Pada akhir 2010, sejumlah negara
di kawasan Arab dan Afrika Utara mengalami goncangan politik yang hebat.
Konfl ik politik yang bermula dari Tunisia ters but tidak hanya menjalar
ke negara-negara yang mengandalkan penerimaan negara dari sektor
nonmigas, seperti Mesir, Yordania, Libanon, dan Suriah, tetapi juga
menimpa negara-negara yang kaya minyak, semisal, Bahrain, Libya, dan Arab
Saudi.
Aksi protes masyarakat
berskala besar tersebut bahkan mampu menggulingkan sejumlah rezim
sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya. Sementara, sejumlah
rezim di Yaman, Suriah, Bahrain, dan Yordania masih terus bertahan sambil
melakukan reformasi sejumlah kebijakan yang dipandang mampu meredakan
ketegangan publik.
Fenomena Arab spring yang telah
berjalan dua tahun ini kembali menimbulkan pertanyaan dasar mengenai apa
faktor penyebabnya, apa dampaknya, dan apa pelajaran yang bisa di ambil
oleh Indonesia? Pertama-tama, harus dibedakan antara Arab spring dalam bentuk kebangkitan (uprising)
masyarakat secara spontan, seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir,
dengan pemberontakan yang telah direncanakan (pre-plan armed insurrection), seperti yang terjadi di Libya
dan Suriah, saat ini.
Yang pertama adalah karena
kekecewaan publik terhadap pemerintah yang dianggap gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara, di saat yang sama, para penguasa
di negara-negara tersebut mempertontonkan kemewahan yang diperoleh dari
korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan peman faatan jabatan. Maka
kemudian timbullah gerakan uprising.
Yang kedua adalah karena sisi emosional adanya kompleksitas primordial
yang amat kental, baik dari sisi antropologis, etnologis, sosiologis, dan
teologis dari para aktor yang berinteraksi di kawasan tersebut. Hal ini
melahirkan rasionalitas geopolitik dan perebutan lingkung pengaruh (sphere of influence)
antara Amerika Serikat dan Rusia dalam bentuk kompleksitas
politik-historis yang dalam.
Jazirah Arab dengan segala
predikat yang melekat padanya telah menjadi salah satu kawasan yang
senantiasa diwarnai oleh ajang pertarungan kepentingan global yang
kompleks dengan intensitas emosi yang dalam. Konflik politik yang melanda
sejumlah negara di kawasan ini secara hampir serentak tentu akan
menimbulkan dampak politik dan ekonomi.
Dari sisi ekonomi domestik,
misalnya, konsumsi masyarakat akan menurun akibat terhentinya berbagai
kegiatan ekonomi. Demikian juga dengan kinerja ekonomi internasionalnya,
baik untuk ekspor maupun investasi, juga terpangkas.
Selanjutnya, negara-negara di
kawasan mengalami tiga tekanan sekaligus, yakni tekanan politik, kenaikan
harga pangan, dan energi. Hal tersebut memaksa pemerintah di kawasan
untuk meningkatkan subsidi pangan dan energi akibat tingginya harga kedua
komoditas tersebut.
Selain itu, untuk meredam
tekanan publik terhadap pemerintah yang berkuasa, sejumlah dana belanja
fiskal digelontorkan. Akibatnya, defisit fiskal di negara-negara tersebut
makin lebar. Pada 2010, defisit anggaran di negara-negara importir minyak
di kawasan tersebut mencapai enam sampai tujuh persen dari PDB.
Penerbitan obligasi dan permintaan bantuan uang kepada IMF dan sejumlah
negara-negara donor menjadi pilihan untuk menambal defi sit tersebut.
Akibatnya, utang negara-negara di kawasan makin membengkak serta menjadi
beban berat dan sulit lepas dari tekanan kreditor asing.
Petik Hikmah
Peristiwa Arab spring setidaknya memberikan
tiga hikmah bagi Indonesia.
Pertama, validitas aksioma di dalam politik transaksional bahwa tidak ada
teman yang abadi, yang ada adalah ke- pentingan yang abadi. Dalam kasus
Libya dan Suriah, sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat
bersama sekutu terdekatnya, Arab Saudi dan Qatar, membiayai, melatih, dan
mempersenjatai para pemberontak.
Politik luar negeri Indonesia
yang bebas dan aktif perlu melihat secara cermat dan komprehensif akan
fenomena proxy war ini.
Keputusan Liga Arab yang memberi hak anggotanya untuk memasok senjata ke
kubu oposisi Suriah, misalnya, harus dikaji apabila Indonesia diminta
untuk bersikap. Hal ini krusial agar posisi atau dukungan tersebut tidak
menjadi "senjata makan tuan" yang digunakan negara-negara lain
untuk mencampuri dinamika politik dalam negeri.
Kedua, perkembangan politik
yang tidak mengartikulasikan aspirasi politik dari masyarakat, seperti
ditegakkannya demokrasi, keterbukaan, keadilan sosial, dan pemerataan
ekonomi akan membuat goncangan politik yang dahsyat. Hikmah ini perlu
ditangkap secara cepat oleh pemerintah agar konflik di Jazirah Arab tidak
terjadi di Tanah Air.
Ketiga, perlu dilakukan
antisipasi terhadap lonjakan harga minyak akibat konflik berkepanjangan
di kawasan itu. Lonjakan harga minyak yang menuju 100 dolar AS per
barel secara global akan melemahkan daya beli konsumen dan pendapatan
perusa ha an anjlok. Bagi Indonesia yang kini sudah menjadi
pengimpor minyak, pengaruhnya sangat signifikan terhadap APBN. Harga
minyak yang menembus 100 dolar AS per barel secara langsung juga akan
meningkatkan biaya produksi dan jasa serta beban hidup masyarakat dan pada
akhirnya akan memperlemah pertum- buhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar