Satu pesantren penganut tarekat di Tasikmalaya menjadi korban
penyerangan massa ormas Islam pada Sabtu (6/4) malam. Massa penyerang
menuduh pihak pesantren mengajarkan aliran sesat, padahal lembaga ini
sudah berdiri sejak era perjuangan kemerdekaan.
Pada minggu yang sama, Pemerintah Kabupaten Bekasi menutup Masjid
Al Misbah, milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Pemerintah daerah bersikukuh
bahwa eksekusi penyegelan masjid merupakan tindakan legal atas dasar SKB
Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No
11/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12/2011, dan Peraturan Wali
Kota Bekasi No 40/2011. Nasib tragis serupa telah lebih dahulu menimpa
Gereja HKBP Setu di wilayah hukum yang sama, akhir Maret. Pemda
membongkar rumah Tuhan itu dengan dalih bangunan tak mengantongi izin
mendirikan bangunan.
Pada saat bersamaan, rencana pemindahan dan pembangunan Masjid Al
Munawwar Sarulla di Tarutung, Tapanuli Utara, ditentang sekelompok
masyarakat dengan alasan adat. Proses negosiasi antara kedua pihak masih
menemui jalan buntu meskipun pimpinan HKBP, Pdt WTP Simarmata, sudah
menyatakan dukungannya. Seperti dilaporkan Aliansi Sumut Bersatu, HKBP
sudah mendesak pemerintah setempat segera mengeluarkan izin pembangunan
masjid dan syarat kelengkapan yang harus dipenuhi. Kasus serupa pernah
juga mencuat dua tahun lalu saat pembangunan Masjid Nur Musofir di
Butuplat, Kupang. Surat izin yang dikeluarkan bupati atas dasar
rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama tidak bisa diterima oleh
kelompok masyarakat setempat.
Beberapa contoh kasus di atas merefleksikan setidaknya dua masalah
serius yang kian menghantui integritas kita sebagai bangsa yang
berbineka. Pertama, menguatnya sektarianisme yang rentan dijadikan kuda
troya kepentingan ekonomi-politik para aktor lokal. Gejala ini terlihat
dari intensitas konflik antar-aliran ataupun kelompok keagamaan yang
cenderung meningkat, bahkan bereskalasi meski masih dalam rumpun tradisi
yang sama. Tentu kita masih ingat massa beringas merusak Pesantren
Masyhadul Mustatobah (Depok) dan membakar perkampungan Tarekat Tijaniah
(Sukabumi), tahun lalu. Beberapa tahun ke belakang, tuduhan aliran sesat
memakan korban Pesantren Miftahul Huda di Serang.
Saling Sandera
Pada dasarnya, ajaran pesantren korban aksi amuk massa di
Tasikmalaya itu mengikuti garis Tarekat Idrisiyyah, satu dari 40 aliran
tarekat yang diakui konsensus ulama NU (mu’tabaroh). Pendiri gerakan ini,
Syaikh Ahmad bin Idris al Fasi, dikenal sebagai tokoh neosufisme abad
ke-19. Namun, mengapa kini mereka disesatkan? Satu hal yang sulit
dipahami jika dilihat dari perspektif genealogi gerakan pembaruan sufisme
di dunia Islam, termasuk dari sisi tradisionalisme Islam. Seorang kiai
muda, pengelola salah satu pesantren di Kabupaten Tasik, meragukan
penyerangan murni disulut keberadaan ajaran tarekat itu sendiri.
Merujuk pada pandangan MUI setempat, pihak pesantren membantah
keras tuduhan sesat yang dialamatkan kepadanya dan mencurigai adanya
motif untuk menjatuhkan nama baik lembaga. Pada konteks ini, polarisasi
aliran keagamaan di tengah defisitnya budaya kewargaan menyebabkan
kegagalan proses dalam memediasi kesalahpahaman dan persaingan
kepentingan antarkelompok yang sering bermuara pada fragmentasi, friksi,
dan konflik terbuka di tingkat akar rumput.
Kedua, eskalasi konflik pendirian rumah ibadah. Hal ini disebabkan
rendahnya kesadaran hukum di masyarakat, lemahnya penegakan hukum di
kalangan aparat negara, dan substansi peraturannya sendiri. Pada banyak
kasus, SKB Tiga Menteri No 9 dan 8/2006 seakan jadi senjata legal
kelompok mayoritas untuk mempersulit, bahkan melarang, upaya pembangunan
rumah ibadah oleh kelompok agama lain yang secara politik dan sosial pada
posisi minoritas. Menarik mencermati pernyataan Imdadun Rahmat,
komisioner Komnas HAM, mengenai polemik IMB rumah ibadah. Menurutnya, 85
persen rumah ibadah di Indonesia tak punya IMB sehingga berpotensi bahkan
layak dibongkar. Jumlah masjid dan mushala merupakan mayoritas dalam
kelompok ini.
Pembongkaran gereja HKBP di Bekasi dan penolakan pembangunan masjid
di Tarutung berangkat dari logika yang sama, nalar relasi kuasa
mayoritas-minoritas yang mengonstruksi SKB Tiga Menteri tersebut.
Pertengahan tahun lalu, 20 gereja dilaporkan ditutup, bahkan terancam
dibongkar Pemerintah Singkil, Aceh, karena dianggap tak memenuhi persyaratan
administrasi IMB (Kompas, 12/6/12). Dengan argumentasi serupa, ribuan
orang dari pelbagai kelompok masyarakat membatalkan rencana pembangunan
masjid raya di Bitung, Sulawesi Utara, seperti diberitakan Suara Menado
pada pertengahan Januari lalu.
Gejala politik saling menyandera atas nama kuasa
mayoritas-minoritas ini sangat ironis mengingat tujuan awal keberadaan
SKB untuk meminimalkan munculnya konflik rumah ibadah yang dapat merusak
hubungan antarumat beragama. Pada kenyataannya, SKB Tiga Menteri menjadi
salah satu faktor pemicu terjadinya eskalasi konflik pendirian rumah
ibadah di banyak tempat.
Pembiaran upaya penyesatan ajaran aliran keagamaan dan konflik
pendirian rumah ibadah akan berpengaruh terhadap tingkat instabilitas
politik dan kerentanan konflik di ranah domestik. Berdasarkan laporan
United States Institute of Peace (2011), indeks rata-rata kerentanan
konflik Indonesia dari enam indeks yang diperbandingkan berada di zona
relatif aman (0,19). Namun, posisi ini cukup rentan karena tiga indeksnya
masih berkubang di zona tidak aman, yaitu instabilitas politik (0,63),
indikator konflik (0,53), dan negara gagal (0,48). Meskipun kekerasan dan
pelbagai konflik horizontal yang terjadi masih bersifat lokal dan
sporadis, pemerintah tak boleh mengabaikan efek eskalasinya dan semakin
merosotnya ketidakpercayaan publik kepada penegakan hukum.
Imparsialitas Negara
Ada dua langkah yang harus diambil pemerintah secara konsisten
untuk mencegah memburuknya indeks instabilitas politik dan indikator
konflik. Pertama, melembagakan nilai-nilai kewargaan dalam budaya
bermasyarakat, terutama di lingkungan komunitas sosial dan keagamaan.
Menguatnya identitas keagamaan di ruang publik belakangan ini jangan
sampai berkorelasi negatif dengan budaya kewargaan. Kedua, mengevaluasi
total efektivitas dan kemanfaatan produk regulasi yang mengatur hubungan
antarumat beragama, khususnya SKB Tiga Menteri terkait pendirian rumah
ibadah dan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Hubungan tak sehat antara
pemerintah dan institusi keagamaan, termasuk kelompok paramiliter, akan
mencederai prinsip imparsialitas negara dalam penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar