Ada kebanggaan ketika mendengar pertumbuhan ekonomi
Indonesia mendapatkan peringkat ketiga tertinggi di Asia. Namun, sedih
dan kecewa ketika mendengar salah satu stasiun televisi dari Qatar, yakni
Al-Jazeera (26/02/2013) dalam reportase khusus "101 East"
memotret buramnya dunia pendidikan Indonesia. Diungkapkan, sistem
pendidikan di Indonesia merupakan salah satu sistem pendidikan yang buruk
di dunia. Lalu, apa gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi
pendidikannya buruk? Sungguh ironis!
Al Jazeera menyebut, belum
lama ini Indonesia berada pada peringkat akhir dalam peningkatan taraf
pendidikan yang menghitung tingkat literasi, hasil ujian, tingkat
kelulusan dan parameter kunci lainnya dari 50 negara. Selain itu, hanya
dari 57 juta anak usia sekolah di Indonesia, yang menyelesaikan jenjang
pendidikan dasar.
Selain itu, setengah dari
jumlah guru di Indonesia tidak memiliki kualifikasi layak untuk mengajar.
Banyak pula bukti lainnya seperti ratusan ribu sekolah rusak, sistem yang
belum menentu, terlihat dari seringnya pergantian kurikulum karena tidak
matang. Belum lagi, persebaran guru yang tidak merata di seluruh penjuru
Nusantara, dan masih diperparah dengan wabah korupsi di mana-mana bahkan
dalam dunia pendidikan.
Banyak kasus tentang
penyuapan orangtua kepada sekolah supaya anak-anak mereka lulus tes
masuk. Begitupun terjadi di perguruan tinggi, banyak calon mahasiswa rela
merogoh uang orangtuanya hingga puluhan juta rupiah demi lolos seleksi.
Ini bisa dibuktikan dari catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa
hanya sedikit sekolah yang bersih dari korupsi, dengan 40 persen biaya
operasional sekolah yang seharusnya menjadi jatah mereka,
"disunat" sebelum sampai ke ruang kelas.
Para pakar pendidikan
menilai rusaknya pendidikan dikarenakan hilangnya karakter bangsa. Juga
ada yang berpendapat karena sistem pendidikan di Indonesia masih
mementingkan hafalan daripada berfikir kreatif, sehingga para siswa
layaknya menjadi penumpang dalam kendaraan yang tidak bisa mengendalikan
arah kendaraan sesuai keinginan (bakatnya). Para siswa selalu diam
mengikuti arah dari si pengendara, bukan mengusahakan agar seluruh siswa
pun mampu mengendarai kendaraan tersebut. Sehingga, memunculkan nalar
kreativitas yang tinggi dan berpikir kritis terhadap sebuah kejadian.
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) pun menyusun strategi dan solusi untuk
permasalahan pendidikan. Salah satunya dengan meluncurkan kurikulum baru,
yang menimbulkan kontroversi itu. Banyak yang menilai Kurikulum 2013 ,
serta terkesan tergesa-gesa untuk menjalankannya tanpa melakukan
penggodogan yang lebih matang. Seakan proyek kurikulum ini diboncengi
dengan kepentingan-kepentingan lain.
Solusi Kemendikbud dengan
meluncurkan Kurikulum 2013 terlalu cepat dan terlihat dipaksakan.
Revolusi dalam pendidikan Indonesia memang sudah seharusnya terjadi.
Namun, butuh waktu yang tidak sebentar, bukan hanya 2-3 tahun, bahkan
bisa bertahun-tahun. Karena, kondisi buruk pendidikan Indonesia bukan
hanya terletak pada sistem saja (kurikulum), namun pemerataan
infrastuktur dan sumber daya manusia (SDM) sekolah pun lebih penting
untuk dicarikan solusi.
Apakah ada hubungannya
dengan tahun 2014, tahun yang penuh dengan gejolak politik dan kekuasaan
sehingga kurikulum ini harus segera diluncurkan. Mendudukkan pendidikan
itu seharusnya dalam konteks yang independen, tidak boleh ditarik dalam
ranah politik. Membenahi kondisi pendidikan haruslah bertahap, bukan
malah mengganti dengan yang baru.
Terlihat jelas sekali setiap
adanya pemerintahan yang baru maka muncul kurikulum baru. Bagaimana kita
bisa menilai perbaikan jika selalu berganti sistemnya. Ini menandakan
sistem pemerintahan Indonesia masih diwarnai 'haus kekuasaan'.
Jika demikian, pendidikan
berada pada lingkaran setan yang tak kunjung berhenti, tidak menemui
titik terang. Pendidikan Indonesia tersandra dalam politisasi pendidikan
dan tidak lagi independen dalam menjalankannya. Pendidikan menjadi
bermakna lain ketika motor penggeraknya bukan pelaku pendidikan sendiri.
Pendidikan yang disandra politik, tidak akan pernah muncul solusi
terbaik. Apalagi, ketika banyak terungkap kasus korupsi dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan layaknya nafas
bagi kehidupan manusia. Apa pun yang terhirup itu yang akan masuk dan
meresap dalam tubuh. Menghirup udara segar akan menyehatkan tubuh, namun
menghirup udara kotor akan membuat sistem dalam tubuh tercemar, bahkan
susah untuk bernafas.
Jika dunia pendidikan di
Indonesia masih dalam lingkaran setan, diwarnai dengan
kepentingan-kepentingan, tak heran kalau Indonesia menjadi negara paling
buruk dalam pendidikannya. Kini, saatnya memutus lingkaran setan ini.
Harus ada yang berani menghentikan jalan melingkar terus menerus ini,
mengembalikan ruh pendidikan dalam jalan yang lurus dan terarah.
Mencerdaskan bangsa, menciptakan generasi berakhlak karimah, kreatif dan
mandiri. Karena itu, perlu revolusi pendidikan, semua tarikan-tarikan
politik yang sarat dengan kepentingan harus segera dihentikan. Entah
dalam ranah pemerintah maupun sekolah.
Kesadaran melakukan
pemutusan awal adalah dari sekolah. Karena, dari sanalah anak-anak
Indonesia belajar, mencari ilmu, mengukir cita-cita. Saatnya sekolah
memberikan sistem yang baik dan sehat. Apa pun yang dilakukan pemerintah
terkait akan adanya kurikulum baru atau peraturan baru tetaplah kembali
pada visi dan misi sekolah.
Kebijakan perintah jangan
menjadikan sekolah kebingungan. Bawalah kebijakan tersebut dalam visi dan
misi yang ada. Dalam ilmu manajemen pendidikan, sekolah memiliki hak
untuk mengatur segala elemen yang berhubungan dengannya, baik dari sisi
internal maupun eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar