|
SUARA MERDEKA, 29 April 2013
Banyak orang berpendapat kehidupan kita sebagai komunitas
bangsa yang bernegara tengah menghadapi banyak persoalan sehingga terjadi
kekarutmarutan dalam segala aspek kehidupan. Kekisruhan distribusi soal ujian
nasional di 11 provinsi wilayah tengah Indonesia hanya bagian kecil dari sekian
banyak persoalan tersebut.
Masih banyak kekarutmarutan, bahkan jauh lebih akut, dalam
berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah komunitas bangsa, dari bidang ekonomi
yang rentan terhadap fluktuasi dan krisis, dekadensi moral dengan kemerebakan
kasus korupsi, berbagai bentuk penyalagunaan kekuasaan, hingga masalah yang
berkait dengan cara-cara berdemokrasi dalam kehidupan politik, baik pada aras
lokal maupun nasional.
Jika sejumlah masalah tersebut tidak segera diselesaikan
secara jernih dan bijak, tidak mustahil kita menjadi negara gagal karena tidak
mampu menyelesaikan, tidak hanya krisis moneter tetapi sudah sampai pada
tataran krisis total.
Tanggal 26 Mei mendatang KPU mengagendakan sebagai hari ’’coblosan’’
terkait dengan Pilgub Jateng 2013. Tiga pasangan cagub-cawagub, yaitu Hadi
Prabowo-Don Murdono, Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo, dan Ganjar
Pranowo-Heru Sudjatmoko sudah memasarkan diri supaya dipilih oleh rakyat.
Persoalannya, apakah proses pilihan politik yang dilakukan
warga Jateng sesuai dengan esensi demokrasi, dalam arti mereka memiliki free
choices untuk menentukan figur yang pantas mendapat amanah memimpin provinsi
ini hingga 2019? Ada beberapa faktor lain yang kemungkinan mengontaminasi
proses itu sehingga pilihan rakyat merupakan sebuah pilihan semu.
Artinya, pilihan itu tidak mendasarkan pada rasio tetapi
lebih pada emosi. Bahkan lebih celaka seandainya bila lebih mendasarkan pada
transaksi komersial yang bersifat sesaat, dan kita bisa mengakitkan dengan
fenomena yang tak asing lagi di telinga, yaitu praktik politik uang (money politics).
Jika itu terjadi maka lengkaplah kekarutmarutan dalam
bidang kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang sudah kita
bayar mahal melalui pengorbanan keringat, air mata, dan bahkan darah, selama
periode awal reformasi harus dikhianati dan dirusak justru oleh mereka yang
dulu pernah berjuang meruntuhkan Orde Baru dan menegakkan Orde Reformasi.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk
mengatasi beragam persoalan tersebut. Bahkan mungkin kita tidak tahu dari mana
harus menyelesaikan persoalan akut tersebut, apakah dari bawah atau atas lebih
dulu, atau simultan dari atas sekaligus bawah. Kalau pun ada yang tahu, mereka
kesulitan memulainya.
Awalnya kita sangat berharap bahwa partai politik bisa menjadi
kekuatan penggerak dalam menegakkan demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai
moral bangsa, yaitu Pancasila. Namun tahun-tahun politik selama masa reformasi
menghadirkan kemunculan sejumlah persoalan yang justru bersumber dari ulah
partai politik, termasuk politikus, yang memiliki kekuasaan besar menentukan
arah perjalanan bangsa namun miskin moralitas.
Lantas, apakah kita, terutama berbagai organisasi
kemasyarakatan (ormas), dan lebih khusus ormas Islam, harus ikut tenggelam
dalam absurditas politik tersebut? Apakah tidak ada hal konstruktif yang dapat
kita lakukan?
Langkah Proaktif
Sebetulnya ada sesuatu yang bisa kita perbuat. Pertama;
ormas, terutama yang bergerak dalam bidang dakwah agama perlu menegakkan
netralitas. Dalam hal ini ormas Islam harus berdiri di atas semua segmen
masyarakat. Ia harus memberikan pelayanan kepada siapa pun yang membutuhkan,
tidak perlu terkotak-kotak dalam paham politik tertentu.
Namun sifat netral yang dimiliki ormas Islam bukan
netralitas pasif melainkan aktif. Artinya, ia perlu melakukan kegiatan proaktif
dalam rangka untuk ikut mengondisikan kegiatan demokratis di tengah masyarakat.
Kedua; ormas Islam seyogianya mampu memosisikan dan
memerankan diri sebagai learning
organization, yakni organisasi yang dengan segala kekuatan, secara bersama
dan terus-menerus mentransformasikan diri untuk lebih mampu mengumpulkan,
mengelola, dan menggunakan pengetahuan demi keberhasilan organisasi (knowledge-based organization). Dengan
demikian, ormas Islam tidak terjebak dalam kungkungan zaman edan, semua effort dalam masyarakat selalu ditujukan
demi profit seeking atau hanya
mencari keuntungan material.
Dalam konteks ini, ormas Islam semestinya dapat memberikan
kontribusi dalam pendidikan politik alam masyarakat. Ormas Islam yang ideal adalah
organisasi yang mampu mengonstruksi keterbangunan komunitas politik yang
cerdas. Wadah itu harus berwujud komunitas yang mampu menciptakan
integrasi politik, baik antarmassa maupun integrasi antara massa dan elite/pemimpin.
Masyarakat politik yang cerdas juga merupakan masyarakat
yang mampu menegakkan free choices
dalam proses demokrasi, dan mereka harus menjadi masyarakat yang antianarkisme
dan antikekerasan berpolitik dalam kehidupan berdemokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar