Apakah
menulis hukumnya wajib bagi akademisi, dosen, dan mahasiswa? Bagi saya
wajib. Mengapa? Karena menulis merupakan “budaya ilmiah” yang wajib
dilakukan mahasiswa. Selain kuliah, membaca dan diskusi, menulis juga
menjadi keniscayaan mahasiswa. Selain menjadi karakter kaum intelektual,
menulis juga bisa menghidupkan budaya akademis sebenarnya. Namun, apakah
semua aktivitas menulis itu kegiatan ilmiah? Tentu tidak.
Saat ini, banyak akademisi sibuk menulis, tapi menulis SMS di ponsel,
status di jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Padahal,
rata-rata tulisan di jejaring sosial hanya berisi “bualan dan curhatan”
dari pemilik akunnya.
Jika kita logika, tulisan-tulisan kita di jejaring sosial kalau
dikumpulkan dan disusun pasti jadi beberapa buku. Itu pasti. Lalu, kapan
mahasiswa mampu menulis buku?
Seharusnya budaya menulis menjadi “kegiatan wajib” mahasiswa, baik
menulis artikel, opini, cerpen, puisi, resensi, bahkan buku. Apalagi,
saat ini banyak media massa baik cetak maupun elektronik membuka peluang
besar bagi mahasiswa untuk “meludahkan” karya ilmiahnya.
Selain mendapatkan honor, mereka juga bisa mempromosikan budaya menulis,
menyampaikan ide, dan memberikan pencerahan bagi pembaca lewat
tulisannya. Bahkan, menulis bisa menjadi alat perjuangan untuk membela
kaum lemah.
Menulis Buku
Layaknya menulis artikel, sebenarnya menulis buku juga mudah. Yang
terpenting, ada kemauan dan kemampuan kuat dalam menulis. Pasalnya,
penerbit di mana pun pasti mau menerbitkan tulisan jika karya kita bagus
dan layak jual. Dan tak perlu menunggu bergelar Sarjana, Magister, Dr,
dan Prof untuk menulis buku. Asalkan ada keinginan kuat pasti bisa.
Banyak tipe buku yang bisa ditulis mahasiswa. Pertama, buku karangan
perorangan, baik berupa buku bertema pendidikan, politik, dan demokrasi.
Kedua, buku berjenis kelamin sastra seperti antologi cerpen, novel, dan
sebagainya. Ketiga, buku kumpulan artikel/tulisan yang dimuat di media
massa. Keempat, buku berbentuk bunga rampai. Dan buku seperti inilah yang
sering ditulis mahasiswa. Mereka menghimpun tulisan-tulisan dari beberapa
penulis lepas untuk merumuskan buku.
Di sisi lain, saat ini juga banyak mahasiswa yang menyusun buku dengan
cara menghimpun makalah kuliah mereka. Setiap satu mata kuliah di kampus,
mahasiswa bisa mengumpulkan makalah-makalah sesuai tema yang diberikan
dosen, lalu makalah tersebut disusun menjadi buku. Jadi, hal ini lebih
efektif dan efisien untuk memiliki suatu karya.
Namun, hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan
keseriusan dan
“cinta jurnalistik” yang tinggi. Karena tidak semua mahasiswa suka dan
memiliki bakat menulis, serta memiliki modal untuk menerbitkan buku. Akan
tetapi, pada intinya ada pada kemauan dan kemampuan menulis. Artinya,
jika sudah memiliki potensi dan bakat, maka menulis apa pun akan menjadi
mudah, termasuk menulis buku.
Pacu Geliat
Menulis
Sebenarnya, menulis bukanlah masalah bakat dan potensi bawaan lahir,
melainkan masalah latihan, kebiasaan, konsistensi, dan intensitas
menulis. Pasalnya, banyak mahasiswa pandai beretorika yang bicara
“ngalor-ngidul”, tapi jika disuruh menulis ia tak bisa.
Maka dari itu, banyak hal yang bisa dilakukan mahasiswa jika ingin
menulis. Pertama, membaca semua tulisan, baik Alquran, buku, majalah,
internet, artikel, cerpen, dan sebagainya. Karena membaca adalah “guru
terhebat” dalam menulis apa pun. Jika ingin tahu cara menulis, maka
mahasiswa harus aktif di pelatihan, training, dan seminar jurnalistik.
Kedua, membiasakan diri konsisten menulis. Minimal satu halaman setiap
hari, bahkan bisa lebih. Ketiga, menjadikan menulis sebagai “candu”.
Karena jika tak mencintai kegiatan menulis, pasti aktivitas ini
menjenuhkan karena memeras pikiran dan tenaga.
Sepandai dan sehebat apa pun seseorang, kalau tak pernah nulis,
tulisannya pasti jelek, tidak memahamkan pembaca dan sulit dimuat media
massa, apalagi dijadikan buku. Sebanyak apa pun gelar seseorang, jika tak
pernah merangkai kata-kata, pasti tulisannya juga tak kalah hebatnya
dengan tulisan mahasiswa S-1 yang terbiasa menulis.
Maka, menulis sebenarnya bukan masalah posisi dan gelar. Akan tetapi,
menulis merupakan masalah daya berpikir, merangkai kata, dan meludahkan
ke media massa. Jadi, menulis harus benar-benar aktif, produktif, dan
kreatif dalam menggambarkan gagasan dan ide wacana lewat tulisan.
Keempat, perlu belajar memahami karakter tulisan dan bahasa jurnalistik.
Artinya, bahasa tulisan yang baik adalah yang memahamkan pembaca dan
tidak terlalu “ndakik-ndakik”.
Pasalnya, banyak penulis yang tulisannya tak memahamkan pembaca. Penulis
seperti ini sangat egois. Jadi, penulis seharusnya mampu membahasakan
idenya lewat sajian yang simpel dan mengena. Karena pada hakikatnya,
menulis juga menyampaikan ide dan gagasan kepada pembaca.
Kelima, jika ingin menulis, mahasiswa harus meningkatkan kualitas diri.
Selain membaca dan diskusi, mereka juga harus aktif di lembaga pers
mahasiswa di kampus, karena di sana diajarkan tata cara menulis dengan
baik dan benar.
Orientasi Menulis
Yang jelas, menulis sebenarnya bukan sekadar menulis dan mengirim ke
media massa atau menghimpunnya menjadi buku. Akan tetapi, tugas sosial,
mengritik dan memberi solusi pada penguasa harus menjadi landasan dasar
dalam menulis. Jangan sampai penulis hanya berorientasi pada “recehan”
belaka. Apalah arti recehan itu? Jika tak ada perubahan signifikan di
masyarakat.
Kalau kita ikhlas, pasti keajaiban akan terjadi. Bukan penulis yang
mengejar uang, tetapi uanglah yang mengejar penulis. Karena pada
hakikatnya, menulis bukanlah mencari uang. Tetapi, lewat tulisan itulah
memberikan edukasi pada masyarakat. Jadi, sudah saatnya akademisi
mahasiswa menulis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar