Minggu, 28 April 2013

Gejala Kehampaan Moral


Gejala Kehampaan Moral
Syamsul Arifin ;  Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 26 April 2013

  
Komjen Pol Susno Duadji yang sudah divonis 3,5 tahun penjara ternyata sulit dipenjarakan karena terhadang puluhan polisi yang diperintah Kapolda Jabar (Jawa Pos, kemarin) sehingga jaksa eksekutor tak berdaya. Sebelumnya, hanya karena serempetan motor, anggota TNI memukuli siswa SMA, dilanjutkan keonaran berkelompok di kantor PDIP di Jakarta (20/4). Juga terjadi polisi berpangkat briptu menembak seniornya, seorang kombespol di Makassar (6/4), karena tersinggung. Belum lagi empat tahanan LP Cebongan, Sleman, tewas setelah diterjang tembakan belasan anggota Kopassus (23/3). Serta anggota TNI yang menyerang dan membakar mapolres di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumsel (7/3), kemarin mulai diadili.

Mengapa terjadi anomali penggunaan otoritas kekerasan atau kewenangan? TNI dan Polri merupakan dua institusi aparatur kenegaraan yang dimandati menggunakan kekerasan dengan tujuan menjamin ketertiban sosial (social order). Tetapi, peristiwa-peristiwa tadi menyerupai aksi masyarakat primitif yang belum berpranata hukum memadai.

Pada masyarakat primitif, kekerasan biasa dilakukan aktor non-negara sebagai mekanisme pembalasan. Begitu pranata hukum modern terbentuk, masyarakat tidak lagi dibenarkan menggunakan kekerasan karena telah diambil alih oleh aparatur. Selain dapat memutus mata rantai aksi balas dendam, cara ini dapat memulihkan tertib sosial. Terjadilah transformasi dari hukum yang represif ke hukum penormalan keadaan (restitutive).

Aksi kekerasan dan pemaksaan kian biasa terjadi di sekitar kita. Ada pertanda nyata bahwa kekerasan sudah dianggap sebagai hal biasa. Terjadilah banalisasi. Kekerasan yang sejatinya modus kejahatan mulai dianggap sebagai peristiwa biasa-biasa saja.

Ironisnya, banalisasi juga terlihat secara nyata pada perilaku pejabat publik kita. Yang paling vulgar tentu terlihat pada cara mereka dalam memenuhi tuntutan sebagai bagian dari komunitas elite. Elite bagi sebagian pejabat publik, rupanya, tidak cukup jika hanya ditandai dengan posisi yang mentereng, misalnya pejabat eselon puncak (I dan II) atau sebagai wakil rakyat. Mereka sebenarnya telah menikmati remunerasi yang bisa hidup lebih dari cukup.

Memang, gaji pokok mereka tidak jauh berbeda dengan pendapatan rata-rata warga Indonesia. Tetapi, dengan tambahan fasilitas lain, angka yang diperoleh sungguh fantastis. Informasi yang disampaikan Dradjad H. Wibowo di Jurnal Parlemen (www.jurnalparlemen.com) bisa dijadikan bahan kajian. Ekonom yang juga wakil ketua umum PAN itu memperoleh data tentang penghasilan beberapa pejabat eselon I di sebuah kementerian yang mencapai rata-rata Rp 2,23 miliar per tahun. Dia lalu membandingkannya dengan penghasilan PM Inggris David Cameron yang "hanya" Rp 2,03 miliar per tahun. 

Dengan pendapatan sebesar itu, seseorang bisa duduk dengan gagah sebagai kelas menengah puncak (upper middle class). Namun, keberlimpahan (affluent) itu belum tentu memuaskan. Bukan menjadikan posisi strategis sebagai pejabat publik untuk mewujudkan kebaikan publik, tapi malah dibelokkan kepada agenda memperkaya diri dengan cara menyimpang. 

Irjen Pol Djoko Susilo memiliki kekayaan yang membuat terperangah. Menurut logika KPK, kekayaan puluhan miliar itu tidak mungkin dimiliki seorang pejabat jika tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Bisa lewat suap (korupsi transaktif) atau melalui pungutan secara paksa (korupsi ekstortif). Modus lain berupa pemberian hadiah atau fee kepada pejabat guna memperoleh kemudahan atau privilege dalam mendapatkan proyek (korupsi invensif). 

Muncul pertanyaan, apakah kekurangan materi yang mendorong korupsi? Tentu saja tidak. Penghasilan pejabat publik kita sebenarnya lebih dari cukup. Mereka korupsi bukan karena faktor keterdesakan pemenuhan kebutuhan hidup (corruption by need). Jika memperhatikan tampilan pejabat yang berurusan dengan KPK, tidak salah bila faktornya adalah keserakahan (greed) ditambah dengan adanya peluang untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). 

Sebagaimana kekerasan yang mulai dianggap sebagai fenomena biasa, korupsi pun kerap dilumrahkan. Terjadilah fenomena banalisasi korupsi. Korupsi yang sejatinya modus kejahatan (evil) lalu dianggap sebagai hal biasa. Ada nihilisme (kehampaan moral) di sini. 

Pertanyaannya, mengapa banalisasi bisa terjadi di sekitar kita? Dua fenomena besar, kekerasan dan korupsi, memiliki makna negatif secara moral. Korupsi yang dilakukan pejabat publik merupakan bentuk pengingkaran terhadap kepercayaan (trust) warga, yang malah mengorbankan warga. Kekerasan juga merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara universal. 

Secara fitrah, sejak dilahirkan, manusia cenderung ingin diakui, dihargai, dan dilindungi untuk merasakan kebahagiaan. Tetapi, jika sebaliknya yang terjadi, manusia akan merasakan penderitaan (suffering). Tidak ada satu pun manusia di kolong jagat ini yang ingin menderita akibat kekerasan atau korupsi yang dilakukan pihak lain. 

Tindakan bernuansa nihilisme bisa dipastikan menimbulkan akibat buruk terhadap orang lain. Kehampaan moral mengandung pengertian pengingkaran dan pembangkangan terhadap nilai-nilai kesusilaan, kemanusiaan, keindahan, dan sikap-sikap keutamaan lain. Nihilisme membuat paras kemanusiaan menjadi tidak patut. Kita wajib khawatir karena fenomena nihilisme ini mulai berkecambah di sekitar kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar