamaan hak bagi semua kelompok.
Apabila masyarakat dan para
elite politik justru bertindak sebaliknya, media mengalami ketakutan.
Intimidasi, penggerudukan, dan kekerasan yang mengancam kebebasan media tidak
memungkinkan media berpihak dan menyuarakan kaum minoritas.
Memuat Ketidakadilan
Persoalan yang sering kali
muncul ialah ketika pihak media memberikan porsi pemberitaan bagi kaum
minoritas seakan-akan media dianggap mengganggu tatanan sosial yang telah
mapan. Padahal, keinginan yang hendak diagendakan media adalah tatanan sosial
yang dinilai mapan dan penuh kenormalan itu pada dasarnya memuat ketidakadilan.
Media menggugat
ketidakadilan yang sedang terjadi bukan dengan cara provokatif, melainkan
dengan teknik edukatif. Media sengaja memberikan suara bagi kelompok
minoritas yang dibisukan karena mereka berada dalam struktur penindasan. Media
dalam kaitan ini menyajikan pembelaan (advokasi).
Semua ini dilakukan media
agar struktur sosial yang diwarnai pemisahan antara pihak sendiri (ingroup) dengan pihak lain (outgroup) dapat semakin dikuak. Relasi ingroup-outgroup, sebagaimana
dikemukakan Muzafeer Sherif, selain ditandai dengan penggunaan simbol untuk
menciptakan berbagai pembedaan, pasti diwarnai penciptaan stereotipe yang
saling bertentangan (positif untuk ingroup,
negatif bagi outgroup).
Puncaknya adalah terjadinya
kompetisi dan bahkan konflik antara ingroup
dengan outgroup. Advokasi yang
dilakukan media untuk kaum minoritas bertujuan supaya dialog antara kaum
minoritas dan kelompok mayoritas dapat dilakukan.
Tanpa
adanya pembelaan media terhadap kaum minoritas, proses sosial yang terjadi
ialah penundukan terhadap kaum minoritas terus dilanggengkan. Padahal, kaum
minoritas tersebut hidup bertebaran dalam masyarakat yang berkarakteristik
multikultural.
Mereka, misalnya, adalah
kelompok kecil penganut keyakinan yang dimarginalkan, kaum nonheterokses yang
diremehkan, kelompok etnis yang disudutkan, dan kelas sosial yang dipojokkan.
Kelompok-kelompok ini sering kali dipandang abnormal. Padahal, mereka
berkontribusi dalam suasana multikultural. Jurnalisme damai adalah manifestasi
dari kebebasan pers yang ditujukan untuk menjamin dan menjaga suasana
pluralitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar