|
KOMPAS, 30 April 2013
Dari
total 6.578 nama caleg yang diajukan 12 parpol, mayoritas bermutu rendah. Kita
sendiri di Demokrat hanya 15 persen sampai 20 persen caleg yang bermutu (Ahmad
Mubarok, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, ”Republika”, 27/4).
Secara
umum, ideologi adalah gagasan atau cita-cita besar yang menuntun penziarahan
bangsa mencapai kemuliaan dan hidup bahagia. Tanpa bimbingan adicita sebagai
sumber inspirasi dan sekaligus cahaya terang yang memandu mewujudkan cita-cita,
dapat dipastikan bangsa yang bersangkutan mudah tersesat menuju ke arah yang
tidak berketentuan. Oleh sebab itu, peran ideologi sangat penting dalam
berpolitik karena ranah kekuasaan sarat dengan adu siasat dan pertarungan
kepentingan.
Berpolitik
tanpa ideologi akan mendorong pelaku politik memasuki lorong gelap yang hanya
dituntun oleh dua instingtual dasar, yaitu naluri untuk memenuhi survivalitas
dan memburu insting ego atau interes privat. Dua perangkat naluri yang secara
kodrati dimiliki makhluk submanusia (antropoid).
Sebagai insan bermartabat, manusia yang hanya mengikuti, mengumbar, dan
mengeksploitasi intuisi primitif akan terjebak, menurut terminologi Albert O
Hirschman (dalam The Passions and
The Interests, 1977), dalam tiga dosa yang menjatuhkan martabat manusia:
nafsu mengejar uang dan harta benda (lust
for money and possession), hasrat berkuasa (lust for power), dan gelora libido (sexual lust).
Meskipun
bangsa Indonesia mempunyai ideologi yang berisi nilai-nilai luhur, Pancasila,
daya penetrasi keutamaan tersebut belum mampu menembus ranah kekuasaan. Nada
dasar politik Indonesia adalah keterpukauan terhadap pesona dan nikmat
kekuasaan. Resonansi laras tersebut menyusup ke seluruh struktur kekuasaan
sehingga ranah politik sangat gersang dan cengkar bagi tumbuhnya benih-benih
nilai-nilai mulia. Lebih memprihatinkan lagi, partai politik sebagai institusi
yang seharusnya menyediakan lahan subur persemaian ideologi serta wahana
mengobarkan cita-cita justru mengalami tingkat kemiskinan ideologi yang paling
parah. Laju pemiskinan di parpol berbanding tegak lurus dengan gelora nafsu
memburu kekuasaan.
Misalnya, calon pemegang kekuasaan legislatif tidak
diseleksi berdasarkan rekam jejak, transparan, demokratis, serta
prinsip-prinsip meritokratik, tetapi lebih didasarkan atas popularitas mereka.
Lembaga yang mempunyai tugas sangat mulia karena akan menentukan nasib negara
dan bangsa ke depan diserahkan kepada mereka yang diragukan kemampuan,
komitmen, dan keterampilan mengelola kekuasaan dengan bijak.
Kritikan
publik, mulai dari yang tajam, konstruktif, sampai cemoohan sarkastis, terhadap
parlemen yang merupakan kepanjangan tangan dari parpol dianggap angin lalu.
Kajian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia pada Januari 2013 secara
rinci mengevaluasi kinerja DPR. Intinya, mereka menegaskan pelaksanaan tiga
fungsi utama DPR—legislasi, anggaran, dan pengawasan— mengalami kemerosotan,
bahkan cenderung merusak citra lembaga wakil rakyat.
Karena
itu, kepercayaan publik terhadap institusi tersebut merosot sampai titik nadir.
Politik anggaran hanya melayani kepentingan DPR dan pemerintah, bahkan diduga
kuat terjadi mafia anggaran. Potret DPR semakin buruk karena perilaku
anggotanya semakin jauh dari hidup sederhana, motivasi mengabdi kepada rakyat
samar-samar, dan malas bersidang tetapi rajin studi banding meskipun hasilnya
tidak jelas. Kajian ini hanya salah satu dari sekian banyak studi yang
dilakukan oleh sejumlah kalangan masyarakat dengan kesimpulan yang senada.
Meskipun
tingkat kepercayaan publik amat rendah terhadap parlemen, akibat dari
kinerjanya yang amat buruk, parpol masih mengajukan sebagian besar
kader-kadernya yang minim prestasi tersebut menjadi caleg untuk Pemilu
Legislatif 2014. Kebebalan inilah yang mengakibatkan masyarakat skeptis
terhadap impian Pemilu 2014 yang akan menjadikan rakyat sebagai pemenang sejati.
Harapan tersebut tampaknya hanya fatamorgana politik yang akan segera lenyap
oleh pancaran panasnya pertarungan politik kekuasaan menjelang pertarungan
kekuasaan 2014.
Pemilu
tahun depan hanya akan menjadi mimpi buruk bagi publik, tetapi merupakan mimpi
indah para caleg yang sudah melamun dan membayangkan nikmatnya mereguk
kekuasaan. Proses pemiskinan ideologi akan mengakibatkan kader-kader partai
menjadi buta batin dan mata hatinya, kering imajinasi, serta semakin jauh dari
rakyat yang diwakilinya. Mereka mungkin berlimpah harta, tetapi dapat
dipastikan berjiwa kerdil kalau larut dalam proses transaksi politik
kepentingan yang sudah berurat berakar dalam setiap tingkatan proses
pengambilan keputusan politik.
Salah
satu akibat tragis dari tingginya tingkat kemiskinan ideologi dari kader parpol
dapat dipastikan mereka akan melakukan strategi pencitraan habis-habisan dalam
berburu kedudukan. Kefakiran cita-cita akan dikemas dan dikompensasi dengan
berjualan tampang dan perilaku populis yang menyesatkan para pemilih yang
terbatas kemampuan aksesnya untuk mengetahui kapasitas dan integritas mereka.
Medan politik akan menjadi lautan citra yang akan menenggelamkan masyarakat
dalam fantasi dan sensasi yang membunuh realitas politik. Karena itu, rakyat
harus bangkit. Gerakan antipolitikus busuk harus digalakkan kembali. Bagi elite
politik yang lapar kekuasaan, berhentilah ”memerkosa” kedaulatan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar