|
JAWA POS, 29 April 2013
Sudah dimulai: penanaman porang secara
masal untuk meningkatkan penghasilan petani di sekitar hutan jati. Lokasinya di
Mrico Kecut, kawasan hutan yang terletak antara Kota Blora dan Cepu.
Sabtu
pagi lalu, lebih 1.000 orang berkumpul di tengah hutan jati tersebut. Mereka
terdiri atas 120 kelompok, masing-masing kelompok beranggota sepuluh orang.
Ketua kelompoknya adalah karyawan Perhutani yang sudah dididik bagaimana
menanam porang yang benar.
Perum Perhutani, BUMN yang mengelola hutan jati di seluruh Jawa dan
Madura, memang memiliki program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di
sekitar hutan. Terutama untuk memanfaatkan tanah di sela-sela pohon jati.
Berbagai tanaman sudah dicoba: jagung, empon-empon, ketela, jarak, dan banyak
lagi. Tapi, hasilnya sangat minim. Para petani tetap melakukan itu mengingat
sesedikit apa pun hasilnya tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Setahun terakhir ini direksi Perhutani terus mengevaluasi tanaman apa yang sebenarnya paling cocok untuk petani di sekitar hutan jati. Empon-empon (temulawak, kunyit, kunyit putih, jahe) sebenarnya tumbuh dengan sangat baik. Misalnya, di hutan jati dekat Randublatung.
Sabtu siang itu saya diagendakan melakukan panen empon-empon tersebut. Hasilnya sangat baik. Tapi harga empon-empon tidak terlalu menjanjikan. Pasarnya pun terbatas. Proses pasca panennya pun tidak mudah. Terutama proses pengeringannya yang harus standar. Ini karena empon-empon tersebut akan dipergunakan untuk jamu.
Seorang petani yang selama ini menanam jagung juga senasib. "Satu hektar paling besar bisa menghasilkan jagung senilai Rp 500.000," katanya di acara temu petani tersebut. Tanaman jarak, seperti yang dilakukan di Purwodadi, lebih kecil lagi: hanya Rp 150.000 per hektar. Bahwa mereka tetap menanam komoditi-komoditi tersebut hanyalah karena daripada tidak ada penghasilan sama sekali.
Mengingat luasnya hutan jati milik Perhutani, tetap saja harus ditemukan cara terbaik untuk memanfaatkannya. Daripada di sela-sela pohon jati itu hanya ditumbuhi rumput liar. Di Kabupaten Blora sendiri, seperti dikemukakan Bupati Blora saat itu, hampir separo (49%) wilayah kabupaten itu adalah hutan jati Perhutani.
Setelah setahun diskusi dan evaluasi dilakukan, jatuhlah kesimpulan: tanaman porang adalah tanaman yang paling tinggi nilai ekonominya. Satu hektar bisa menghasilkan Rp 30 juta per tahun. Ini berdasarkan pengalaman para petani porang di hutan jati Nganjuk, Jatim. Padahal satu petani bisa saja menanam porang sampai tiga hektar. Bahkan di Nganjuk itu, petani porangnya sudah menjadi juragan kecil-kecilan: mempekerjakan buruh panen dari wilayah lain. Ini karena kian lama hasil porangnya kian banyak dan petani tidak sanggup lagi memanennya sendiri.
Masalahnya: untuk penanaman pertama, hasilnya baru bisa dipanen dua tahun kemudian. Selama menunggu dua tahun itulah yang perlu dipikirkan petani dapat hasil dari mana. Sedang tanaman jagung bisa panen dalam waktu empat bulan.
Tim Perhutani, seperti dikemukakan Dirutnya, Bambang Sukmananto, akhirnya menemukan cara ini: bagi hasil. Petani, seperti di hutan Mrico Kecut tadi, melakukan penanam terus-menerus setiap hari. Mereka akan dibayar sesuai dengan luasan tanaman yang mereka kerjakan. Kian rajin mereka menanam kian besar bayarannya. Tiap bulan, petani akan mendapat bayaran sekitar Rp 700.000. Bisa lebih besar kalau rajin dan bisa turun kalau malas. Selama dua tahun menunggu, mereka hidup dari bayaran tersebut. Saat panen tiba, mereka mendapat bagian separo dari hasil porangnya.
Porang (sejenis umbi-umbian suweg) relatif mudah penanganannya. Tidak banyak hama dan tidak perlu perawatan yang berat. Cukup hanya membersihkan rumputnya. Bayaran Rp 700.000 per bulan itu memang kecil, tapi jam kerja mereka juga tidak panjang. Mereka bekerja hanya empat jam sehari. Sisa jam kerjanya bisa tetap untuk mencari penghasilan lainnya.
Perhutani juga akan mendirikan pabrik porang di Blora. Tahun depan pabrik itu mulai dikerjakan, sehingga di tahun 2015, saat panen porang pertama dilakukan pabriknya sudah berdiri. Bupati Blora sangat bersuka cita. Inilah industri pertama yang akan berdiri sepanjang sejarah Kabupaten Blora modern.
Bagi Perhutani mendirikan pabrik porang tidak lagi sulit. Perhutani sudah mulai berpengalaman. Sudah setahun ini memiliki pabrik tepung porang kecil-kecilan di Pare, Kediri. Kapasitasnya memang baru 500 ton per hari tapi hasil usahanya sangat baik. Tepung porangnya memenuhi standar internasional. Pembelinya sampai antre. Terutama dari Tiongkok dan Jepang. Tepung porang memang menjadi bahan baku kue, kosmetik, dan obat-obatan. Praktis, pasar tepung porang tidak terbatas.
Karena baru ada satu pabrik tepung porang, maka pasar luar negeri tidak sabar. Seorang pengusaha dari Malaysia dan beberapa pedagang dari Tiongkok terus datang ke Indonesia: ingin investasi di porang. Saya sudah minta kepada Perhutani untuk tidak membuka pintu dulu. Masih terlalu banyak petani kita yang perlu ditolong.
Mesin-mesinnya pun bisa dibuat di dalam negeri. Seperti mesin yang di Pare itu buatan Sidoarjo, Jatim. "Sudah setahun ini tidak pernah rewel," ujar Pak Kasim pimpinan pabrik porang di Pare itu. Bahkan Kasim bisa mengoperasikan pabriknya setahun penuh tanpa berhenti. Padahal, menurut perencanaannya dulu, pabrik itu akan mirip pabrik gula: hanya bekerja enam bulan setahun.
Memanfaatkan sela-sela tanaman jati di hutan yang berjuta-juta hektar luasnya itu akan terus menjadi fokus Perhutani. Bahkan, bisa jadi, hasil tanaman selanya ini bisa lebih besar dari hasil hutan jatinya. Ini mengingat jati baru bisa dipanen setelah 20 atau 30 tahun. Saya bertekad kabupaten Blora yang miskin bisa menjadi penghasil porang terbesar di dunia.
Ini akan melengkapi identitas Blora yang selama ini lebih dikenal sebagai tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Benny Murdani, dan tentu wartawan pertama Indonesia: sang pemula, Adisuryo! ●
Setahun terakhir ini direksi Perhutani terus mengevaluasi tanaman apa yang sebenarnya paling cocok untuk petani di sekitar hutan jati. Empon-empon (temulawak, kunyit, kunyit putih, jahe) sebenarnya tumbuh dengan sangat baik. Misalnya, di hutan jati dekat Randublatung.
Sabtu siang itu saya diagendakan melakukan panen empon-empon tersebut. Hasilnya sangat baik. Tapi harga empon-empon tidak terlalu menjanjikan. Pasarnya pun terbatas. Proses pasca panennya pun tidak mudah. Terutama proses pengeringannya yang harus standar. Ini karena empon-empon tersebut akan dipergunakan untuk jamu.
Seorang petani yang selama ini menanam jagung juga senasib. "Satu hektar paling besar bisa menghasilkan jagung senilai Rp 500.000," katanya di acara temu petani tersebut. Tanaman jarak, seperti yang dilakukan di Purwodadi, lebih kecil lagi: hanya Rp 150.000 per hektar. Bahwa mereka tetap menanam komoditi-komoditi tersebut hanyalah karena daripada tidak ada penghasilan sama sekali.
Mengingat luasnya hutan jati milik Perhutani, tetap saja harus ditemukan cara terbaik untuk memanfaatkannya. Daripada di sela-sela pohon jati itu hanya ditumbuhi rumput liar. Di Kabupaten Blora sendiri, seperti dikemukakan Bupati Blora saat itu, hampir separo (49%) wilayah kabupaten itu adalah hutan jati Perhutani.
Setelah setahun diskusi dan evaluasi dilakukan, jatuhlah kesimpulan: tanaman porang adalah tanaman yang paling tinggi nilai ekonominya. Satu hektar bisa menghasilkan Rp 30 juta per tahun. Ini berdasarkan pengalaman para petani porang di hutan jati Nganjuk, Jatim. Padahal satu petani bisa saja menanam porang sampai tiga hektar. Bahkan di Nganjuk itu, petani porangnya sudah menjadi juragan kecil-kecilan: mempekerjakan buruh panen dari wilayah lain. Ini karena kian lama hasil porangnya kian banyak dan petani tidak sanggup lagi memanennya sendiri.
Masalahnya: untuk penanaman pertama, hasilnya baru bisa dipanen dua tahun kemudian. Selama menunggu dua tahun itulah yang perlu dipikirkan petani dapat hasil dari mana. Sedang tanaman jagung bisa panen dalam waktu empat bulan.
Tim Perhutani, seperti dikemukakan Dirutnya, Bambang Sukmananto, akhirnya menemukan cara ini: bagi hasil. Petani, seperti di hutan Mrico Kecut tadi, melakukan penanam terus-menerus setiap hari. Mereka akan dibayar sesuai dengan luasan tanaman yang mereka kerjakan. Kian rajin mereka menanam kian besar bayarannya. Tiap bulan, petani akan mendapat bayaran sekitar Rp 700.000. Bisa lebih besar kalau rajin dan bisa turun kalau malas. Selama dua tahun menunggu, mereka hidup dari bayaran tersebut. Saat panen tiba, mereka mendapat bagian separo dari hasil porangnya.
Porang (sejenis umbi-umbian suweg) relatif mudah penanganannya. Tidak banyak hama dan tidak perlu perawatan yang berat. Cukup hanya membersihkan rumputnya. Bayaran Rp 700.000 per bulan itu memang kecil, tapi jam kerja mereka juga tidak panjang. Mereka bekerja hanya empat jam sehari. Sisa jam kerjanya bisa tetap untuk mencari penghasilan lainnya.
Perhutani juga akan mendirikan pabrik porang di Blora. Tahun depan pabrik itu mulai dikerjakan, sehingga di tahun 2015, saat panen porang pertama dilakukan pabriknya sudah berdiri. Bupati Blora sangat bersuka cita. Inilah industri pertama yang akan berdiri sepanjang sejarah Kabupaten Blora modern.
Bagi Perhutani mendirikan pabrik porang tidak lagi sulit. Perhutani sudah mulai berpengalaman. Sudah setahun ini memiliki pabrik tepung porang kecil-kecilan di Pare, Kediri. Kapasitasnya memang baru 500 ton per hari tapi hasil usahanya sangat baik. Tepung porangnya memenuhi standar internasional. Pembelinya sampai antre. Terutama dari Tiongkok dan Jepang. Tepung porang memang menjadi bahan baku kue, kosmetik, dan obat-obatan. Praktis, pasar tepung porang tidak terbatas.
Karena baru ada satu pabrik tepung porang, maka pasar luar negeri tidak sabar. Seorang pengusaha dari Malaysia dan beberapa pedagang dari Tiongkok terus datang ke Indonesia: ingin investasi di porang. Saya sudah minta kepada Perhutani untuk tidak membuka pintu dulu. Masih terlalu banyak petani kita yang perlu ditolong.
Mesin-mesinnya pun bisa dibuat di dalam negeri. Seperti mesin yang di Pare itu buatan Sidoarjo, Jatim. "Sudah setahun ini tidak pernah rewel," ujar Pak Kasim pimpinan pabrik porang di Pare itu. Bahkan Kasim bisa mengoperasikan pabriknya setahun penuh tanpa berhenti. Padahal, menurut perencanaannya dulu, pabrik itu akan mirip pabrik gula: hanya bekerja enam bulan setahun.
Memanfaatkan sela-sela tanaman jati di hutan yang berjuta-juta hektar luasnya itu akan terus menjadi fokus Perhutani. Bahkan, bisa jadi, hasil tanaman selanya ini bisa lebih besar dari hasil hutan jatinya. Ini mengingat jati baru bisa dipanen setelah 20 atau 30 tahun. Saya bertekad kabupaten Blora yang miskin bisa menjadi penghasil porang terbesar di dunia.
Ini akan melengkapi identitas Blora yang selama ini lebih dikenal sebagai tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Benny Murdani, dan tentu wartawan pertama Indonesia: sang pemula, Adisuryo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar