Senin, 29 April 2013

Revolusi Pendidikan


Revolusi Pendidikan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
SUARA KARYA, 27 April 2013


Ada kebanggaan ketika mendengar pertumbuhan ekonomi Indonesia mendapatkan peringkat ketiga tertinggi di Asia. Namun, sedih dan kecewa ketika mendengar salah satu stasiun televisi dari Qatar, yakni Al-Jazeera (26/02/2013) dalam reportase khusus "101 East" memotret buramnya dunia pendidikan Indonesia. Diungkapkan, sistem pendidikan di Indonesia merupakan salah satu sistem pendidikan yang buruk di dunia. Lalu, apa gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi pendidikannya buruk? Sungguh ironis!

Al Jazeera menyebut, belum lama ini Indonesia berada pada peringkat akhir dalam peningkatan taraf pendidikan yang menghitung tingkat literasi, hasil ujian, tingkat kelulusan dan parameter kunci lainnya dari 50 negara. Selain itu, hanya dari 57 juta anak usia sekolah di Indonesia, yang menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.

Selain itu, setengah dari jumlah guru di Indonesia tidak memiliki kualifikasi layak untuk mengajar. Banyak pula bukti lainnya seperti ratusan ribu sekolah rusak, sistem yang belum menentu, terlihat dari seringnya pergantian kurikulum karena tidak matang. Belum lagi, persebaran guru yang tidak merata di seluruh penjuru Nusantara, dan masih diperparah dengan wabah korupsi di mana-mana bahkan dalam dunia pendidikan.

Banyak kasus tentang penyuapan orangtua kepada sekolah supaya anak-anak mereka lulus tes masuk. Begitupun terjadi di perguruan tinggi, banyak calon mahasiswa rela merogoh uang orangtuanya hingga puluhan juta rupiah demi lolos seleksi. Ini bisa dibuktikan dari catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa hanya sedikit sekolah yang bersih dari korupsi, dengan 40 persen biaya operasional sekolah yang seharusnya menjadi jatah mereka, "disunat" sebelum sampai ke ruang kelas.

Para pakar pendidikan menilai rusaknya pendidikan dikarenakan hilangnya karakter bangsa. Juga ada yang berpendapat karena sistem pendidikan di Indonesia masih mementingkan hafalan daripada berfikir kreatif, sehingga para siswa layaknya menjadi penumpang dalam kendaraan yang tidak bisa mengendalikan arah kendaraan sesuai keinginan (bakatnya). Para siswa selalu diam mengikuti arah dari si pengendara, bukan mengusahakan agar seluruh siswa pun mampu mengendarai kendaraan tersebut. Sehingga, memunculkan nalar kreativitas yang tinggi dan berpikir kritis terhadap sebuah kejadian.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun menyusun strategi dan solusi untuk permasalahan pendidikan. Salah satunya dengan meluncurkan kurikulum baru, yang menimbulkan kontroversi itu. Banyak yang menilai Kurikulum 2013 , serta terkesan tergesa-gesa untuk menjalankannya tanpa melakukan penggodogan yang lebih matang. Seakan proyek kurikulum ini diboncengi dengan kepentingan-kepentingan lain.

Solusi Kemendikbud dengan meluncurkan Kurikulum 2013 terlalu cepat dan terlihat dipaksakan. Revolusi dalam pendidikan Indonesia memang sudah seharusnya terjadi. Namun, butuh waktu yang tidak sebentar, bukan hanya 2-3 tahun, bahkan bisa bertahun-tahun. Karena, kondisi buruk pendidikan Indonesia bukan hanya terletak pada sistem saja (kurikulum), namun pemerataan infrastuktur dan sumber daya manusia (SDM) sekolah pun lebih penting untuk dicarikan solusi.

Apakah ada hubungannya dengan tahun 2014, tahun yang penuh dengan gejolak politik dan kekuasaan sehingga kurikulum ini harus segera diluncurkan. Mendudukkan pendidikan itu seharusnya dalam konteks yang independen, tidak boleh ditarik dalam ranah politik. Membenahi kondisi pendidikan haruslah bertahap, bukan malah mengganti dengan yang baru.

Terlihat jelas sekali setiap adanya pemerintahan yang baru maka muncul kurikulum baru. Bagaimana kita bisa menilai perbaikan jika selalu berganti sistemnya. Ini menandakan sistem pemerintahan Indonesia masih diwarnai 'haus kekuasaan'.

Jika demikian, pendidikan berada pada lingkaran setan yang tak kunjung berhenti, tidak menemui titik terang. Pendidikan Indonesia tersandra dalam politisasi pendidikan dan tidak lagi independen dalam menjalankannya. Pendidikan menjadi bermakna lain ketika motor penggeraknya bukan pelaku pendidikan sendiri. Pendidikan yang disandra politik, tidak akan pernah muncul solusi terbaik. Apalagi, ketika banyak terungkap kasus korupsi dalam dunia pendidikan.

Pendidikan layaknya nafas bagi kehidupan manusia. Apa pun yang terhirup itu yang akan masuk dan meresap dalam tubuh. Menghirup udara segar akan menyehatkan tubuh, namun menghirup udara kotor akan membuat sistem dalam tubuh tercemar, bahkan susah untuk bernafas.

Jika dunia pendidikan di Indonesia masih dalam lingkaran setan, diwarnai dengan kepentingan-kepentingan, tak heran kalau Indonesia menjadi negara paling buruk dalam pendidikannya. Kini, saatnya memutus lingkaran setan ini. Harus ada yang berani menghentikan jalan melingkar terus menerus ini, mengembalikan ruh pendidikan dalam jalan yang lurus dan terarah. Mencerdaskan bangsa, menciptakan generasi berakhlak karimah, kreatif dan mandiri. Karena itu, perlu revolusi pendidikan, semua tarikan-tarikan politik yang sarat dengan kepentingan harus segera dihentikan. Entah dalam ranah pemerintah maupun sekolah.

Kesadaran melakukan pemutusan awal adalah dari sekolah. Karena, dari sanalah anak-anak Indonesia belajar, mencari ilmu, mengukir cita-cita. Saatnya sekolah memberikan sistem yang baik dan sehat. Apa pun yang dilakukan pemerintah terkait akan adanya kurikulum baru atau peraturan baru tetaplah kembali pada visi dan misi sekolah.

Kebijakan perintah jangan menjadikan sekolah kebingungan. Bawalah kebijakan tersebut dalam visi dan misi yang ada. Dalam ilmu manajemen pendidikan, sekolah memiliki hak untuk mengatur segala elemen yang berhubungan dengannya, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar