|
MEDIA INDONESIA, 26 April 2013
Salah satu hasil reformasi di
Indonesia adalah terbukanya wa cana kerukunan umat beragama di ruang publik. Masalah
suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang pada masa Orde Baru tabu untuk
diwacanakan, sekarang menjadi perbincangan seharihari. Wacana dan praktik
kebebasan, perlindungan, pemahaman, dan ekspresi keagamaan di Indonesia juga
menjadi topik yang selalu diangkat dalam setiap laporan tahunan yang
dikeluarkan, baik oleh LSM maupun pemerintah.
Tentu saja setiap penulis laporan memiliki agenda dan
tujuan sesuai dengan visi dan misi institusi. Meskipun demikian, jika ditelaah
secara saksama, pesan yang disampaikan melalui laporan tersebut ada banyak
kesamaan, yaitu keprihatinan mengapa di era kebebasan seperti ini masih terjadi
kasus-kasus penghambat kerukunan umat beragama seperti kesulitan membangun
rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan kelompok minoritas, serta
kekerasan mengatasnamakan agama.
Perbedaan Sudut
Pandang
Wacana yang berkembang dalam kasus-kasus kerukunan adalah
adanya perbedaan sudut pandang antara LSM dan pemerintah. LSM sering kali
melihat kasus-kasus kehidupan dan kerukunan beragama sebagai pelanggaran
terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam Pasal 28
dan Pasal 29 UUD 1945 dan UU lainnya. Berdasarkan konstitusi dan UU tersebut,
pemerintah sering dianggap lalai atau membiarkan praktik-praktik pelanggaran
pemenuhan hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama.
Persepsi menarik dikemukakan Victor Silaen, dosen
Universitas Pelita Harapan (Koran Tempo, 11/4) yang mencatat perusakan gereja
dari masa ke masa. Menurutnya, pada masa Soekarno ada 2 gereja yang dirusak,
masa HM Soeharto menjadi 456 gereja dirusak, era Habibie ada 156 gereja yang
dirusak, pada masa pemerintahan Gus Dur ada 232 gereja yang dirusak, era
kepresidenan Megawati 92 buah gereja yang dirusak, dan pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sampai dengan 2010 terdapat 2.442 gereja yang dirusak.
Data di atas menunjukkan jika kerusuhan sosial karena
perbedaan agama, penyiaran agama, atau pendirian rumah ibadah suatu agama tidak
hanya terjadi pada reformasi. Kasus-kasus kerusuhan atas latar belakang masalah
keagamaan terjadi beberapa dasawarsa yang lalu. Jika dilihat dari sejarah
perjalanan sebuah bangsa, peristiwa tersebut memang gejala yang terkait dengan
masalah politik. Situasi politik sejak era Soekarno hingga saat ini selalu
mampu memicu soalsoal yang berkaitan dengan masalah kerukunan hidup beragama.
Tetapi, laporan maupun opini yang dibangun kelom pok LSM
maupun akademisi didasarkan atas pembacaan situasi sosial yang terjadi pada s
masyarakat tertentu dan dam lam waktu tertentu, seolah peristiwa tersebut tidak
terkait antara satu dengan yang lain. Padahal tidak ada satu pun peristiwa
sosial yang terjadi hanya karena satu sebab. Sementara media-media yang
dikelola kelompok muslim seperti Sabili, Al Wa'i, Suara Hidayatullah dan Suara
Islam menyuarakan opini bahwa pemerintah kurang tegas menindak lembaga-lembaga
dan individu yang melakukan penyiaran agama dan pemurtadan.
Jika ditengok ke belakang, persoalan bermuasal dari diterbitkannya
SKB No 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama
oleh Pemeluk-Pemeluknya. Dalam SKB ini diatur tentang tata cara pendirian rumah
ibadah yang harus mendapatkan izin dari warga setempat.
Ketentuan ini oleh beberapa pegiat HAM dianggap pemerintah mencampuri urusan
agama yang dija min kebebasannya menurut konstitusi dan UU. SKB ini kemudian
diperbaharui menjadi No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran
Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Pemerintah terus melakukan sejumlah upaya untuk melakukan
`pembinaan' kerukunan umat beragama. SKB ini oleh beberapa pengamat dan aktivis
lembaga sosial lagi-lagi dianggap mencampuri urusan agama yang mestinya negara
harus netral. Pada 2004 hingga awal 2005 muncul kembali tuntutan pencabutan
SKB. Ada juga kelompok masyarakat yang meminta agar SKB dipertahankan dan bila
memungkinkan ditingkatkan menjadi UU. Akhirnya pemerintah, melalui Kementerian
Agama, melakukan kajian ulang terhadap SKB tersebut dan hasilnya menyimpulkan
bahwa keberadaan SKB masih relevan karena masalah pendirian rumah ibadah
menjadi salah satu sebab yang dapat mengganggu hubungan antarumat beragama.
Ada Peningkatan
Menarik untuk dicermati, ternyata jumlah rumah ibadah semua
kelompok agama yang ada di Indonesia setelah keluarnya SKB Nomor 1 Tahun 1969
meningkat tajam. Jika dibandingkan data keagamaan 1977 dan 2004, ternyata
jumlah rumah ibadah Islam bertambah jumlahnya dari 392.004 berkembang menjadi
643.834 (naik 64%). Rumah ibadah Kristen bertambah jumlahnya dari 18.977
berkembang menjadi 43.909 (naik 131%), rumah ibadah Katolik dari 4.934 menjadi
12.474 (naik 153%), rumah ibadah Buddha bertambah dari 1.523 menjadi 7.129
(naik 368%).
Data ini menunjukkan bahwa pengaturan pendirian rumah
ibadah tidak menjadi sebab terhambatnya pertumbuhan rumah ibadah. Mengapa rumah
ibadah kelompok minoritas selalu dipermasalahkan kelompok mayoritas? Relasi
sosial antarumat beragama dalam sebuah lingkungan mesti memperhatikan tempat (place). Seperti kata pepatah “di mana bumi di pijak, di situ langit
dijunjung“ artinya kita harus menghormati kultur setempat. Para pendatang
mesti mempertimbangkan strategi adaptasi. Kegagalan beradaptasi akan melahirkan
prasangka dan stereotipe. Melepas hewan piaraan seperti anjing atau babi di
lingkungan masyarakat yang menganggap kotor (najis) binatang tersebut tentu
akan mengundang perselisihan.
Relasi sosial yang asimetris itu akan melahirkan persaingan
dan pertentangan.
Inilah sebenarnya yang menjadi akar masalah kerukunan umat beragama di banyak
wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, penanganan masalah kerukunan tidak cukup
hanya dengan pendekatan yuridis formal. Pendekatan budaya perlu dipertimbangkan
agar prinsip dasar ke dua dalam bernegara, “Kemanusiaan
yang adil dan beradab“ dapat menjadi dasar `pembinaan' kerukunan hidup
beragama versi pemerintah maupun `pembelaan' atau advokasi dalam perspektif
pegiat HAM dan LSM.
Apakah pemerintah dengan regulasi yang dibuatnya bermaksud
melanggar HAM atau melakukan pembiaran terhadap diskriminasi yang dialami
sebagian warganya? Apakah advokasi terhadap kelompok yang menjadi korban
diskriminasi tidak membawa manfaat dan menyelesaikan masalah? Tidak ada yang
salah dalam pemilihan strategi rekayasa sosial untuk perdamaian dan
berkeadaban. Kekeliruannya adalah mempertentangkan keduanya. Pemerintah memilih
pendekatan konflik, melalui manajemen dan resolusi konflik dalam rangka
memelihara kerukunan dan menangani konflik. Di lain pihak, pegiat HAM dan
aktivis LSM melakukan advokasi terhadap korban diskriminasi dan kelompok
minoritas sehingga hak-hak mereka dapat dihormati dan dipenuhi.
Mempertentangkan kedua pilihan strategi penanganan dan
resolusi konflik versus advokasi justru merugikan masyarakat bangsa. Masyarakat
demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan jika hubungan antara penyelenggara
negara, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku ekonomi (pasar) dapat kembali
kepada prinsip dasar bernegara yang keempat yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan“.
Dalam kerangka ini sudah saatnya kita memperkuat institusi
dan peranan Forum Kerukunan Umat Beragama yang sudah terbentuk di hampir semua
provinsi, kabupaten, dan kota menjadi lembaga sosial yang menjadi tempat
berkumpulnya tokoh dan pemuka agama untuk bermusyawarah menyelesaikan
perselisihan dan pertentangan yang ada dalam masyarakat. Pemerintah dan
organisasi masyarakat sipil dapat berbagi peran dalam mewujudkan prinsip dasar
berbangsa dan bernegara yang ketiga, yaitu “Persatuan
Indonesia.“ Bagaimana? ●
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus