Pada
1964, sebagai dokter sukarelawan Dwikora, kami ditempatkan di sebuah
rumah di Desa Lamprik.
Terdiri
dari tiga kamar besar dan satu paviliun, rumah itu ternyata disediakan
bagi Teuku Daud Bereuh, tokoh Darul Islam di wilayah Aceh. Namun, Teuku
Daud Bereuh tidak pernah tinggal di situ. Kok bisa kepada tokoh Darul
Islam, yang mengangkat senjata melawan pemerintah, disediakan tempat
tinggal seperti itu?
Lamprik
sekarang termasuk daerah elite di Banda Aceh. Jalan besar di depan rumah
itu menghubungkan Banda Aceh dan Darussalam, bahkan dinamai Jalan Daud
Bereuh. Inilah pendekatan ala Aceh, pikir kami.
Pada
1990-an, beberapa kali kami jalan darat dari Medan ke Banda Aceh. Darul
Islam sudah tak ada, muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1970-an.
Namun, perjalanan Medan-Banda Aceh aman-aman saja. Tahun 2006, kami
berkunjung ke Sigli. Di kanan kiri jalan terpampang sekretariat GAM. MOU
Helsinki waktu itu sudah ditandatangani (2005): diakui hak-hak khusus
bagi Provinsi Aceh. Selain itu, dalam konsep otonominya, diberlakukan
Syariat Islam. Tahun 2013 timbul masalah bendera Aceh. Apa yang harus
dilakukan?
Daerah
Bergolak
Dalam
sejarah, Aceh barangkali termasuk daerah yang selalu bergolak: sejak
zaman penjajahan Belanda sampai Indonesia merdeka. Tokoh-tokohnya,
termasuk Tjut Nyak Dien yang wanita, terkenal gigih melawan Belanda.
Namun, di awal kemerde- kaan, rakyat Aceh jadi pelopor kemerdekaan dengan
menyumbangkan sebuah pesawat terbang.
Kenyataan
itu mengindikasikan bahwa rakyat Aceh selalu gelisah dengan
lingkungannya. Kegelisahan bersumber dari terganggunya kehormatan, harga
diri, atau ketidakadilan. Menolak penjajahan Belanda atau bagaimana
wilayah RI yang kaya sumber daya alam itu kondisinya masih sangat
tertinggal: antara lain ditandai dengan tingginya prevalensi penyakit
TBC. Inilah momentum tampilnya tokoh pejuang Aceh menghadapi Belanda
ataupun Pemerintah RI.
Sumber
moralnya agama. Untuk meredakan pergolakan itu, peran pendekatan agama
sangat besar. Antara lain, selaku provinsi yang dikenal sebagai Serambi
Mekkah, pemberian otonomi dengan memberlakukan Syariat Islam adalah salah
satu wujud pendekatan itu. Pencarian pewujudan rasa keadilan tampaknya
harus disertai pemberian hak-hak tertentu untuk mengelola wilayah itu,
termasuk sumber daya alamnya. Pembagian kekuasaan jadi tuntutan sehingga
dalam MOU Helsinki, Aceh punya kebebasan yang lebih dibandingkan dengan
wilayah lain di RI.
Ketika
semua itu tercapai, Aceh akan menyatu. Tak ada Darul Islam dan tak ada
lagi GAM sebab semua sudah terakomodasi dalam pemerintahan Nanggroe Aceh
Darussalam. Tokoh-tokohnya dihormati sebagaimana contoh penghormatan
terhadap Teuku Daud Bereuh. Dan, bendera Merah Putih masih berkibar
sebagai bendera nasional.
Memahami
fenomena seperti itu, perundingan Pemerintah RI dan GAM yang menghasilkan
MOU Helsinki menunjukkan pemahaman yang tepat para perunding kita. Hal
ini terlepas dari adanya pendapat mengapa kita harus berunding dengan
gerakan yang hendak memisahkan diri? Demikian juga Pemerintah RI yang
waktu itu menugasi para Perunding RI.
Sikap
sama masih diperlukan ketika harus menyikapi ”bendera Aceh”. Bahwa
keputusan DPR Aceh mengenai bendera Aceh tak terkait dengan semangat
menghidupkan kembali GAM atau Darul Islam meski bendera itu mirip bendera
GAM. Aceh masih dalam pangkuan NKRI dan Merah Putih masih berkibar di
Aceh.
Jalan
Keluar
Dengan
mencermati pengalaman menangani masalah Aceh, insya Allah masalah bendera
Aceh dapat diselesaikan. Syaratnya: harus ada saling percaya. Bahkan,
harus saling paham posisi dan budaya lokal. Tujuannya agar Aceh tetap
dalam pangkuan NKRI. Untuk itu, baik gubernur maupun DPRD Aceh harus
mampu meyakinkan bahwa Aceh akan tetap dalam pangkuan NKRI. Sebaliknya,
pemerintah pusat juga harus dapat menghilangkan prasangka bahwa Aceh
hendak keluar dari NKRI.
Saling
percaya ini yang sempat dirusak prasangka berlebihan dan bersumber pada
kecurigaan: dengan bendera itu, GAM masih eksis dan mengindikasikan masih
kuat semangat memisahkan diri dari NKRI. Padahal, dengan pendekatan itu,
justru keberadaan GAM akan hilang. Inilah pendekatan Aceh sebagaimana
Aceh juga menyelesaikan masalah Darul Islam dengan menghormati Teuku Daud
Bereuh sebagaimana dikemukakan di atas.
Memberi
inspirasi kepada daerah lain untuk menempuh jalan yang sama? Ini
berlebihan. Daerah lain tak memiliki sejarah, budaya lokal, dan nasib
seperti Aceh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar