|
REPUBLIKA, 29 April 2013
Sesungguhnya,
kebijakan di bidang energi yang berlaku di Indonesia saat ini masih terbilang
ketinggalan. Kebijakan energi kita masih terlalu bertumpu pada minyak, kurang
terdiversifikasi. Sayangnya, Indonesia bukan lagi negara yang kaya minyak. Indonesia
adalah negara terbesar ke-20 di dunia sebagai penghasil minyak. Namun, jaraknya
dengan negara penghasil minyak terbesar di
dunia terlalu jauh.
Produksi minyak kita kurang dari satu juta barel per hari
(bph). Di sisi lain, kebutuhan konsumsi minyak kita mencapai lebih dari 1,3
juta bph. Sejak 2003, kita telah menjadi net
oil importer country. Di sisi lain, negara-negara surplus minyak justru
telah jauh mengembangkan kebijakan energinya berbasis non- minyak. Sebagai
contoh, Brasil adalah negara dengan tingkat produksi minyak sekitar 2,68 juta
barel bph sedangkan konsumsinya sekitar 2,65 juta bph. Namun, untuk memenuhi
kebutuhan energi domestiknya (khususnya untuk kendaraan bermotor), Brasil
mengembangkan dan lebih menggunakan biofuel, bukan bahan bakar minyak (BBM).
Brasil adalah negara dengan produksi biofuel terbesar di dunia.
Lain halnya dengan Argentina. Argentina merupakan negara
dengan produksi minyak di bawah Indonesia, sekitar 763 ribu bph. Namun, karena
konsumsi domestik minyaknya rendah, sekitar 678 ribu bph, Argentina masih
mengalami surplus minyak. Menariknya adalah Argentina kini justru gencar mengembangkan
bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor. Padahal, Argentina justru
mengalami defisit dalam neraca gasnya.
Beberapa contoh fenomena tren penggunaan energi di beberapa
negara ini penting untuk dicermati, khususnya bagi peletakan kebijakan energi
kita pada masa mendatang. Negara-negara di dunia saat ini telah mengalami
transformasi dalam hal bagaimana mereka mengonsumsi dan mengembangkan
energinya. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana
sesungguhnya tren sektor energi global saat ini, terutama untuk menentukan
pilihan kebijakan energi yang akan kita ambil.
Hingga saat ini terlihat bahwa negara-negara maju, terutama
Amerika Serikat (AS) dan Eropa, masih merupakan pengonsumsi minyak per kapita
tertinggi di dunia. Namun demikian, sesungguhnya negara-negara maju tersebut
cenderung akan mengurangi konsumsi energinya yang berasal dari minyak. Data
dari Wood Mackenzei (2013) memperlihatkan
bahwa ke depan (2025), AS cenderung mempertahankan kebutuhan minyaknya (oil demand), bahkan lebih rendah dari
posisi saat ini, sekitar 19 juta bph (2012). Di sisi lain, kebutuhan gas (gas demand) AS diperkirakan akan terus
meningkat.
Berbeda dengan AS, Cina memperlihatkan tren yang berbeda.
Seiring dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonominya, Cina memperlihatkan
kebutuhan energi berbasis minyak dan gas yang keduanya cenderung meningkat.
Bila saat ini kebutuhan minyak Cina sekitar 9,8 juta bph, diperkirakan pada
2025 akan menjadi sekitar 16 juta bph. Sementara itu, kebutuhan (konsumsi)
gasnya juga akan meningkat. Kecenderungan peningkatan energi berbasis migas ini
tidak hanya terjadi di Cina, tetapi juga negara-negara Asia lainnya.
Kecenderungan di Asia ini mengikuti Eropa yang diperkirakan masih akan tetap
menjadi kawasan pengguna energi berbasis migas terbesar di dunia.
Berdasarkan data di atas, saya ingin menunjukkan bahwa kini
terdapat tren baru dalam sektor energi global. Tren baru tersebut adalah Asia
diperkirakan akan mengalami lonjakan impor minyak pada masa mendatang, seiring
dengan semakin tingginya kebutuhan energinya. Karena itu, Asia akan mengalami
"perebutan" minyak yang semakin ketat seiring dengan semakin
berkurangnya sumber-sumber minyak yang mereka miliki, termasuk Indonesia.
Pertanyaannya, apa makna dari tren ini? Pertama, bila pilihan
kebijakan energi kita masih bertumpu pada minyak (karena mungkin energi lainnya
belum siap digarap), mau tidak mau Indonesia harus berburu sumber-sumber minyak
di negara-negara yang masih mengalami surplus minyak. Mengapa? Karena, cadangan
minyak di dalam negeri sudah semakin menipis. Sementara itu, cadangan minyak
domestik yang belum tergarap umumnya berada di offshore timur Indonesia yang kurang menarik investor.
Kalau kebijakan ini yang harus dipilih, pilihan pemerintah
hanya satu, yaitu mengandalkan national
oil company (NOC, baik BUMN maupun swasta) untuk melakukan perburuan
sumber-sumber minyak di luar negeri. Dengan kata lain, pemerintah pun harus
memberikan dukungan dan kesempatan yang besar bagi NOC kita untuk melakukan
aksi perburuan sumber- sumber minyak di luar negeri tersebut. Ke mana NOC harus
berburu? Berdasarkan data, sumber-sumber minyak tersebut terdapat di Timur
Tengah, Rusia, kawasan Kaspian, Afrika, dan Amerika Selatan.
Kedua, tidak cukup dengan hanya berburu sumber- sumber minyak
(sektor hulunya), Indonesia juga harus segera mempersiapkan diri di sektor
hilirnya dengan membangun kilang-kilang pengolahan BBM. Tentunya, akan tidak
memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri
bila agresivitas perburuan sumber-sumber minyak tersebut tidak dibarengi dengan
ketersediaan kilang pengolahan BBM dengan kapasitas yang cukup.
Saat ini, Indonesia memiliki kilang pengolahan BBM dengan
kapasitas hanya sekitar satu juta bph. Sementara itu, kebutuhan BBM kita mencapai
sekitar 1,3 juta bph. Defisit inilah yang akhirnya menyebabkan impor BBM kita
setiap tahunnya terus meningkat. Karena itu, menjadi penting bagi Indonesia
untuk menambah kapasitas kilang pengolahan BBM. Namun demikian, ketergantungan
pada BBM juga tidak bisa dilanggengkan. Indonesia sejatinya memiliki
sumber-sumber energi di luar minyak yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif energi yang lebih murah.
Indonesia masih mengalami surplus gas. Harga gas relatif
lebih murah dibanding minyak bagi kebutuhan energi kendaraan bermotor. Karena
itu, pemerintah perlu menciptakan suatu mekanisme kebijakan (terutama harga) agar
investor tertarik untuk mengembangkan BBG. Caranya, salah satunya dengan membuat
kebijakan harga BBM yang tidak terlalu besar subsidinya. Dengan cara ini, penggunaan
BBG bagi konsumen akan lebih menarik dibanding BBM sehingga menarik pula bagi
para pedagang BBG untuk berinvestasi.
Di luar migas, kita masih memiliki sumber energi hidrokarbon
dalam jumlah yang besar, yaitu batu bara yang bisa dioptimalkan untuk ener gi
bagi pembangkit listrik yang saat ini masih menjadi salah satu pengonsumsi BBM
terbesar. Selain energi hidro karbon, sektor energi baru, seperti panas bumi,
tenaga surya, dan lain-lain, juga perlu dikembangkan untuk listrik dan
industri.
Kesimpulannya, sesungguhnya cukup banyak pilihan kebijakan
yang tersedia bagi pemerintah untuk mengamankan sektor energinya. Tinggal
pilihannya adalah konsistensi dalam implementasi. Konsistensi kebijakan ini
seharusnya telah ada sejak lama. Setidaknya, dengan waktu yang dimiliki hampir
10 tahun, pemerintah telah memiliki kesempatan untuk membuat langkah signifikan
dalam rangka mewujudkan ketahanan energi nasional. Sayangnya, waktu yang
tersedia ini tidak dimanfaatkan secara maksimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar