Senin, 29 April 2013

Negara Masih Rentan


Negara Masih Rentan
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Insitute for Culture and Humanity
KOMPAS, 27 April 2013


Satu pesantren penganut tarekat di Tasikmalaya menjadi korban penyerangan massa ormas Islam pada Sabtu (6/4) malam. Massa penyerang menuduh pihak pesantren mengajarkan aliran sesat, padahal lembaga ini sudah berdiri sejak era perjuangan kemerdekaan.

Pada minggu yang sama, Pemerintah Kabupaten Bekasi menutup Masjid Al Misbah, milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Pemerintah daerah bersikukuh bahwa eksekusi penyegelan masjid merupakan tindakan legal atas dasar SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 11/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12/2011, dan Peraturan Wali Kota Bekasi No 40/2011. Nasib tragis serupa telah lebih dahulu menimpa Gereja HKBP Setu di wilayah hukum yang sama, akhir Maret. Pemda membongkar rumah Tuhan itu dengan dalih bangunan tak mengantongi izin mendirikan bangunan.

Pada saat bersamaan, rencana pemindahan dan pembangunan Masjid Al Munawwar Sarulla di Tarutung, Tapanuli Utara, ditentang sekelompok masyarakat dengan alasan adat. Proses negosiasi antara kedua pihak masih menemui jalan buntu meskipun pimpinan HKBP, Pdt WTP Simarmata, sudah menyatakan dukungannya. Seperti dilaporkan Aliansi Sumut Bersatu, HKBP sudah mendesak pemerintah setempat segera mengeluarkan izin pembangunan masjid dan syarat kelengkapan yang harus dipenuhi. Kasus serupa pernah juga mencuat dua tahun lalu saat pembangunan Masjid Nur Musofir di Butuplat, Kupang. Surat izin yang dikeluarkan bupati atas dasar rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama tidak bisa diterima oleh kelompok masyarakat setempat.

Beberapa contoh kasus di atas merefleksikan setidaknya dua masalah serius yang kian menghantui integritas kita sebagai bangsa yang berbineka. Pertama, menguatnya sektarianisme yang rentan dijadikan kuda troya kepentingan ekonomi-politik para aktor lokal. Gejala ini terlihat dari intensitas konflik antar-aliran ataupun kelompok keagamaan yang cenderung meningkat, bahkan bereskalasi meski masih dalam rumpun tradisi yang sama. Tentu kita masih ingat massa beringas merusak Pesantren Masyhadul Mustatobah (Depok) dan membakar perkampungan Tarekat Tijaniah (Sukabumi), tahun lalu. Beberapa tahun ke belakang, tuduhan aliran sesat memakan korban Pesantren Miftahul Huda di Serang.

Saling Sandera

Pada dasarnya, ajaran pesantren korban aksi amuk massa di Tasikmalaya itu mengikuti garis Tarekat Idrisiyyah, satu dari 40 aliran tarekat yang diakui konsensus ulama NU (mu’tabaroh). Pendiri gerakan ini, Syaikh Ahmad bin Idris al Fasi, dikenal sebagai tokoh neosufisme abad ke-19. Namun, mengapa kini mereka disesatkan? Satu hal yang sulit dipahami jika dilihat dari perspektif genealogi gerakan pembaruan sufisme di dunia Islam, termasuk dari sisi tradisionalisme Islam. Seorang kiai muda, pengelola salah satu pesantren di Kabupaten Tasik, meragukan penyerangan murni disulut keberadaan ajaran tarekat itu sendiri.

Merujuk pada pandangan MUI setempat, pihak pesantren membantah keras tuduhan sesat yang dialamatkan kepadanya dan mencurigai adanya motif untuk menjatuhkan nama baik lembaga. Pada konteks ini, polarisasi aliran keagamaan di tengah defisitnya budaya kewargaan menyebabkan kegagalan proses dalam memediasi kesalahpahaman dan persaingan kepentingan antarkelompok yang sering bermuara pada fragmentasi, friksi, dan konflik terbuka di tingkat akar rumput.

Kedua, eskalasi konflik pendirian rumah ibadah. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran hukum di masyarakat, lemahnya penegakan hukum di kalangan aparat negara, dan substansi peraturannya sendiri. Pada banyak kasus, SKB Tiga Menteri No 9 dan 8/2006 seakan jadi senjata legal kelompok mayoritas untuk mempersulit, bahkan melarang, upaya pembangunan rumah ibadah oleh kelompok agama lain yang secara politik dan sosial pada posisi minoritas. Menarik mencermati pernyataan Imdadun Rahmat, komisioner Komnas HAM, mengenai polemik IMB rumah ibadah. Menurutnya, 85 persen rumah ibadah di Indonesia tak punya IMB sehingga berpotensi bahkan layak dibongkar. Jumlah masjid dan mushala merupakan mayoritas dalam kelompok ini.

Pembongkaran gereja HKBP di Bekasi dan penolakan pembangunan masjid di Tarutung berangkat dari logika yang sama, nalar relasi kuasa mayoritas-minoritas yang mengonstruksi SKB Tiga Menteri tersebut. Pertengahan tahun lalu, 20 gereja dilaporkan ditutup, bahkan terancam dibongkar Pemerintah Singkil, Aceh, karena dianggap tak memenuhi persyaratan administrasi IMB (Kompas, 12/6/12). Dengan argumentasi serupa, ribuan orang dari pelbagai kelompok masyarakat membatalkan rencana pembangunan masjid raya di Bitung, Sulawesi Utara, seperti diberitakan Suara Menado pada pertengahan Januari lalu.

Gejala politik saling menyandera atas nama kuasa mayoritas-minoritas ini sangat ironis mengingat tujuan awal keberadaan SKB untuk meminimalkan munculnya konflik rumah ibadah yang dapat merusak hubungan antarumat beragama. Pada kenyataannya, SKB Tiga Menteri menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya eskalasi konflik pendirian rumah ibadah di banyak tempat.

Pembiaran upaya penyesatan ajaran aliran keagamaan dan konflik pendirian rumah ibadah akan berpengaruh terhadap tingkat instabilitas politik dan kerentanan konflik di ranah domestik. Berdasarkan laporan United States Institute of Peace (2011), indeks rata-rata kerentanan konflik Indonesia dari enam indeks yang diperbandingkan berada di zona relatif aman (0,19). Namun, posisi ini cukup rentan karena tiga indeksnya masih berkubang di zona tidak aman, yaitu instabilitas politik (0,63), indikator konflik (0,53), dan negara gagal (0,48). Meskipun kekerasan dan pelbagai konflik horizontal yang terjadi masih bersifat lokal dan sporadis, pemerintah tak boleh mengabaikan efek eskalasinya dan semakin merosotnya ketidakpercayaan publik kepada penegakan hukum.

Imparsialitas Negara

Ada dua langkah yang harus diambil pemerintah secara konsisten untuk mencegah memburuknya indeks instabilitas politik dan indikator konflik. Pertama, melembagakan nilai-nilai kewargaan dalam budaya bermasyarakat, terutama di lingkungan komunitas sosial dan keagamaan. Menguatnya identitas keagamaan di ruang publik belakangan ini jangan sampai berkorelasi negatif dengan budaya kewargaan. Kedua, mengevaluasi total efektivitas dan kemanfaatan produk regulasi yang mengatur hubungan antarumat beragama, khususnya SKB Tiga Menteri terkait pendirian rumah ibadah dan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Hubungan tak sehat antara pemerintah dan institusi keagamaan, termasuk kelompok paramiliter, akan mencederai prinsip imparsialitas negara dalam penegakan hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar