Media Sosial
adalah “Candu” di Masyarakat
Muhammad Nor Gusti ;
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Program Studi Magister Sosiologi, Pemerhati Media Sosial
|
|
OKEZONENEWS, 25 April 2013
Jika
mengutip perkataan Marx, “the
religion is a ‘opium’ in the people”, artinya adalah agama adalah
sebuah candu di dalam masyarakat. Candu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti sesuatu yang menjadi kegemaran alias hobi. Dalam
konteks masyarakat, candu biasanya diistilahkan kepada seseorang yang
tergantung pada merokok. Seseorang jika sudah mengalami kecanduan
terhadap rokok, biasanya akan selalu membawa dan menghisapnya dikala
sedang mengalami kejenuhan berpikir.
Pada
era klasik, Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah sebuah candu yang ada
di masyarakat. Pendapat ini muncul setelah kritik terhadap agama yang
tidak bisa membawa masyarakat menjadi sejahtera. Masyarakat terbawa
halusinasi atau fantasi kepasrahan atas wujud kepatuhan kepada Tuhan
hingga menjadi “candu” di masyarakat.
Kritik agama Marx ini sebenarnya tidak menyerang esensi agama itu
sendiri. Marx justru menyerang praktik-praktik keberagamaan manusia. Marx
menyerang kemandulan agama yang tidak mampu membebaskan manusia dari kondisinya
yang buruk.
Apabila dicermati secara seksama, kritik Marx terhadap agama ini ada
benarnya dan bahkan masih relevan hingga saat ini. Agama cenderung
menjadi candu. Agama menuntut kepatuhan total terhadap dogma dan
ajarannya. Tetapi pada saat yang sama agama tidak mampu memperbaiki
kondisi buruk masyarakat.
Perilaku beragama kemudian hanya menjadi ritus belaka. Ajaran-ajaran dan
etika agama tidak dijalankan dalam kehidupan praktis. Akibatnya agama
tidak membebaskan malah sering dianggap membelenggu dan melanggengkan
status quo masyarakat yang buruk.
Penulis tidak ingin terlalu dalam mengupas tentang Karl Marx, pada
konteks masyarakat saat ini “candu” bukan lagi terletak pada agama
melainkan pada media sosial. Media sosial mampu menggiring masyarakat ke
dalam ruang halusinasi dan fantasi, sehingga masyarakat lupa dengan
kehidupan nyata yang ada disekitarnya.
Kata "candu" yang diistilahkan sangat tepat dilabelkan ke
dalam pengguna media sosial. Karena penggunaan media sosial saat ini
sudah hampir seperti obat-obatan yang notabenenya membuat para
penggunanya menjadi kecanduan.
Kecanduan menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah
fenomena yang nyata terjadi di dalam masyarakat. Bagaimana tidak sejak
beralihnya masyarakat ke era digital, perubahan di dalam lapisan
masyarakat begitu terlihat secara kasat mata.
Masyarakat yang dulunya sangat gemar melakukan gotong royong atau sekadar
bersosialisasi dengan masyarakat lainnya, kini sangat jarang ditemukan.
Mereka sibuk di depan layar komputer atau gadget mereka masing-masing
untuk bersosialiasi dengan masyarakat maya. Khususnya di masyarakat
perkotaan, sangat jauh berbeda dengan masyarakat yang ada di desa yang
masih menggunakan tradisi-tradisi kultural yang ada.
Fungsi media sosial sendiri adalah sebagai ruang komunikasi antarmanusia
yang tidak dibatasi. Penciptanya sengaja mengkreasikan media sosial agar
penggunanya bisa berimajinasi dalam ruang hampa tanpa harus melihat
keadaan atau realitas sebenarnya.
Media sosial sangat jauh dari realitas sebenarnya, yang berlaku dalam
media sosial hanyalah realitas semu. Seseorang bisa saja melakukan apa
saja dengan media sosial tanpa harus memperlihatkan wujud aslinya.
Misalnya dengan memasang foto yang berbeda dari kehidupan nyata, pengguna
media sosial bisa saja melakukan hal tersebut agar memiliki teman-teman
yang sangat banyak. Selain itu pengguna juga dimanjakan dengan berbagai
fitur lainnya. Misalnya saja jual beli online, pengguna tidak perlu
repot-repot datang ke sebuah toko untuk mencari barang yang ingin dibeli,
melainkan cukup mencari barang-barang tersebut di online shop.
Ini adalah realitas semu tapi nyata terjadi dan begitu dekat dengan
lingkungan sekitar. Jika meminjam istilah Aristoteles, manusia adalah
makhluk sosial kini telah bergeser. Manusia bukan lagi makhluk sosial,
manusia ialah makhluk berteknologi. Karena sebegitu dekatnya kita dengan
media sosial hingga menggeserkan fungsi-fungsi manusia itu sendiri.
Bagi Durkheim inilah yang disebut fakta sosial yang secara perlahan telah
bergeser mulai dari kelompok, struktur, pranata, solidaritas sosial,
serta nilai-nilai.
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Emile Durkheim
(1858-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (dalam Lawang,
1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan
hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antarindividu
dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan
didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional,
sehingga memperkuat hubungan antarmereka.
Dalam realitas sebenarnya, masyarakat adalah kelompok sosial yang bisa
dibagi berdasarkan beberapa jenis yakni kelompok sosial berdasarkan
ideologis, dan kelompok sosial berdasarkan ikatan emosional (primordial).
Kelompok sosial berdasarkan ideologis adalah komunitas sosial yang
tergabung atas ide-ide yang sama dan berjuang demi kepentingan ideologis
dari kelompok tersebut. Sementara kelompok sosial berdasarkan ikatan
emosional adalah seperti ikatan kekeluargaan berdasarkan naluri emosional
(biasanya naluri kedaerahan).
Di dalam media sosial, ada juga solidaritas sosial yang terbentuk seperti
realitas sebenarnya. Kita bisa flashback pada kasus-kasus yang terjadi
pada Prita Mulyasari ataupun yang lainnya. Ketika salah satu akun di
jejaring sosial mulai melakukan gerakan sosial untuk mengumpulkan 1 juta
koin untuk Prita, pada saat itu juga halaman facebook tersebut langsung
dapat dilihat oleh jutaan pasang mata yang ada di penjuru bumi. Bukan
hanya itu, bahkan muncul gerakan dalam bentuk nyata yang hanya berawal
dari geraka dunia maya. Sangat menarik sebenarnya, ini adalah contoh dari
bentuk solidaritas sosial pada media sosial yang mampu berimplikasi pada
realitas sebenarnya.
Fungsi media sosial untuk membangun realitas sebenarnya juga sangat berperan
sangat penting untuk menjadi pengontrol kondisi sosial yang ada. Tidak
hanya kasus prita, gerakan sosial pun muncul dari berbagai macam belahan
dunia. Apakah anda masih ingat dengan kemenangan Presiden Obama untuk
kedua kalinya. Salah satu faktor kemenangan dari seorang obama adalah
seringnya dia melakukan kampanye melalui media sosial. Karena pada saat
itu masyarakat Amerika Serikat sangat akrab dengan media sosial sehingga
cara yang sangat ampuh untuk mendekatkan diri dengan warga Amerika Serikat
adalah dengan cara menggunakan media sosial. Sehingga Obama pun dengan
sigap membentuk tim pemenangannya melalui media sosial, istilah ini biasa
disebut sebagai spin doctor yang bertugas sebagai agen untuk melakukan
kampanye-kampanye seorang Presiden Obama. Sehingga membuat para pengguna
media sosial tersebut merasa dekat dengan seorang obama, yang berujung
pada pemenangan obama di Amerika Serikat untuk kedua kalinya.
Inilah realitas semu yang bisa berimplikasi menjadi sebuah realitas yang
sebenarnya terjadi. Media sosial memang mampu mengubah segalanya mulai
dari cara pandang hingga perilaku penggunanya. Sehingga istilah “socmed
is a ‘opium’ in the people” sangat tepat untuk masyarakat saat ini.
Kedekatan mereka dengan sosial media mampu mengalahkan kedekatan mereka
dengan Tuhan mereka. Mereka lebih tahan duduk berjam-jam di depan layar
komputer daripada harus berdiri tegap dan bersedekap untuk beribadah
kepada Tuhan-Nya. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar