|
SUARA MERDEKA, 27 April 2013
MUSIM pendaftaran calon
legislatif telah tiba. Partai politik ramai-ramai mengajukan daftar calon
sementara (DCS) anggota legislatif untuk bertarung dalam Pemilu 2014. Harapannya,
partai akan mendulang banyak suara demi memuluskan jalan representasi pada
periode demokrasi mendatang.
Parpol tentu mengalokasikan
waktu, strategi, dan pertimbangan keterkenalan calon legislator supaya tak
kalah dalam pentas lima tahunan rakyat. Hanya, beberapa partai masih
mengajukan orang ”bermasalah” sebagai calon legislator. Mengapa bisa demikian?
Bukankah orang bermasalah justru akan mengiris suara para pemilih sehingga
menyebabkan kekalahan dalam kontestasi politik?
Tengok saja nama seperti M
Nazaruddin dan M Nasir dari Partai Demokrat, juga I Wayan Koster dari PDIP (SM,
22/4/13) yang diduga terkait dengan kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA
Games XXVI di Palembang dan Hambalang di Sentul Bogor kembali mencari
peruntungan menjadi wakil rakyat. Dalam kacamata orang awam, calon legislator
yang terjerat dugaan tindak pidana korupsi kemungkinan besar tak akan terpilih.
Lalu, kenapa partai masih mau memasukkan mereka ke DCS?
Sepertinya ada dua alasan
yang membuat partai mau ambil kebijakan tidak populer dengan caleg bermasalah.
Pertama; putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Berdasarkan putusan
MK, bekas narapidana dapat maju sebagai calon legislatif apabila ia telah lima
tahun sesudah menjalani masa hukuman terakhirnya, atau ia mengumumkan kepada
publik mengenai statusnya sebagai bekas napi. Di samping itu, ia tak melakukan
kejahatan secara berulang-ulang.
Putusan MK memiliki arti,
orang bermasalah dalam tipikor pun juga dapat dicalonkan sebagai wakil rakyat
sepanjang sudah selesai menjalani masa hukuman lima tahun sesudah menjalani
pidana. Tapi untuk Nazaruddin misalnya, jika majelis hakim pengadilan tingkat
banding menjatuhkan pidana 4 tahun 10 bulan pada Agustus 2012 maka ia harus
menjalani hukuman mungkin hingga 2016.
Lima tahun setelah masa
pidana itu adalah 2021. Jadi, ia kemungkinan baru bisa mendaftar sebagai calon
anggota parlemen pada 2021. Dengan ketentuan dalam putusan MK, seharusnya
mustahil Nazaruddin bisa masuk dalam DCS.
Bagaimana dengan Mirwan Amir
dan I Wayan Koster, mereka berdua masih bersih belum dijatuhi pidana yang
berarti boleh dimasukkan dalam DCS? Parpol sebenarnya sedang berjudi. Jika
hasil pemeriksaan aparat penegak hukum dalam dugaan kasus korupsi ternyata menyeret
mereka ke ranah hukum, bukankah partai akan merugi? Secara politik, jawabannya
tidak. Pasalnya, ada mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) sehingga calon
urutan berikutnya yang memenangkan suara dari partai terkait akan mengganti
mereka di parlemen. Artinya, perjudian partai tetap membawa hasil.
Menjadi Pewahyu
Alasan kedua bagi partai
menetapkan caleg bermasalah dalam DCS boleh jadi karena para caleg memiliki
rahasia hitam dari partai dimaksud. Untuk mencegah persebaran informasi tentang
busuknya partai agar tak keluar ke publik, salah satu cara ampuh adalah dengan
mengikat para ”informan” itu dalam posisi yang menggiurkan di tubuh partai.
Memfasilitasi mereka dalam DCS adalah satu usaha yang tidak melanggar hukum,
dan sepertinya menguntungkan partai politik agar boroknya tak meluber ke
mana-mana.
Dengan kata lain, kita
sebenarnya sedang disuguhi calon yang berisiko menimbulkan kerusakan. Kalau
sudah begini, bagaimana cara kita menolak caleg bermasalah supaya kerusakan
politik dan hukum tak terjadi? Tahun lalu di koran ini saya mengusulkan, agar
partai memfilter dan tidak menerima caleg bermasalah (SM, 3/2/12). Dengan
kewenangan yang diberikan oleh Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, parpol
harus berlaku sebagai penjaga keras supaya caleg bermasalah tak ikut dalam
pemilu.
Namun, tampaknya partai
sedang lupa dengan kewajiban dan kewenangannya. Kewajiban dan kewenangan untuk
menyediakan orang bersih demi menciptakan sistem dan parlemen yang bersih tak
dipatuhi. Partai lebih memikirkan dirinya dan melupakan amanat nurani rakyat. Dengan
demikian, sudah bukan waktunya lagi mengharapkan partai berlaku baik seperti
pewahyu yang menyampaikan kalam. Kita, para pemilih, yang harus bergerak menghukum
caleg bermasalah. Jangan ada satu suara pun kita berikan kepada caleg
bermasalah. Kita harus menolak caleg bermasalah duduk di parlemen agar lembaga
perwakilan berfungsi menjadi pewahyu yang membawa kalam rakyat demi masa
depan yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar