Awal
2013 ini Kishore Mahbubani meluncurkan karya tulis terbarunya, The Great Convergence, Asia, The West,
and The Logic of One World.
Dia membangun argumen panjang lebar untuk mendukung tesisnya bahwa
berbagai negara di dunia ini semakin mendekat dan menyatu karena memiliki
banyak kesamaan problem dan dorongan untuk kerja sama. Faktor pendidikan
dan ilmu pengetahuan sangat signifikan perannya dalam mendekatkan sesama
kelas menengah yang berpendidikan tinggi dari mana pun asal etnis dan
negaranya.
Faktor lainnya adalah terjadi saling ketergantungan teknologi dan ekonomi
sehingga tidak mungkin sebuah bangsa dan negara hidup sendiri. Yang tak
kalah pentingnya adalah kesadaran bersama terhadap ancaman global, baik
akibat kerusakan alam maupun ancaman krisis politik-ekonomi yang terjadi
dalam sebuah negara, pasti akan mengganggu ekonomi negara lain seperti
krisis keuangan di Yunani ataupun konflik berkepanjangan di Palestina.
Apa yang ditulis Mahbubani tentu bukan isu baru. Dia mengakui karyanya
ini banyak diinspirasi The World Is
Flat (2005) oleh Tom Friedman, In
Defence of Globalization (2004) oleh Jagdish Baghwati, dan Why Globalization Works (2004)
oleh Martin Wolf.
Salah satu kekhasan Mahbubani adalah cara pandangnya yang sering
provokatif dengan disertai data, pengalaman pribadi, dan analisisnya yang
mudah dicerna sehingga memudahkan orang lain untuk menerima atau
membantahnya.
Menyisakan
Kontradiksi
Meski Mahbubani mengajukan teori The
Logic of One World, dia juga memberi catatan penting bahwa di dalam
panggung global ini terdapat tujuh kontradiksi yang mengganjal
terciptanya kehidupan serta kerja sama global yang harmonis misalnya saja
The West versus the Rest, Expanding
China versus a Shrinking World, dan Islam versus the West.
Hubungan Barat dan Islam memiliki kenangan pahit dan luka sejarah yang
sulit dihilangkan yang berakar pada peristiwa Perang Salib. Dampaknya masih berkelanjutan sampai hari ini.
Peristiwa sejarah yang sama ditafsirkan dan disikapi secara berbeda
antara Barat yang Kristen dan umat Islam di Timur.
Posisi Yerusalem sangat krusial dalam konteks hubungan Barat dan Islam,
ratusan tahun menjadi objek perebutan antara pemeluk Yahudi, Kristen, dan
Islam, yang ketiganya memiliki referensi emosi dan keyakinan agama. Dalam
Perang Salib, baik tentara Kristen maupun Muslim merasa berada di pihak
Tuhan, keduanya ingin menyelamatkan tanah suci.
Realitas sejarah ini tidak saja merupakan ganjalan hubungan antara Barat
dan Islam, tetapi juga paradoks klaim keagamaan yang mengajarkan persaudaraan
dan perdamaian universal. Ganjalan lain yang merupakan kontradiksi adalah
penafsiran dan sikap yang berbeda mengenai siapa menindas siapa.
Dunia Islam selalu merasa menjadi korban penjajahan dan penindasan Barat.
Kekayaan alamnya dirusak dan dikeruk oleh imperialis Barat. Sementara itu
Barat merasa menjadi objek kekerasan, terorisme, dan bom oleh militan
Islam. Jadi, di mata Barat, dunia Islam selalu menyimpan permusuhan,
sementara di mata dunia Islam, Barat akan selalu dianggap penjajah.
Dengan berbagai kendala dan paradoks serta kontradiksi yang menghalangi
munculnya one world, satu dunia dimiliki dan diatur bersama, tren ini
tidak bisa distop atau diputar kembali. Ibarat kapal besar, semua anak
bangsa adalah penumpang kapal yang sama. Jika terjadi kebakaran yang
menimpa satu bilik kamar, akan membahayakan kamar yang lain, bahkan
mengancam keselamatan seluruh penumpang kapal.
Sayangnya, kata Mahbubani, kita lebih fokus memikirkan kepentingan
nasional saja dengan mengabaikan kondisi global rumah bumi yang
kualitasnya semakin rusak. Bermunculan buku dan konferensi internasional
yang bertema global ethics, namun hasilnya tidak mudah diimplementasikan.
Global interests versus national interests, kata Mahbubani.
Demikianlah, secara rasional-argumentatif, kita rasanya setuju terhadap
dasar pemikiran The Logic of One
World. Penduduk bumi yang lebih dari enam miliar kini terhubung
dengan mudah. Internet telah mengubah moda komunikasi lintas bangsa dan
benua. Jarak ruang dan waktu seakan menghilang.
Dunia semakin terasa sesak dan padat, dan sekaligus semakin terasa
majemuk, warna-warni. Ini bisa merupakan festival keragaman, namun bisa
juga mempertajam persaingan dan konflik memperebutkan hegemoni ekonomi
dan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar