Perempuan
kembali menuai perhatian. Kali ini oleh elite-elite partai politik yang
memiliki kewajiban memenuhi kuota 30% perempuan dalam penyusunan daftar
calon anggota legislatif sementara (DCS) untuk masa pengabdian 2014-2019
yang telah diserahkan ke KPU. PKS dan Golkar, misalnya, memberikan porsi
36% untuk kaum perempuan dalam DCS mereka, Demokrat 37%, atau Hanura 36%.
Bahkan partai baru, NasDem, memiliki 235 bakal calon anggota legislatif
(bacaleg) perempuan (39,5%) dari total keseluruhan bacaleg tingkat pusat
(Media Indonesia, 22/4).
Yang menjadi pertanyaan,
apakah benar keterwakilan perempuan yang memenuhi kuota 30 % benar-benar
mencerminkan kualitas dan nilai-nilai perubahan atau malah sebaliknya,
sekadar instrumen simbolis-politik partai memenuhi persyaratan pemilu?
Sebagaimana diketahui,
keterwakilan perempuan diatur dalam Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, yang
mensyaratkan jumlah dan persentase keterwakilan perempuan paling sedikit
30% untuk setiap daerah pemilihan. Kemudian, penempatan sekurang-kurangnya
satu bakal calon perempuan dari setiap tiga bakal calon. Peraturan itu
juga menegaskan KPU tidak akan menerbitkan daftar caleg tetap untuk
parpol yang gagal memenuhi syarat keterwakilan perempuan di suatu dapil.
Selain itu, kuota gender
ditetapkan sebesar 30% oleh UU No 10 Tahun 2008. Dasar legalnya mengacu,
antara lain, ke amendemen UUD 1945 Pasal 28 pada beberapa butir tentang
hak perempuan dan politik, UU No 7 Tahun 1984 mengenai segala bentuk
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU No 39 Tahun 1999 Pasal 46
tentang Hak Keterwakilan Perempuan di Lembaga Tinggi Negara, dan Inpres
Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender.
Lemah
Aturan
tersebut sangat penting untuk mewujudkan demokratisasi perwakilan warga
perempuan dalam menentukan nasib di dalam proses politik pengambilan
kebijakan, khususnya legislatif. Dalam kenyataannya, perempuan masih
dibayangbayangi persoalan klasik, mulai aspek kesehatan reproduksi,
pendidikan, rasa aman, hingga lemahnya posisi tawar perempuan dalam aspek
sosial, budaya, l ataupun ekonomi di internal a keluarga dan eksternal.
Angka putus sekolah anak
perempuan di tingkat SD, SMP, dan SMA sangat besar jika dibandingkan
dengan laki-laki. Dari sekitar 9,7 juta penduduk buta huruf di Indonesia,
64% justru kaum perempuan. Angka kematian ibu bahkan masih sekitar
228/100 ribu kelahiran. Semua persoalan itu tentu harus memperoleh
perhatian dan jawaban, terutama dari pihak perempuan.
Dengan begitu,
kepesertaan perempuan dalam politik memung kinkan terciptanya dukungan
dan pembelaannya terhadap masalah kualitas hidup dan kesejahteraan yang
selama ini mengimpitnya.
Sayangnya, kerumitan
persoalan kaum perempuan tersebut kurang begitu direspons partai-partai
politik sebagai wadah politik perem politik perempuan berkarya dan
memperjuangkan hak-haknya. Itu dibuktikan dengan kegelisahan sebagian
besar partai politik menjelang ba tas akhir pengajuan caleg yang berujung
pada nada sama, yakni kesulitan mencari kader-kader perempuan yang layak
dicalonkan sebagai caleg.
Hal tersebut seperti
mengulang kaset usang kepesertaan perempuan dalam lembaga perwakilan di
pemilu sebelumnya. Dalam catatan Ansipol pada Pemilu 2009, perolehan
suara perempuan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki. Di
daerahd-aerah seperti Sumatra, perolehan suara perempuan di DPRD provinsi
sebesar 14%, sedangkan di DPRD kabupaten-kota hanya 9%. Di Bali dan Nusa
Tenggara, perolehan suara perempuan di DPRD provinsi sebesar 7,8% dan di
DPRD kabupaten/kota hanya 6,8%. Keterwakilan perempuan di DPR RI
2009-2014 hanya diisi hanya diis sekitar 101 orang dari 560 anggota atau
sekitar 18,03%.
Kita sulit mengetahui pasti
apakah persoalan defisit kader perempuan benar-benar sebuah realitas atau
justru sekadar kamuflase partai politik untuk menyembunyikan
kepentingan-kepentingan lain. Kalau benar partai kesulitan mendapatkan
stok kader perempuan berkualitas, tetap saja tidak adil jika persoalan
tersebut ditimpakan menjadi kesalahan perempuan semata.
Dengan jumlah penduduk perempuan separuh lebih dari total 230 juta
penduduk Indonesia, kepentingan dan kebutuhan perempuan harusnya lebih
efektif mendapat perhatian dan agenda khusus dari partai politik lewat
program rekrutmen dan pelatihan kaderisasi.
Bukankah di partai politik
selama ini juga telah ada divisi perempuan seperti PDIP dengan Departemen
Urusan Pemberdayaan Perempuan, Golkar dengan Kesatuan Perempuan Partai
Golkar, Partai Amanat Nasional dengan Perempuan Amanat Nasional, dan PKB
dengan Perempuan Kebangkitan Bangsa? Wadah-wadah itu semestinya sudah
cukup prospektif bagi partai sebagai kawah candradimuka kader-kader perempuan
untuk mengasah wawasan, skill, serta keterampilan pengorganisasian diri
dalam memetakan dan memperjuangkan gagasan-gagasan transformatif
keperempuanan.
Kegagalan Partai
Maka, kesulitan partai
merekrut caleg perempuan lebih dimaknai sebagai refleksi kegagalan partai
poli tik menjalankan tugas-tugas pokok sebagai wadah edukasi dan
kaderisasi politik. Potret kinerja politik. Potret kinerja partai dan
wakil rakyat yang cenderung korup telah membuat rakyat, khususnya kaum
perempuan, antipati terhadap politik. Partai politik membutuhkan suatu
perspektif baru untuk memberikan kinerja dan teladan yang positif bagi
rakyat sehingga kaum perempuan di mana pun berada dapat terinspirasi dan
mau melibatkan diri di kancah politik yang selama ini telanjur dianggap kotor
dan menjijikkan.
Di sisi lain, sebagian kaum
perempuan yang tengah mencalonkan diri sebagai caleg diharapkan telah
melalui perenungan yang mendalam dan substantif. Mereka yang kebetulan
dari latar belakang artis pasti sudah tahu bahwa kerja politik atau
mengurus negara tidak mungkin hanya bersandar pada modal sosial
popularitas semata. Tak sedikit yang bilang modal sosial yang dimiliki
artis itu bukanlah diperoleh dengan gampang. Keterkenalan diri mereka
oleh publik melalui layar kaca sudah direngkuh jauh sebelum partai
politik bekerja sehingga mereka pun layak memenuhi kriteria `kapasitas'
dan `kompetensi'.
Namun, pernyataan itu
terkesan dipaksakan karena dunia selebritas atau keartisan berbeda
habitat kompetensi dengan dunia politik. Politik memerlukan penguasaan
wawasan kenegaraan yang komprehensif, kemampuan menggalang lobi dan
dukungan atas sebuah ide/gagasan yang tentu tidak pernah terjadi dan
didapatkan di dunia keartisan.
Meski semua warga negara
berhak sama terjun dalam dunia politik, tidak berarti pula setiap orang
berhak dan merasa bisa berkontribusi terhadap sebuah penciptaan perubahan
sekalipun tak memiliki persyaratan khusus untuk itu. Dunia politik
membutuhkan kompleksitas ide-ide autentik dari seorang politikus sejati;
dengan kontestasi gagasan yang selalu menjadi kawannya sehari-hari, bukan
keglamoran, gincu, lipstik, atau tebar pesona! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar