Kamis, 25 April 2013

Kartini Versus Aisyah Tenriolle


Kartini Versus Aisyah Tenriolle
Ilham Kadir ; Peneliti LPPI Indonesia Timur
KORAN SINDO, 24 April 2013



Saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya pernah mengajukan pertanyaan kepada guru sejarah tentang kedudukan Kartini sebagai pahlawan nasional. Sang guru menerangkan dengan sempurna bahwa RA Kartini adalah pelopor pejuang emansipasi wanita. 

Seandainya beliau tidak memperjuangkan wanita supaya memiliki hak sama dengan kaum pria, niscaya wanita Indonesia tidak akan bisa maju dan bersaing. Karena masih tidak puas dengan jawaban Pak Guru, saya kembali mengajukan pertanyaan pada Ibu saya di rumah yang juga terbiasa membaca buku-buku sejarah. Namun jawaban orang tua saya tidak jauh beda dengan sang guru tadi. 

Intinya, “Ibu Kita Kartini”, sebagaimana yang tertuang dalam lagu—adalah satu-satunya pelopor perjuangan wanita pribumi pada masanya. Jawaban guru dan orang tua saya tentu menjadi ‘kredo’ dalam benak saya dan mungkin masyarakat Indonesia secara umum. Karena memang demikian yang termaktub dalam buku- buku sejarah kita. Pikiranpikiran Kartini diketahui melalui surat-suratnya tentang kondisi sosial pada masanya, terutama kondisi perempuan pribumi. 

Sebagian besar suratsuratnya berisi keluhan dan gugatan, khusus menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar seperti kaum pria.Raden Adjeng Kartini biasa juga disebut Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara Jawa Tengah, 21 April 1879, dan meninggal di Rembang, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. 

Pergulatan intelektualnya bermula ketika berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, aktivis gerakan ‘Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP)’. Wanita berbangsa Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme seperti HH van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai ‘Pendekar Wanita Indonesia’. 

Pada 1911, enam tahun lebih setelah kematian Kartini, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul ‘Door Duisternis tot Lich’. Lalu terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan tema ‘Letters of a Navaness Princess’. Beberapa tahun kemudian terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, 1922’. 

Sekitar dua tahun setelah penerbitan buku di atas, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan Kartini serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. 

Saat itu orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri dalam masa kehidupannya hampir tidak ada yang mengenal dan mungkin tidak akan mengenal Kartini, bila orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan, maupun tindakan-tindakan mereka, (Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, 2012). 

Kartini Digugat 

Pada 1970-an, di saat rezim Orde Baru mencengkeram dengan kuat, seorang guru besar dari Universitas Indonesia Prof Dr Hasja W Bachtiar menggugat penokohan Kartini. Bahkan, dia lebih jauh mengkritik ‘pengultusan’ Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia sebuah pemikiran yang langka dan dianggap aneh saat itu. Dalam buku, “Satu Abad Kartini, 1879-1979”, Hasja W Bachtiar menulis sebuah artikel bertajuk, “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. 

Guru besar yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University Amerika itu menulis, “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orangorang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.” Tidak hanya menggugat dan mempertanyakan penokohan dan pengultusan Kartini, Prof Hasja juga memberikan contoh wanita Indonesia yang lebih layak ditokohkan dan diangkat menjadi pahlawan ketimbang Kartini yang sumbangsihnya terhadap perjuangan kaum perempuan masih sebatas ide dalam surat. 

Salah satu wanita yang sangat ideal dijadikan ikon perjuangan kaum perempuan di Indonesia adalah Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette Sulawesi Selatan. Memerintah di Kerajaan Tanette pada 1855- 1910. Dia menjabat sebagai ratu selama limapuluh lima tahun. Ayahnya bernama La Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. 

Bersama ibundanya yang intelek dan mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen raja, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama mahakarya dan epik terpanjang dalam dunia tulis-menulis, La Galigo. Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana di kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Goa, Tallo, dan Bone. 

Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk. Di masa pemerintahannya, La Rumpang menjalin persahabatan cukup baik dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer. BF Matthes adalah peneliti dari Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda dari perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab). Lewat kedatangan Matthes pada 1853 inilah La Galigo berhasil digali kembali dan diterjemahkan. 

Sedangkan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang melakukan perjalanan keliling dunia dan menyempatkan diri singgah di Tanette. Kecerdasan dan kecakapan Aisyah terlihat semasa dia menjadi ratu. Tidak hanya cerdas di bidang kesusastraan, tapi juga bidang pemerintahan dan bi-dang pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyat. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. 

Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis, dan berhitung, tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah adalah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. 

Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan. Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau- Pauna Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima, yaitu pertama, orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri. 

Kedua, orang kaya adalah memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk membangun negerinya. Ketiga,orang pemberani adalah mereka yang dapat melindungi rakyatnya. Keempat, wali merupakan orang yang dimuliakan Allah. Lalu yang terakhir fakir, orang yang doanya diterima Allah. Aisyah sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan, yaitu Goa, Tallo, dan Bone. 

Dia dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama duapuluh tahun. Bersama BF Matthess, peneliti asal Belanda, mereka tekun menyelamatkan naskah tersebut. Tetapi diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan. Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, lalu Mathess menerjemahkan ke bahasa Belanda dari hasil suntingan Aisyah. 

Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden. Karya La Galigo bisa mencuat ke dunia internasional berkat jasa Siti Aisyah we Tenriolle, Colliq Poedjie, dan BF Matthes. Aisyah memiliki peran paling dominan. Karena dialah yang menguasai sastra Bugis kuno sekaligus kekuasaannya yang sangat kuat sebagai ratu. 

Aisyah adalah wanita hebat, tetapi sangat disayangkan bangsa Indonesia kurang menghargai lebih khusus orang Sulawesi. Ironisnya dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia: 1978”, terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani), nama Aisyah sama sekali tidak pernah tersentuh. Jika Kartini hanya menuangkan ide dalam surat-surat, Aisyah We Tenriolle telah berbuat banyak untuk memajukan kaum wanita dan pria, dan meninggalkan jejak tak terhingga oleh peradaban dunia. 

Kini tugas kita adalah meluruskan sejarah yang didistorsi para penjahat sejarah, mari berbuat adil terhadap para pahlawan dengan menempatkan mereka pada posisi semestinya. Di era yang terbuka dan otonomi seperti ini, selayaknya orang Sulawesi mengangkat tokoh-tokoh seperti Aisyah untuk dijadikan suri teladan pada generasi penerus. Wallahu a’lam! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar