|
KOMPAS, 29 April 2013
Pada
Mei 2010, Anas Urbaningrum begitu mendominasi berita politik nasional. Politisi
muda itu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang meraup 20 persen
lebih suara pada Pemilu 2009.
Saat
itu, karier politik Anas tampak benderang. Kini, nama Anas kembali mendominasi
berbagai media, tetapi dengan nuansa teramat lain. Ia menjadi tersangka kasus
korupsi besar.
Berita
itu seolah menjadi justifikasi, politik itu kotor. Bayangkan, dalam dua minggu
KPK menetapkan ketua umum dua partai politik besar sebagai tersangka kasus
korupsi. Penetapan Anas sebagai tersangka seolah kelanjutan dari sejumlah kasus
korupsi politik yang melibatkan sosok-sosok potensial. Tidak hanya itu, kasus
Anas diprediksikan menjadi kunci pembuka kotak pandora korupsi masif di dunia
politik negeri ini.
Dalam
konteks pemberantasan korupsi, tentu saja hal ini sebuah sukses. Namun, terkait
upaya membangun demokrasi, hal itu tamparan besar. Perdebatan tentang demokrasi
substantif atau prosedural akan segera berakhir mengingat fakta-fakta terbaru
menunjukkan, demokrasi yang kita miliki jauh lebih buruk dari sekadar demokrasi
prosedural. Ia adalah demokrasi primitif yang tidak lebih dari sebuah kontes
perebutan kekuasaan, dan uang menjadi senjata utama untuk bertanding dan
memenangi kompetisi.
Ruang
Kotor
Negara
ibarat sebuah rumah yang terdiri dari sejumlah ruang yang masing-masing
memiliki fungsi berbeda. Tanpa keberadaan ruang-ruang itu, rumah tak akan
berfungsi baik. Bahkan, tanpanya, sebuah bangunan tidak layak untuk disebut
rumah.
Ruang
terdepan dan terbersih pada umumnya ruang tamu. Dalam konteks negara, ia
diwakili oleh perguruan tinggi dan masyarakat sipil. Mereka berbicara tentang
konsep, teori, dan nilai-nilai luhur sehingga menjadi bersih adalah suatu
kewajaran.
Ruang
berikutnya ruang makan yang biasanya lebih kotor daripada ruang tamu. Sering
kita temui sisa makanan tercecer. Dalam konteks negara, ia adalah dunia usaha
dengan mesin ekonomi bergerak dan mendistribusikan kue ekonomi kepada rakyat.
Di dalamnya terdapat banyak transaksi yang diatur regulasi pemerintah dan
standar profesi.
Selanjutnya
dapur yang pada umumnya lebih kotor daripada kedua ruang di atas, tempat
makanan diolah. Di sana terdapat sampah, asap, dan tumpahan minyak. Dalam suatu
negara, ia adalah pemerintah dan birokrasi, tempat berbagai kebijakan
diterapkan dan dimonitor. Ia memegang otoritas dan monopoli atas berbagai
fungsi negara.
Terakhir
adalah kamar kecil. Ia biasanya lebih kotor dibandingkan seluruh ruang yang
ada, tempat berbagai hal yang tidak layak ditonton publik terjadi. Dalam suatu
negara, ia adalah dunia politik tempat berbagai kepentingan bertarung yang pada
umumnya melibatkan kontes kekuatan politik dan lobi.
Meski
relatif kotor, kita semua memerlukan proses politik. Sama halnya sebuah rumah
perlu kamar kecil, apalagi dalam sebuah negeri yang terdiri atas beragam
kelompok dan kepentingan. Sejarah membuktikan, proses politik adalah cara
paling teruji untuk membicarakan perbedaan, mencari persamaan, dan menyusun
tujuan bersama.
Adalah
tuntutan yang berlebih jika berharap dunia politik sama bersih dengan dunia
pendidikan atau dunia usaha. Di berbagai belahan dunia, fakta membuktikan,
ruang politik selalu relatif lebih kotor daripada ruang-ruang yang lain. Di
negeri dengan birokrasi dan sektor swasta yang bersih seperti Jepang, Korea,
Swedia, Finlandia, dan Norwegia, dengan mudah kita temukan berbagai skandal
korupsi politik dalam berbagai skala.
Politik
punya karakteristik khas dan cenderung koruptif. Mewujudkan dunia politik yang
bebas dari ”kotoran” tidaklah mungkin, tetapi perlu diupayakan menjaga agar
tingkat kekotoran itu masih bisa diterima akal sehat dan tak merusak. Banyak
hal bisa diterapkan, termasuk membatasi biaya kampanye, mendorong transparansi
keuangan partai, memberikan bantuan dana melalui APBN, dan lain sebagainya.
Namun, cara-cara itu punya banyak loop holes yang dapat dengan mudah
dimanfaatkan.
Oligopoli
Politik
Melihat
situasi Indonesia saat ini, strategi yang paling mungkin diterapkan adalah
mengurangi monopoli atau oligopoli partai, termasuk proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Fenomena ekonomi menunjukkan, monopoli dan oligopoli
selalu berdampak pada kenaikan harga yang akan merugikan konsumen. Dalam
konteks politik Indonesia, biaya tinggi ini akan merugikan konsumen tingkat
satu, yaitu para politisi. Mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk
membangun karier politik. Juga konsumen tingkat kedua, yaitu rakyat yang
kepentingannya akan semakin dikorbankan.
Monopoli
dan oligopoli oleh partai besar bisa dikurangi dengan meniadakan ambang batas
pencalonan presiden 20 persen atau dengan melakukan pemilihan presiden dan
legislatif pada saat yang bersamaan. Hal ini akan mengurangi biaya dan
memperbaiki proses politik secara keseluruhan. Upaya ini belum terlambat untuk
dilakukan pada Pemilu 2014, yang tentunya diperlukan proses uji materi di
Mahkamah Konstitusi.
Bila
ini berhasil diwujudkan, semua pihak akan diuntungkan, terutama rakyat,
termasuk para politisi. Adapun mereka yang akan merasa dirugikan adalah para
elite partai besar yang sudah berinvestasi ”membeli” tiket guna bertarung dalam
Pilpres 2014. Para elite itu semestinya paham, investasi selalu mengandung risiko,
dan investasi politik adalah investasi yang paling berisiko.
Upaya
perbaikan sangat mendesak untuk dilakukan. Kita yang saat ini punya kekuatan
untuk mendorong perubahan harus turut mengupayakannya, atau kita akan
dipersalahkan oleh generasi mendatang sebagai generasi yang melakukan pembiaran
atas terjadinya pembusukan politik di negeri ini. Politik yang relatif bersih
masih mungkin kita wujudkan asal kita mau memanfaatkan kesempatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar