|
KOMPAS, 29 April 2013
DPR
dan pemerintah dewasa ini tengah membahas RUU Pilkada, tetapi sama sekali tidak
dikaitkan dengan efektivitas pemerintahan daerah. Kalau demokrasi diartikan
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan
untuk rakyat, RUU Pilkada yang mengatur sistem pemilihan umum kepala daerah
perlu didesain demi efektivitas pemerintahan daerah.
Pemerintahan
daerah yang efektif ditandai sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama,
kebijakan publik daerah yang disepakati oleh kepala daerah dan DPRD sesuai
aspirasi warga daerah.
Kesesuaian
antara kebijakan publik yang ditetapkan dan aspirasi warga daerah terlihat pada
dua tataran. Anggota DPRD dan pasangan calon kepala daerah terpilih dalam
pemilu berarti alternatif kebijakan publik yang ditawarkan pada masa kampanye
sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar warga daerah. Pada tataran berikutnya,
proses pembahasan rencana kebijakan publik itu melibatkan berbagai unsur dalam
masyarakat.
Kedua,
kebijakan publik daerah tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan
sehingga manfaatnya dapat dirasakan warga daerah. Dengan demikian,
kesejahteraan warga sebagai tujuan pemerintahan daerah terwujud.
Pemilu
Lokal Serentak
Sekurang-kurangnya
enam aspek infrastruktur politik perlu diciptakan untuk mewujudkan pemerintahan
daerah yang efektif. Dari enam unsur sistem pemilu, yang dipandang berkaitan
erat dengan keenam ”infrastruktur” politik tersebut adalah pola kalender waktu
penyelenggaraan sejumlah jenis pemilu.
Dari
enam pola kalender pemilu di dunia ini, tampaknya pola pemilu nasional serentak
dipisah dari pemilu lokal serentak selang waktu 24-30 bulan, yang paling mampu
menciptakan keenam aspek infrastruktur politik daerah tersebut.
Pemilu
nasional serentak (pemilu presiden/pilres dan pemilu anggota DPR dan DPD) sudah
dapat dilaksanakan pada 2019 tanpa memerlukan penyesuaian yang berarti. Adapun
pemilu lokal serentak (pemilu kepala daerah/pilkada dan pemilu anggota DPRD,
baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota) dapat dilaksanakan pada 2021 setelah
melewati sejumlah penyesuaian berdasarkan konsensus nasional pada masa
transisi.
Infrastruktur
politik yang perlu diciptakan itu, pertama, adalah demokratisasi politik lokal
dalam dua aspek: (a) partai politik yang memiliki kursi di DPRD secara
terus-menerus akuntabel (”takut” ditinggal pemilih) kepada konstituen, dan (b)
pemilih memiliki akses secara berkelanjutan menyatakan hasil penilaian terhadap
kinerja partai dan kadernya dalam bentuk ”punishment and reward’” (dipilih lagi
kalau kinerjanya dinilai bagus, dan meninggalkan partai tersebut kalau
kinerjanya dinilai buruk). Karena dalam lima tahun diselenggarakan dua kali
pemilu (nasional dan lokal), maka tidak hanya partai politik yang harus
terus-menerus memelihara dukungan dari konstituen, tetapi juga pemilih memiliki
kesempatan menyatakan penilaian atas kinerja partai dan kadernya dalam
pemerintahan nasional ataupun daerah.
Kedua,
rencana kebijakan publik yang diajukan kepala daerah kepada DPRD mendapatkan
dukungan solid dari DPRD. Karena kepala daerah, wakil kepala daerah, dan
anggota DPRD dipilih pada hari, jam, dan TPS yang sama, partai politik punya
waktu cukup panjang mempersiapkan koalisi dua atau tiga partai atas dasar
kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan kesepakatan calon
kepala daerah. Koalisi yang akan terbentuk tidak bersifat transaksional,
melainkan bersifat transformatif.
Dalam
sejumlah kajian yang dilaksanakan di beberapa negara, muncul fenomena coat-tale
effect. Artinya, kalau pemilih memberikan suara kepada kepala daerah yang
dicalonkan oleh Partai X, dia juga cenderung memilih Partai X untuk DPRD.
Apabila suatu koalisi partai memenangi pemilu lokal, yang dimenangi tak saja
jabatan kepala dan wakil kepala daerah, tetapi juga mayoritas DPRD. Karena itu,
dukungan yang solid dari DPRD pada rencana kebijakan publik yang diajukan
kepala daerah akan dapat terjamin, tidak saja karena kepala daerah dan
mayoritas anggota DPRD berasal dari suatu koalisi yang solid, tapi juga karena
rencana kebijakan publik tersebut merupakan penjabaran visi, misi, dan program
koalisi.
Infrastruktur
ketiga, jumlah partai politik di DPRD tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak
terlalu sedikit. Partai yang terlalu banyak di DPRD menyebabkan saluran
aspirasi rakyat akan sangat terfragmentasi sehingga kesepakatan yang muncul
bukan demi masyarakat daerah, melainkan bersifat kolutif alias bancakan
antarpartai. Jumlah partai politik yang terlalu sedikit di DPRD akan menyebabkan
aspirasi sejumlah kelompok masyarakat tak terwakili dalam perumusan kebijakan
publik.
Jumlah
parpol di DPRD dapat berkurang, tidak hanya dengan ambang batas masuk DPRD,
tapi juga karena pemilu lokal serentak tersebut. Berdasarkan perilaku memilih
yang disebut coat-tale effect tersebut, jumlah partai di DPRD akan berkurang
secara alamiah. Pengurangan partai dengan cara ini malah lebih ”demokratis”
daripada dengan ambang batas. Sebab, yang pertama tidak menimbulkan suara sah
terbuang, sedangkan yang kedua menimbulkan suara sah terbuang.
Keempat,
kepala daerah memiliki kapasitas kepemimpinan politik dalam tiga hal: (a)
kemampuan menggalang seluruh partai, unsur masyarakat, dan pemilih untuk
menyepakati suatu kebijakan publik, serta untuk mendukung pelaksanaan kebijakan
publik tersebut; (b) kemampuan memilih pasangan, wakil kepala daerah, yang
menempatkan diri sebagai orang kedua yang loyal kepada kepemimpinan kepala
daerah; dan (c) kemampuan mendelegasikan sejumlah tugas dan kewenangan yang
tepat kepada wakil kepala daerah, tapi tetap ada di bawah tanggung jawab
kepemimpinan orang pertama.
Dua
pihak yang akan menentukan apakah kepala daerah terpilih memiliki kapasitas
kepemimpinan politik atau tidak, yaitu seleksi yang dilakukan oleh partai baik
pada tataran pengurus (tim seleksi) maupun pada tataran anggota (pemilihan
pendahuluan), dan kemampuan pemilih menilai calon yang memiliki kapasitas
kepemimpinan politik. Karena koalisi dapat dipersiapkan dalam waktu memadai
atas dasar kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan
kepemimpinan calon, maka pemilu lokal serentak ini diperkirakan memungkinkan
kemunculan kepala daerah yang memiliki kapasitas kepemimpinan tersebut.
Infrastruktur
kelima adalah calon wakil kepala daerah dipilih satu pasangan dengan calon
kepala daerah melalui pemilihan umum. Namun, calon wakil tidak diajukan oleh
partai politik, tetapi ditentukan sendiri oleh calon kepala daerah yang sudah
dinyatakan memenuhi syarat. Mekanisme seperti ini tak hanya akan menjamin
loyalitas orang kedua kepada kepemimpinan orang pertama, tetapi juga
efektivitas pemerintahan daerah.
Keenam,
proses penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tinggi akan dapat dilihat pada
dua hal berikut: (a) pemilu diselenggarakan berdasarkan asas-asas pemilu
demokratis, (b) derajat partisipasi pemilih yang tinggi, jumlah suara tidak sah
rendah, dan integritas hasil pemilu (hasil pemilu yang ditetapkan KPU sesuai
suara pemilih senyatanya), dan (c) pemilu diselenggarakan secara efisien.
Lebih
Berkualitas dan Efisien
Pemilu
yang diselenggarakan dua kali dalam lima tahun dengan selang waktu 24-30 bulan
akan melahirkan pemilu yang lebih berkualitas. Sebab, pemilu dapat dipersiapkan
secara lebih saksama, baik oleh peserta dan penyelenggara maupun oleh pemilih,
sehingga partisipasi pemilih lebih besar, jumlah suara tak sah semakin sedikit,
dan integritas hasil pemilu lebih terjamin.
Tak
kalah penting adalah efisiensi dana. Kalau sebelumnya negara harus mengeluarkan
tiga kali honorarium untuk sekitar 5 juta petugas di tiga pemilu lokal yang
terpisah, dengan pemilu lokal serentak negara hanya mengeluarkan satu kali
honor untuk 5 juta petugas tersebut. Efisiensi dana tak hanya untuk donor
petugas, tetapi juga dalam pengadaan dan distribusi berbagai kelengkapan
administrasi proses pemungutan dan penghitungan suara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar