|
KOMPAS, 29 April 2013
Sejak
dua tahun lalu, DPR RI bersama dengan pemerintah membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. RUU tersebut merupakan inisiatif
komisi II DPR yang diharapkan menjadi salah satu fondasi reformasi birokrasi,
khususnya di bidang sumber daya manusia.
Sejak
awal pembahasannya hingga kini, RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) menimbulkan
berbagai macam pro dan kontra. Sangat dipahami karena substansinya menyangkut
perubahan sistem, manajemen, dan budaya pegawai negeri sipil (PNS) yang
jumlahnya saat ini 4,45 juta. Apa sebenarnya tujuan dasar RUU ASN dan bagaimana
tujuan-tujuan itu akan dicapai?
Melihat
Persoalan Dasar
Salah
satu pengungkit terbesar dalam reformasi birokrasi adalah perubahan SDM
aparatur. Hal itu memang tidak mudah karena perubahannya tidak hanya meliputi
sistem, struktur, dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, cetak pikir,
dan perilaku birokrasi itu sendiri. Ada beberapa masalah dasar dalam SDM
birokrasi Indonesia.
Pertama,
soal belum tertanamnya budaya kinerja dan budaya pelayanan. Ukuran kinerja
birokrasi pada umumnya belum terlalu konkret, belum terencana dengan baik,
tidak terkait dengan hasil (outcome)
juga dampak (impact), dan tidak
berhubungan dengan sistem kompensasi. Jamak dalam berbagai diskusi seorang PNS
sangat sulit diberhentikan karena alasan tidak tercapainya kinerja.
Kedua,
pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi
yang memiliki standar pelayanan profesi, kode etik profesi, dan pengembangan
kompetensi profesi yang harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam
berbagai kebijakan dan manajemen SDM. PNS sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat tak dianggap sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang
menjadi beban negara. Itu sebabnya dengan rasio PNS dibandingkan penduduk yang
hanya 1,89 persen, keberadaan PNS dirasakan belum memberikan manfaat yang
optimal kepada masyarakat.
Persoalan
ketiga adalah kian besarnya gejala pengaruh politik, hubungan kekerabatan,
hubungan ekonomi, dan berbagai relasi lain dalam manajemen SDM. Memang tak
dapat digeneralisasi, tetapi gejalanya kian kuat. Proses rekrutmen dan
pengisian/promosi jabatan di sebagian pemerintahan daerah lebih ditentukan
relasi-relasi yang berdimensi politik, kekeluargaan/kekerabatan, dan ekonomi.
Pengisian jabatan tak didasarkan pada kompetensi, hasil kinerja sebelumnya, dan
kesesuaian kualifikasi yang dibutuhkan.
Gejala
ini menyebabkan penurunan orientasi dan kinerja birokrasi pada pelayanan
publik, di samping berbuntut panjang pada terbatasnya mobilitas PNS sebagai
perekat NKRI. Kepala daerah pada umumnya lebih suka memilih para pembantunya
dari daerah yang bersangkutan karena kedekatan, afiliasi politik, dan
loyalitasnya, bukan karena kompetensinya.
Masalah
dasar keempat adalah sulitnya menegakkan integritas dan mencegah terjadinya
perilaku menyimpang dalam birokrasi. Sebenarnya, persoalan utamanya adalah
ketiadaan nilai dasar profesi yang dijadikan pedoman perilaku. Jika di beberapa
jabatan dan instansi ada, nilai dasar itu belum terinternalisasi baik dalam diri
PNS. Penyakit kejiwaan birokrasi (psycho-bureaupathology) pada dasarnya adalah
penyakit sistem, bukan penyakit individual. Sistemlah yang membuat dan kadang
memaksa individu berperilaku menyimpang. Sebenarnya cukup banyak masalah lain
dalam birokrasi, tetapi penulisan ini membatasi pada keempat hal itu.
RUU
ASN mencoba meletakkan beberapa perubahan dasar dalam manajemen SDM. Pertama,
perubahan dari pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan
administratif kepegawaian kepada human resource management yang menganggap
adalah sumber daya manusia dan sebagai aset negara yang harus dikelola,
dihargai, dan dikembangkan dengan baik. Kedua, perubahan dari pendekatan closed
career system yang sangat berorientasi kepada senioritas dan kepangkatan,
kepada open career system yang mengedepankan kompetisi dan kompetensi ASN dalam
promosi dan pengisian jabatan.
Membangun
Sistem
Pada
sisi lain, RUU ini menempatkan pegawai ASN sebagai sebuah profesi yang harus
memiliki standar pelayanan profesi, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku
profesi, pendidikan dan pengembangan profesi, serta memiliki organisasi profesi
yang dapat menjaga nilai-nilai dasar profesi. Profesi ASN ini juga akan terdiri
dari profesi-profesi spesifik yang lazimnya dikenal sebagai jabatan fungsional
seperti dosen, guru, auditor, perencana, dan analis kebijakan. Menjadikan ASN
sebagai sebuah profesi adalah upaya untuk membentuk profesionalisme setiap
birokrat yang bekerja untuk negara dan masyarakat. Karena itu, kelak jika RUU
ASN ini sudah ditetapkan, setiap birokrat harus memiliki standar pelayanan
profesi, melaksanakan nilai dasar kode etik profesi, dan wajib mengembangkan
keahlian profesinya secara periodik.
Untuk
memperkuat sistem merit dalam birokrasi, pegawai ASN kelak akan terdiri dari
PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan basis utama
kompetensi, kompetisi, dan kinerja. Berbeda dengan istilah pegawai honorer atau
pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS.
Dengan kata lain, RUU ini menegaskan tidak semua pegawai yang bekerja untuk
pemerintah harus berstatus PNS, tetapi dapat berstatus pegawai kontrak
berjangka waktu. Pembentukan PPPK bertujuan menciptakan budaya kerja baru di
kalangan birokrat yang meletakkan pengangkatan, pengisian jabatan, pemberian
kompensasi/remunerasi, dan pemberhentian pegawai berdasarkan kompetensi yang
dimiliki, bersifat kompetitif, dan berbasis kinerja.
RUU
ini juga meletakkan dasar kompetisi terbuka di antara PNS dalam proses
pengisian jabatan, khususnya eselon I dan II yang kelak disebut jabatan
pimpinan tinggi (JPT). Proses pengisian jabatan dalam birokrasi akan menganut
sistem promosi terbuka, yang saat ini oleh Gubernur DKI Jakarta disebut ”lelang
jabatan”. Jika RUU ASN ditetapkan, pengisian JPT baik di pusat maupun di daerah
akan dilakukan secara terbuka atau ”dilelang” di antara PNS yang memenuhi
syarat-syarat jabatan dan standar kompetensi jabatan.
Dengan
demikian, PNS daerah dapat memiliki kesempatan duduk dalam jabatan-jabatan di
tingkat pusat maupun di daerah lainnya. Cara ”lelang” jabatan ini diharapkan
dapat memperkuat kompetisi di antara PNS, menggerakkan pengetahuan dan
mobilitas PNS, serta memperkuat implementasi NKRI. Beberapa pokok pengaturan
lain dalam RUU ASN antara lain menyangkut sistem dan struktur penggajian
berbasis kinerja dan pemberhentian pegawai karena tak tercapainya kinerja dalam
beberapa tahun berturut-turut, serta kewajiban re-apply (melamar ulang) bagi pejabat yang telah menduduki jabatan
selama lima tahun untuk duduk kembali pada jabatan yang sama. Karena keterbatasan
ruang penulisan, ada sejumlah perubahan penting dalam RUU ASN yang tak dapat
dijelaskan. Semoga RUU ASN dapat menjadi fondasi penting bagi perubahan
birokrasi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar