Saat masih duduk di bangku sekolah dasar
(SD), saya pernah mengajukan pertanyaan kepada guru sejarah tentang
kedudukan Kartini sebagai pahlawan nasional. Sang guru menerangkan dengan
sempurna bahwa RA Kartini adalah pelopor pejuang emansipasi wanita.
Seandainya beliau tidak memperjuangkan wanita supaya memiliki hak sama
dengan kaum pria, niscaya wanita Indonesia tidak akan bisa maju dan
bersaing. Karena masih tidak puas dengan jawaban Pak Guru, saya kembali
mengajukan pertanyaan pada Ibu saya di rumah yang juga terbiasa membaca
buku-buku sejarah. Namun jawaban orang tua saya tidak jauh beda dengan
sang guru tadi.
Intinya, “Ibu Kita Kartini”, sebagaimana yang tertuang dalam lagu—adalah
satu-satunya pelopor perjuangan wanita pribumi pada masanya. Jawaban guru
dan orang tua saya tentu menjadi ‘kredo’ dalam benak saya dan mungkin
masyarakat Indonesia secara umum. Karena memang demikian yang termaktub
dalam buku- buku sejarah kita. Pikiranpikiran Kartini diketahui melalui
surat-suratnya tentang kondisi sosial pada masanya, terutama kondisi
perempuan pribumi.
Sebagian besar suratsuratnya berisi keluhan dan gugatan, khusus
menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan
perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar
seperti kaum pria.Raden Adjeng Kartini biasa juga disebut Raden Ayu
Kartini, lahir di Jepara Jawa Tengah, 21 April 1879, dan meninggal di
Rembang, 17 September 1904 pada umur 25 tahun.
Pergulatan intelektualnya bermula ketika berkenalan dengan Estella
Zeehandelaar, aktivis gerakan ‘Sociaal
Democratische Arbeiderspartij (SDAP)’. Wanita berbangsa Belanda ini
kemudian mengenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama
mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme seperti HH
van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang
yang menampilkan Kartini sebagai ‘Pendekar
Wanita Indonesia’.
Pada 1911, enam tahun lebih setelah kematian Kartini, Abendanon
menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul ‘Door Duisternis tot Lich’. Lalu
terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan tema ‘Letters of a Navaness Princess’. Beberapa tahun kemudian terbit terjemahan dalam
bahasa Indonesia dengan judul ‘Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, 1922’.
Sekitar dua tahun setelah penerbitan buku di atas, Hilda de
Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan
pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan
Komite Kartini Fonds yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan
dana ini lebih memperkenalkan Kartini serta ide-idenya pada orang-orang
di Belanda.
Saat itu orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini
sendiri dalam masa kehidupannya hampir tidak ada yang mengenal dan
mungkin tidak akan mengenal Kartini, bila orang-orang Belanda ini tidak
menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan,
maupun tindakan-tindakan mereka, (Dr.
Adian Husaini, Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan
Beradab, 2012).
Kartini Digugat
Pada 1970-an, di saat rezim Orde Baru mencengkeram dengan kuat, seorang
guru besar dari Universitas Indonesia Prof Dr Hasja W Bachtiar menggugat
penokohan Kartini. Bahkan, dia lebih jauh mengkritik ‘pengultusan’
Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia sebuah pemikiran yang langka
dan dianggap aneh saat itu. Dalam buku, “Satu Abad Kartini, 1879-1979”, Hasja W Bachtiar menulis
sebuah artikel bertajuk, “Kartini
dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Guru besar yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University Amerika itu menulis, “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di
Indonesia dari orangorang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang
budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih
lanjut.” Tidak hanya menggugat dan mempertanyakan penokohan dan
pengultusan Kartini, Prof Hasja juga memberikan contoh wanita Indonesia
yang lebih layak ditokohkan dan diangkat menjadi pahlawan ketimbang
Kartini yang sumbangsihnya terhadap perjuangan kaum perempuan masih
sebatas ide dalam surat.
Salah satu wanita yang sangat ideal dijadikan ikon perjuangan kaum
perempuan di Indonesia adalah Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi
Selatan. Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette
Sulawesi Selatan. Memerintah di Kerajaan Tanette pada 1855- 1910. Dia
menjabat sebagai ratu selama limapuluh lima tahun. Ayahnya bernama La
Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya
bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana.
Bersama ibundanya yang intelek dan mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen
raja, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama mahakarya dan
epik terpanjang dalam dunia tulis-menulis, La Galigo. Kerajaan Tanette
merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana
di kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.
Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak
menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk. Di masa pemerintahannya, La
Rumpang menjalin persahabatan cukup baik dengan BF Matthes dan Ida
Pfeiffer. BF Matthes adalah peneliti dari Belanda yang dikirim ke Hindia
Belanda dari perwakilan Nederlandsch
Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah
kitab-kitab). Lewat kedatangan Matthes pada 1853 inilah La Galigo
berhasil digali kembali dan diterjemahkan.
Sedangkan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang melakukan perjalanan
keliling dunia dan menyempatkan diri singgah di Tanette. Kecerdasan dan
kecakapan Aisyah terlihat semasa dia menjadi ratu. Tidak hanya cerdas di
bidang kesusastraan, tapi juga bidang pemerintahan dan bi-dang
pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyat. Sekolah
tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan.
Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis, dan
berhitung, tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada
masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah adalah tokoh yang
pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam
satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi
laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan.
Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali
perempuan. Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau- Pauna
Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut
menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima, yaitu pertama, orang
yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan
kesejahteraan suatu negeri.
Kedua, orang kaya adalah memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya
untuk membangun negerinya. Ketiga,orang pemberani adalah mereka yang
dapat melindungi rakyatnya. Keempat, wali merupakan orang yang dimuliakan
Allah. Lalu yang terakhir fakir, orang yang doanya diterima Allah. Aisyah
sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil
mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terserak di beberapa
kerajaan, yaitu Goa, Tallo, dan Bone.
Dia dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama duapuluh tahun.
Bersama BF Matthess, peneliti asal Belanda, mereka tekun menyelamatkan naskah
tersebut. Tetapi diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang
berhasil diselamatkan. Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, lalu
Mathess menerjemahkan ke bahasa Belanda dari hasil suntingan Aisyah.
Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan
kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di
Perpustakaan Universitas Leiden. Karya La Galigo bisa mencuat ke dunia
internasional berkat jasa Siti Aisyah we Tenriolle, Colliq Poedjie, dan
BF Matthes. Aisyah memiliki peran paling dominan. Karena dialah yang
menguasai sastra Bugis kuno sekaligus kekuasaannya yang sangat kuat
sebagai ratu.
Aisyah adalah wanita hebat, tetapi sangat disayangkan bangsa Indonesia
kurang menghargai lebih khusus orang Sulawesi. Ironisnya dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan
Wanita Indonesia: 1978”, terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia
(Kowani), nama Aisyah sama sekali tidak pernah tersentuh. Jika Kartini
hanya menuangkan ide dalam surat-surat, Aisyah We Tenriolle telah berbuat
banyak untuk memajukan kaum wanita dan pria, dan meninggalkan jejak tak
terhingga oleh peradaban dunia.
Kini tugas kita adalah meluruskan sejarah yang didistorsi para penjahat
sejarah, mari berbuat adil terhadap para pahlawan dengan menempatkan
mereka pada posisi semestinya. Di era yang terbuka dan otonomi seperti
ini, selayaknya orang Sulawesi mengangkat tokoh-tokoh seperti Aisyah
untuk dijadikan suri teladan pada generasi penerus. Wallahu a’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar