|
SINAR HARAPAN, 27 April 2013
Perang
bintang tampaknya tidak hanya terjadi pada figur militer maupun figur politikus
yang hendak maju dalam Pemilu 2014. Para bintang layar kaya sepertinya tidak
mau ketinggalan momentum pemilu dengan menjagokan diri sebagai calon legislator
dari 14 partai politik peserta pemilu.
Dalam
daftar caleg sementara (DCS) yang disampaikan para parpol tersebut ke Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pada 22 April 2013, ada sekian nama tenar yang tercantum,
baik yang masih aktif sebagai artis maupun pensiun. Nama-nama, seperti Tantowi
Yahya, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Qomar, maupun Nurul Arifin, masih menjadi
figur selebritas politik yang mapan.
Selebihnya adalah figur-figur “hijau”, seperti Anang Hermansyah dan Ayu Azhari (PAN), Mandala Shoji dan Ridho Rhoma (PKB), Angel Lelga (PPP), Irwansyah (Gerindra), dan Krisdayanti (Hanura). Terhadap para caleg tersebut, tentu kita tidak asing lagi mendengar dan melihat para artis tersebut, terutama dalam kemampuan berakting, menyanyi, bahkan bersilat lidah di layar kaya.
Namun yang
menjadi pertanyaan berikutnya, seberapa besar kapabilitas para caleg artis
tersebut dalam memahami politik sebagai arena pemenuhan aspirasi rakyat? Hal
inilah yang sekiranya menjadi persoalan kritis sekaligus skeptis dalam
menanggapi artis masuk dalam dunia politik.
Adapun persoalan kapabilitas artis dalam dunia politik dapat dikategorisasikan dalam lima tipologi, yakni selebritas advokat, selebritas aktivis (endorser), selebritas politikus, politikus selebritas, dan selebritas endorser (John Street, 2012: 347).
Lebih
lanjut Street menjelaskan selebritas aktivis maupun selebritas advokat
merupakan artis yang masuk dunia politik karena dorongan melakukan gerakan
sosial dan perubahan. Dalam tipologi pertama ini, kita bisa melihat dari figur
Rieke Diah Pitaloka yang concern terhadap buruh dan kekerasan perempuan
sekaligus juga aktivis teater, begitu juga Reni Djayusman yang artis sekaligus
aktivis Granat (Gerakan Anti-Narkotika).
Selebritas politikus adalah artis yang mengalami transformasi diri dalam mencari nafkah dari dunia hiburan menuju dunia politik.
Politikus
selebritas adalah artis yang masuk dunia politik hanya bertujuan memopulerkan
kembali namanya di masyarakat supaya kembali terkenal, dan selebritas endorser
adalah selebritas yang dimanfaatkan ketenarannya oleh partai politik untuk
menjadi vote getter dalam pemilu legislatif dan eksekutif. Selain itu, makna
endorser juga dimaknai sebagai penarik simpati publik guna memengaruhi preferensi
politik pemilih pada pemilu mendatang (Moore, 2008).
Tipologi Selebritas Politik
Tipologi Selebritas Politik
Jika melihat tipologi lima selebritas politik di atas, kita bisa menganalisis masuknya artis dalam daftar caleg 2014 disebabkan berbagai hal, seperti pertama, artis tersebut sudah tidak laku lagi di dunia hiburan sehingga mencari sumber nafkah yang sepadan dengan dunia hiburan di dunia politik.
Kedua,
artis tersebut ingin kembali namanya berkibar dan terkenal seperti aktif dulu
dengan masuk sebagai legislator DPR sehingga publik bisa tahu sepak terjangnya
melalui pemberitaan media.
Ketiga, artis tersebut masuk dunia politik karena mengikuti “idealisme semu” partai politik tersebut agar menjadi bagian dari perubahan bangsa, padahal masih “hijau dalam politik”.
Keempat,
artis tersebut masuk dunia politik karena desakan pihak partai politik agar
bisa meraih suara sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan ketenaran artis
tersebut. Kelima, artis yang benar-benar ingin memperjuankan aspirasi rakyat
berbekal pengalaman kaderisasi politik di partai pollitik yang cukup lama.
Dalam kasus Indonesia, sepak terjang artis yang masuk dunia politik yang namanya bergema di telinga masyarakat sangatlah sedikit dibandingkan dengan kiprahnya di dunia hiburan.
Sebut saja
Dedi “Miing” Gumelar yang vokal terhadap masalah olahraga dan pendidikan, Nurul
Arifin yang vokal terhadap masalah otonomi daerah, Rieke Diah Pitaloka yang
peduli masalah buruh, kekerasan perempuan, dan ketimpangan ekonomi, dan Tantowi
Yahya yang peduli terhadap kebijakan politik luar negeri, militer, dan
pertahanan Indonesia.
Selebihnya di luar keempat artis tersebut, para artis lainnya yang duduk di kursi dewan yang terhormat tidak bergema suaranya dan hanya menjadi anggota dewan yang baik dan duduk manis ketika sidang, dan menerima uang ketika rapat selesai.
Mereka
hanya menjadi anggota pasif yang tidak memanfaatkan keartisan dan
keterkenalannya sebagai media penyambung aspirasi rakyat. Yang memalukan justru
dari figur artis politik Angelina Sondakh yang terkenal menjadi puteri
Indonesia 2004, namun akhirnya berkubang dalam sarang korupsi kepartaian.
Masuknya artis ke dunia politik sah-sah saja, karena itu hak politik aktif warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.
Namun
karena sudah terlabelisasi artis dan sudah terkenal, akan lebih baik lagi kalau
para artis tersebut juga vokal terhadap masalah masyarakat, seperti halnya
ketika aktif jadi artis yang juga sangat vokal dalam dunia hiburan. Jangan
hanya menjadi penonton pasif dan menjadi endorser partai dalam meraih suara
sebanyak-banyaknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar