|
KORAN SINDO, 29 April 2013
Hampir
tanpa kecuali partai-partai politik (parpol) mengusung artis sebagai calon
anggota legislatif (caleg) Pemilu 2014. Beberapa parpol bahkan dalam jumlah
yang cukup banyak.
Bagaimana kita mencerna dan memahaminya? Fenomena caleg artis sebenarnya sudah marak pada Pemilu 2009 lalu. Meskipun mereka pada umumnya populer secara publik, tidak semua caleg artis lolos menjadi legislator di DPR dan DPRD. Untuk DPR, kurang lebih 18 orang artis tenar dari parpol yang beragam berhasil menjadi anggota parlemen. Mereka terdiri atas pemain film, bintang sinetron, penyanyi, pelawak, presenter televisi, dan profesi selebritas lainnya.
Pengalaman sejak 2009 memperlihatkan tidak semua legislator artis ini bisa bekerja dan berkinerja optimal sebagai wakil rakyat yang memperoleh mandat politik melalui pemilu. Mereka secara umum sama saja dengan sebagian besar anggota DPR nonartis yang juga kinerjanya tenggelam di balik hiruk-pikuk politik dan demokrasi kita.
Namun, beberapa di antaranya, sebut saja sekadar contoh, Nurul Arifin (Partai Golkar) dan Rieke Diah Pitaloka (PDI Perjuangan), harus diakui memiliki kinerja yang baik, bahkan di atas rata-rata kinerja anggota DPR yang nonartis. Akan tetapi perlu segera dicatat pula, Nurul dan Rieke sebenarnya telah tampak perform sebelum mereka menjadi anggota parlemen.
Pertanyaannya kemudian, mengapa caleg artis marak dan apa dampaknya bagi masa depan parpol serta demokrasi kita? Sulit dimungkiri basis kompetisi dalam pemilu legislatif kita sejak 2009 adalah popularitas figur para caleg yang diajukan parpol di satu pihak dan kemampuan finansial di lain pihak. Sistem proporsional dengan daftar terbuka melalui penetapan keterpilihan atas dasar suara terbanyak memberi peluang besar bagi setiap figur tenar untuk terpilih dalam pemilu.
Sistem pemilu yang diadopsi kembali untuk Pemilu 2014 tersebut, apa boleh buat, lebih mengandalkan ketenaran belaka ketimbang kapabilitas para caleg sehingga caleg artis memperoleh peluang besar untuk meraih dukungan dan terpilih. Pemilu akhirnya menjadi ”pasar bebas” yang memungkinkan siapa saja yang populer, entah artis, keluarga pejabat tinggi, atau pesohor lainnya, untuk terpilih.
Apalagi jika para pesohor ini memiliki kemampuan finansial memadai untuk membiayai promosi diri yang cenderung makin mahal dari pemilu ke pemilu. Tidak menjadi penting apakah para caleg pesohor tersebut benar-benar memahami betapa berat tugas dan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat di parlemen.
Mekanisme suara terbanyak kurang memberi tempat kepada kader dan pengurus parpol yang ”berkeringat”, tetapi tidak begitu dikenal secara publik. Selain itu, sistem yang sama tidak menjanjikan hadirnya para anggota legislatif dan parlemen yang berkualitas karena kompetensi dan kapasitas menjadi nomor dua sesudah popularitas. Fenomena caleg artis pada dasarnya merefleksikan begitu buruknya kualitas parpol-parpol kita.
Sebagian besar parpol gagal menyiapkan kader mereka sebagai caleg karena sistem kaderisasi tidak berjalan, rekrutmen dan promosi kepemimpinan secara demokratis macet, dan oligarki internal tumbuh subur. Seandainya parpolparpol kita bekerja serius untuk negeri ini, sebenarnya tersedia waktu sekitar 4-5 tahun sebelum pemilu bagi parpol untuk menyiapkan kader sebagai caleg.
Fenomena umumnya parpol kita saat ini memperlihatkan, mereka terkaget-kaget memasuki tahap pencalonan legislatif sehingga proses pencalonan pun dilakukan secara ad hoc dan instan. Padahal, kerja dan rutinitas parpol sesungguhnya adalah melakukan pendidikan politik, kaderisasi, serta seleksi dan promosi kepemimpinan secara berkala.
Akibatnya, proses pencalonan diperlakukan sebagai pengumuman lowongan pekerjaan bagi siapa saja yang berminat menjadi wakil rakyat. Konsekuensi logis dari kecenderungan ini adalah berlangsungnya degradasi status wakil rakyat semata-mata sebagai lahan mencari pekerjaan. Padahal, parlemen adalah salah satu cabang utama kekuasaan pemerintahan selain lembaga eksekutif dan yudikatif.
Parlemen bukan tempat untuk mengadu nasib, mengejar status sosial, memperkaya diri, apalagi sekadar dijadikan tempat mencari pekerjaan. Lembaga parlemen seharusnya hanya berisi orang-orang ”terpanggil” yang memang layak, yakni warga negara terbaik yang tidak lagi memikirkan harta, takhta, dan status.
Hal ini meniscayakan caleg yang memiliki integritas, berperilaku yang layak diteladani, dan memahami ruang lingkup tanggung jawab sebagai wakil rakyat yang begitu besar. Sebenarnya tidak adil jika kita menyalahkan masyarakat dalam soal maraknya caleg artis. Juga tidak cukup adil bila mereka yang berprofesi sebagai artis disalahkan dalam soal ini.
Dalam realitasnya, masyarakat kita acap kali tidak mempunyai pilihan karena susunan daftar caleg di-fait accompli oleh parpol yang ”kebelet” kekuasaan. Sementara kalangan artis hanya memanfaatkan momentum ”naik status” yang ditawarkan parpol setiap menjelang pemilu. Karena itu jika parpol bekerja melakukan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala serta demokratis sebagai rutinitas keseharian selama 4-5 tahun sebelum pemilu, parpol sebenarnya tidak membutuhkan caleg artis.
Juga bila parpol tidak sekadar memburu persentase ambang batas parlemen sebagai prasyarat untuk meraih kekuasaan di lembaga legislatif. Kini fenomena caleg artis telah menjadi realitas politik bangsa kita menyongsong Pemilu 2014. Komisi Pemilihan Umum akan mengumumkan daftar caleg sementara (DCS) yang diajukan 12 parpol untuk mengisi kursi-kursi DPR dan DPRD.
Dalam jangka pendek yang bisa dilakukan publik adalah memilah dan mencermati siapa yang pantas dan tidak pantas dipilih. Namun pekerjaan rumah terbesar bangsa ini adalah bagaimana kita ”mendidik” parpol agar lebih bertanggung jawab dan tidak sekadar mengejar elektabilitas untuk meraih kekuasaan. Jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kejayaan bangsa kita, bukan untuk memperkaya diri, keluarga, dan kerabat. ●
Bagaimana kita mencerna dan memahaminya? Fenomena caleg artis sebenarnya sudah marak pada Pemilu 2009 lalu. Meskipun mereka pada umumnya populer secara publik, tidak semua caleg artis lolos menjadi legislator di DPR dan DPRD. Untuk DPR, kurang lebih 18 orang artis tenar dari parpol yang beragam berhasil menjadi anggota parlemen. Mereka terdiri atas pemain film, bintang sinetron, penyanyi, pelawak, presenter televisi, dan profesi selebritas lainnya.
Pengalaman sejak 2009 memperlihatkan tidak semua legislator artis ini bisa bekerja dan berkinerja optimal sebagai wakil rakyat yang memperoleh mandat politik melalui pemilu. Mereka secara umum sama saja dengan sebagian besar anggota DPR nonartis yang juga kinerjanya tenggelam di balik hiruk-pikuk politik dan demokrasi kita.
Namun, beberapa di antaranya, sebut saja sekadar contoh, Nurul Arifin (Partai Golkar) dan Rieke Diah Pitaloka (PDI Perjuangan), harus diakui memiliki kinerja yang baik, bahkan di atas rata-rata kinerja anggota DPR yang nonartis. Akan tetapi perlu segera dicatat pula, Nurul dan Rieke sebenarnya telah tampak perform sebelum mereka menjadi anggota parlemen.
Pertanyaannya kemudian, mengapa caleg artis marak dan apa dampaknya bagi masa depan parpol serta demokrasi kita? Sulit dimungkiri basis kompetisi dalam pemilu legislatif kita sejak 2009 adalah popularitas figur para caleg yang diajukan parpol di satu pihak dan kemampuan finansial di lain pihak. Sistem proporsional dengan daftar terbuka melalui penetapan keterpilihan atas dasar suara terbanyak memberi peluang besar bagi setiap figur tenar untuk terpilih dalam pemilu.
Sistem pemilu yang diadopsi kembali untuk Pemilu 2014 tersebut, apa boleh buat, lebih mengandalkan ketenaran belaka ketimbang kapabilitas para caleg sehingga caleg artis memperoleh peluang besar untuk meraih dukungan dan terpilih. Pemilu akhirnya menjadi ”pasar bebas” yang memungkinkan siapa saja yang populer, entah artis, keluarga pejabat tinggi, atau pesohor lainnya, untuk terpilih.
Apalagi jika para pesohor ini memiliki kemampuan finansial memadai untuk membiayai promosi diri yang cenderung makin mahal dari pemilu ke pemilu. Tidak menjadi penting apakah para caleg pesohor tersebut benar-benar memahami betapa berat tugas dan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat di parlemen.
Mekanisme suara terbanyak kurang memberi tempat kepada kader dan pengurus parpol yang ”berkeringat”, tetapi tidak begitu dikenal secara publik. Selain itu, sistem yang sama tidak menjanjikan hadirnya para anggota legislatif dan parlemen yang berkualitas karena kompetensi dan kapasitas menjadi nomor dua sesudah popularitas. Fenomena caleg artis pada dasarnya merefleksikan begitu buruknya kualitas parpol-parpol kita.
Sebagian besar parpol gagal menyiapkan kader mereka sebagai caleg karena sistem kaderisasi tidak berjalan, rekrutmen dan promosi kepemimpinan secara demokratis macet, dan oligarki internal tumbuh subur. Seandainya parpolparpol kita bekerja serius untuk negeri ini, sebenarnya tersedia waktu sekitar 4-5 tahun sebelum pemilu bagi parpol untuk menyiapkan kader sebagai caleg.
Fenomena umumnya parpol kita saat ini memperlihatkan, mereka terkaget-kaget memasuki tahap pencalonan legislatif sehingga proses pencalonan pun dilakukan secara ad hoc dan instan. Padahal, kerja dan rutinitas parpol sesungguhnya adalah melakukan pendidikan politik, kaderisasi, serta seleksi dan promosi kepemimpinan secara berkala.
Akibatnya, proses pencalonan diperlakukan sebagai pengumuman lowongan pekerjaan bagi siapa saja yang berminat menjadi wakil rakyat. Konsekuensi logis dari kecenderungan ini adalah berlangsungnya degradasi status wakil rakyat semata-mata sebagai lahan mencari pekerjaan. Padahal, parlemen adalah salah satu cabang utama kekuasaan pemerintahan selain lembaga eksekutif dan yudikatif.
Parlemen bukan tempat untuk mengadu nasib, mengejar status sosial, memperkaya diri, apalagi sekadar dijadikan tempat mencari pekerjaan. Lembaga parlemen seharusnya hanya berisi orang-orang ”terpanggil” yang memang layak, yakni warga negara terbaik yang tidak lagi memikirkan harta, takhta, dan status.
Hal ini meniscayakan caleg yang memiliki integritas, berperilaku yang layak diteladani, dan memahami ruang lingkup tanggung jawab sebagai wakil rakyat yang begitu besar. Sebenarnya tidak adil jika kita menyalahkan masyarakat dalam soal maraknya caleg artis. Juga tidak cukup adil bila mereka yang berprofesi sebagai artis disalahkan dalam soal ini.
Dalam realitasnya, masyarakat kita acap kali tidak mempunyai pilihan karena susunan daftar caleg di-fait accompli oleh parpol yang ”kebelet” kekuasaan. Sementara kalangan artis hanya memanfaatkan momentum ”naik status” yang ditawarkan parpol setiap menjelang pemilu. Karena itu jika parpol bekerja melakukan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala serta demokratis sebagai rutinitas keseharian selama 4-5 tahun sebelum pemilu, parpol sebenarnya tidak membutuhkan caleg artis.
Juga bila parpol tidak sekadar memburu persentase ambang batas parlemen sebagai prasyarat untuk meraih kekuasaan di lembaga legislatif. Kini fenomena caleg artis telah menjadi realitas politik bangsa kita menyongsong Pemilu 2014. Komisi Pemilihan Umum akan mengumumkan daftar caleg sementara (DCS) yang diajukan 12 parpol untuk mengisi kursi-kursi DPR dan DPRD.
Dalam jangka pendek yang bisa dilakukan publik adalah memilah dan mencermati siapa yang pantas dan tidak pantas dipilih. Namun pekerjaan rumah terbesar bangsa ini adalah bagaimana kita ”mendidik” parpol agar lebih bertanggung jawab dan tidak sekadar mengejar elektabilitas untuk meraih kekuasaan. Jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kejayaan bangsa kita, bukan untuk memperkaya diri, keluarga, dan kerabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar