|
SUARA KARYA, 29 April 2013
Melonjaknya belanja subsidi
bermula dari penambahan kuota BBM bersubsidi. Sebelumnya di dalam APBN 2012,
BBM bersubsidi ditetapkan 40 juta kilo liter, namun seiring besarnya konsumsi
BBM masyarakat yang menyebabkan kelangkaan di sejumlah daerah, pada 15 Oktober
2012 lalu DPR menyetujui penambahan kuota 4,04 juta kilo liter dengan anggaran
Rp 12 triliun sehingga kuota BBM bersubsidi mencapai 44,04 juta kilo liter.
Namun, ternyata penambahan kuota
tersebut belum mampu mengcover kebutuhan BBM bersubsidi . Pada 3 Desember 2012,
usulan tambahan kuota sebesar 1,23 kiloliter dari pemerintah kembali memperoleh
persetujuan dari DPR. Sehingga, total BBM bersubsidi tahun 2012 mencapai 45,27
kilo liter yang akhirnya menyedot anggaran sangat besar.
Selain persoalan kebutuhan yang
tinggi, subsidi BBM juga dinilai tidak tepat sasaran. Diperkirakan 72-95 persen
BBM bersubsidi dinikmati oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Jika kita
mengambil angka moderat, 70 persen saja subsidi BBM tidak tepat sasaran maka
dari Rp 186,7 triliun total subsidi BBM, artinya Rp 130,7 triliun dinikmati
orang yang tidak berhak.
Semestinya, pemerintah bisa
membaca dan mengantisipasi lonjakan subsidi yang menyebabkan APBN jebol dengan
melihat tren positif pada sektor perekonomian. Seperti pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan dipastikan linier dengan mobilitas masyarakat. Kebutuhan mobilitas
disertai naiknya kebutuhan BBM.
Ini dibuktikan oleh penjualan
mobil yang menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)
hingga November 2012 sudah mencetak rekor terjual sebanyak 1 juta unit. Bahkan,
hingga Desember ditargetkan tembus 1,1 juta unit mobil terjual. Demikian pula
dengan sepeda motor, periode Januari-Oktober 2012 terjual sebanyak 6.025.697.
Belied pengetatan uang muka (DP) bagi kredit otomotif yang dikeluarkan Bank
Indonesia (BI) tak menyurutkan antusiasme masyarakat memiliki kendaranaan
pribadi.
Indonesia mesti belajar dari
negara maju yang menyiasati problem konsumsi BBM dengan membatasi kepemilikan
dan penggunaan kendaraan pribadi. Tapi, kebijakan tersebut didahului kebijakan
lain. Pemerintah menyiapkan varian pilihan moda transportasi yang nyaman, cepat
dan terjangkau sehingga aktivitas masyarakat tidak terganggu.
Pemerintah harus serius mencari
solusi atas permasalahan yang sudah menjadi komplikasi ini. Sebab, BBM salah
satu variabel penting dalam menggerakkan perekonomian, sehingga jika candu
subsidi terus terjadi maka akan berimplikasi luas. Tidak hanya membebani APBN
(dampak ekonomi), tapi juga berdampak politik. Isu kenaikan harga BBM sangat
sensitif dan mudah digiring ke ranah politik, sebab menyangkut hajat hidup
rakyat banyak. Kita tentu tidak ingin setiap tahun disibukkan dengan isu
kenaikan harga BBM yang menguras energi dan hanya menjadi dagelan para elit
politik.
Sebagai negara growth leading economies, yaitu negara
dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi
berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju, kebutuhan energi
akan semakin besar sehingga politik energi harus diproyeksikan menjawab
kebutuhan tersebut.
Kurang bijak jika masyarakat
dipaksa mengurangi konsumsi energi. Sebab, energi menjadi kebutuhan operasional
dalam aktivitas ekonomi. Yang tepat adalah mengalihkan dari penggunaan energi
tidak terbarukan ke energi alternatif yang terbarukan dengan harga lebih murah.
Disain penghematan tidak boleh mengorbankan aktivitas ekonomi masyarakat yang
pada gilirannya berdampak pada daya beli dan rentan memengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Ingat, konsumsi domestik menyumbang hingga 70 persen pertumbuhan
ekonomi.
Komplikasi subsidi energi ini
sebenarnya kapasitas manajemen anggaran pemerintah. APBN 2013 sebesar Rp 1.683
triliun harus mampu dialokasikan secara tepat dan proporsional. APBN tidak
boleh dijadikan instrumen politik. Jangan dialokasikan untuk sekadar menenggak
popularitas penguasa seperti memberikan subsidi yang ternyata salah sasaran.
Sebagai solusi, maka pendekatan
subsidi yang jika dikalkulasi (tidak saja subsidi energi), menembus angka Rp
300 triliun per tahun harus diarahkan pada penguatan ekonomi masyarakat yang
sifatnya personal. Kebijakan subsidi harus menukik pada kegiatan ekonomi riil.
Misalnya bantuan modal usaha, beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi yang
sifatnya memacu produktivitas.
Subsidi seperti ini akan lebih
efektif sebab tepat sasaran. Memperkuat akses ekonomi dan daya beli masyarakat.
Standar ekonomi dan produktivitas dinaikkan, sehingga berapapaun harga BBM, TDL
dan berbagai kebutuhan sehari-hari bisa terjangkau. Ini juga akan mengembalikan
APBN pada track yang sebenarnya. Yaitu, sebagai instrumen fiskal yang
menstimulus perekonomian, bukan komoditas politik penguasa.
Jika mempertahankan pola subsidi
energi yang diterapkan saat ini, bakal terus menjebak APBN pada satu lingkaran
setan. Logika subsidi yang mengikuti deret ukur ekonomi masyarakat berubah
menjadi candu sehingga berakibat komplikasi untuk jangka waktu yang lama.
Masyarakat juga akan semakin boros menggunakan energi bersubsidi. Padahal
cadangan bahan bakar minyak, hanya tersisa untuk 12 tahun lagi.
Karena itu,
dibutuhkan political will pemerintah
untuk mengubah pola subsidi energi.
Efek perubahan kebijakan itu tentu
saja tidak bisa dihindari. Risiko berubah pasti ada. Misalnya, bakal
menimbulkan kejutan bagi mayarakat yang telah lama menikmati subsidi. Pada
titik inilah leadership pemerintah,
khususnya Presiden sebagai pengambil kebijakan tertinggi, diuji. Berani
mengambil risiko untuk kemaslahatan jangka panjang atau justru mengedepankan
popularitas yang tidak berarti apa-apa bagi rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar