|
KOMPAS, 30 April 2013
Pertumbuhan
penduduk dan ekonomi selalu berjalan beriringan dengan konsumsi energi. Sumber
energi konvensional bahan bakar fosil akan semakin langka dan berpotensi memicu
konflik.
Banyak
perang besar dan konflik tak berkesudahan disebabkan perebutan sumber minyak
bumi. Sebagian sebabnya yaitu kenyamanan hidup yang tak mau diusik. Dalam Earth Summit di Rio de Janeiro tahun
1992, Presiden Bush menegaskan, ”Gaya
hidup kami tidak untuk didiskusikan,” saat membahas perubahan produksi dan
konsumsi terkait penumpukan gas rumah kaca di atmosfer bumi.
Meski
ditemukan sumber-sumber minyak baru, kebutuhan akan melaju. Pun di Indonesia,
yang penduduknya diprediksikan 290 juta pada 2030, dengan perkiraan 95 juta
adalah orang kaya baru. Kesenjangan kebutuhan energi antarkelas sosial akan
terus melebar. Menurut skenario ketahanan energi dalam Indonesia Energy Outlook
(2010), pada 2020-2030, bauran energi final masih didominasi BBM 31 persen, gas
bumi 23,7 persen, listrik 18,7 persen, batubara 15,2 persen, biomassa 6,1
persen, bahan bakar nuklir 2,1 persen, dan LPG 2,4 persen.
Perlu
Kepemimpinan
Pembangunan
Indonesia tak bisa lagi hanya bersandar pada bahan bakar fosil dan impor minyak
berkelanjutan. Selain menggerus neraca transaksi berjalan, ketahanan energi
yang rapuh akan melemahkan perekonomian bangsa. Pertumbuhan kebutuhan energi
dalam negeri akan berkompetisi dengan China dan India sehingga Indonesia akan
semakin rentan terhadap guncangan pasokan eksternal. Karena itu, ketahanan
energi berbasis sumber-sumber domestik yang ramah lingkungan menjadi persoalan
kritis saat ini.
Energi
terbarukan menjadi topik khusus dalam Asian Development Outlook 2013. Laporan
Bank Pembangunan Asia itu mengingatkan, bila negara-negara di Asia tidak
mengurangi ketergantungan pada BBM dan mengubah pola konsumsinya, impor minyak
Asia diperkirakan naik hampir tiga kali lipat tahun 2035. Konsumsi BBM akan
naik dua kali lipat, gas bumi tiga kali lipat, dan batubara naik 81 persen.
Dampaknya akan sangat buruk bagi lingkungan dan perkembangan ekonomi.
Indonesia
memiliki sejumlah sumber energi terbarukan. Namun, tak ada kebijakan komprehensif
untuk sungguh-sungguh mengembangkan sumber energi alternatif. Padahal, Brasil,
misalnya, berhasil memperkuat ketahanan energi dengan sumber- sumber domestik,
di antaranya dengan teknologi pengolahan tebu menjadi energi bio yang harga per
liternya 30-40 persen lebih rendah dari BBM.
Pengembangan
sumber energi terbarukan domestik secara masif membutuhkan, antara lain, lahan
luas. Tanpa dilengkapi tata kelola yang adil dan setara akan memicu konflik
dengan pengadaan lahan untuk pangan. Di Indonesia, ada 17 institusi yang
seharusnya bisa dikoordinasikan Menteri ESDM atau presiden langsung. Namun,
dibutuhkan strategi dan kepemimpinan yang cerdas agar bisa diimplementasikan
secara efektif dan memberikan inspirasi. Kemampuan menciptakan kebijakan komprehensif
untuk mengatasi persoalan ini akan memberikan efek berganda, termasuk
penghapusan kemiskinan tanpa bantuan langsung tunai, terciptanya lapangan
kerja, dan pertumbuhan domestik.
Soal
Pilihan
Pemerintah
memiliki rencana bauran energi primer yang tertuang dalam Kebijakan Energi
Nasional. Namun, sampai 2030 diperkirakan bauran sumber energi terbarukan
domestik tak bisa mencapai 25 persen, sesuai visi 2025 yang dicanangkan
Kementerian ESDM tahun 2011. Itu lebih tinggi dari target 17 persen menurut
Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Salah
satu penghambat pemberdayaan energi terbarukan ialah subsidi justru diberikan
pada konsumsi BBM. Akibatnya, penggunaan energi terbarukan tidak menarik karena
harganya mahal sebab biaya investasinya juga mahal. Padahal, bila bicara
investasi masa depan jawabnya adalah energi terbarukan.
Menurut
International Sustainable Energy
Organization, biaya pengadaan energi terbarukan dari alam, seperti energi
matahari, angin, air, arus laut, dan hidrogen, yang masih mahal saat ini justru
akan semakin turun di masa depan. Adapun biaya energi tak terbarukan, seperti
minyak, gas, batubara, dan nuklir, akan sangat mahal, apalagi kalau
diperhitungkan dampaknya terhadap keselamatan manusia dan alam.
Pertanyaannya
kembali pada soal pilihan antara yang benar dan yang mudah. Banyak orang bijak
mengingatkan, bila kita mau yang serba mudah dan menghindari kesulitan, tak
satu pun akan diperoleh. Jadi, silakan memilih! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar