|
REPUBLIKA, 29 April 2013
Jumat, 26 April 2013, umat Islam
Indonesia ditinggalkan salah seorang dai yang memiliki penampilan khas dengan
dakwah melalui potensi budaya masyarakatnya. Dakwah yang begitu santun
sekaligus mengakar pada umat dan jamaahnya. Dialah al-Ustaz Jefri al-Buchori.
Berpulangnya ustaz yang akrab
disapa Uje, insya Allah tidak akan meredupkan tumbuh dan kembang dakwah gaya
baru yang sering disebut "dakwatainment", yakni dakwah yang menghibur,
mendamaikan hati, dan meringankan beban hidup. Setelah ini, diharapkan akan
terus lahir "Uje-Uje" dengan lahirnya fikih dakwah baru.
Sejak era 2000-an Uje memang menjadi
fenomena, khususnya di dunia dakwah. Dakwah santun serta menghibur membuatnya
digemari oleh generasi muda. Beliau menggandeng artis-artis Muslim untuk ikut
serta membumikan Islam di kalangan muda dengan bahasa anak muda.
Pada era 2000-an, tepatnya pada
akhir 2000 dan awal 2001, Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir di Denpasar Bali
melahirkan gagasan dan konsep dakwah kultural. Metode ini menjadi upaya
mengembangkan jaringan dan pendekatan dakwah yang akan menjadi langkah dakwah
Muhammadiyah. Sebenarnya, di era itu pula lahir sosok dai yang bisa dikatakan
sebagai the real dakwah kultural.
Muhammadiyah menyadari bahwa perkembangan
masyarakat dengan segala potensi budaya dan kulturalnya, terlebih pada era
multikultural, memerlukan berbagai pendekatan dakwah Islam. Artinya, dakwah
Islam di samping harus selalu berpegang teguh kepada Alquran dan sunah,
diorganisasikan dengan organisasi yang rapi dan tertib, juga harus disertai
usaha yang sungguh-sungguh untuk mengenal masyarakat dakwah. Karena, dengan
mengenal karakter dan potensi yang ada pada masyarakat dakwah Muhammadiyah akan
dapat menyentuh semua lapisan umat dan masyarakat.
Ustaz Jefri lahir dari keluarga
yang memiliki komitmen kuat terhadap agama. Neneknya seorang kiai, ibunya seorang
mubaligah, begitupun kakaknya, seorang dai yang banyak memberikan tausiyah
kepada umat Islam. Uje lahir menjadi sosok dai atau mubaligh yang ditempa tidak
saja oleh ilmunya dari keluarga dan pesantren, tetapi juga oleh pengalaman dan
dinamika hidup sebagai seorang praktisi seni peran, bahkan pernah terperosok ke
dunia kelam narkoba.
Namun, Allah telah mengangkat semua
dinamika dan lika-liku pengalaman hidup itu menjadi potensi yang luar biasa
dalam dakwah untuk menebarkan Islam di semua kalangan. Pengalaman hidup Uje
dengan segala dinamikanya seolah menjadi inspirator bagi Uje sendiri untuk
melahirkan langkah konkret dakwah kultural dalam arti yang sebenarnya.
Gagasan organisasional dakwah kultural
yang dilahirkan oleh Muhammadiyah agaknya memperoleh bentuk konkret dalam sosok
Uje. Artinya, kalau dai-dai seperti Uje ini dihimpun dalam jaringan organisasi
dan manajemen yang rapi, kemudian satu sama lain bahu-membahu, tentu akan
menjadi kekuatan untuk menghadirkan Islam yang lebih kompatibel bagi bangsa
Indonesia. Mungkin, praktiknya bisa dengan berbagi tugas dan peran sesuai
dengan potensi masing-masing. Tapi, selalu ada komunikasi dan koordinasi
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan konflik internal.
Fikih Dakwah Baru
Agaknya, perlu segera dilahirkan
fikih dakwah dan tabligh baru yang sesuai dengan perkembangan masya rakat yang
makin kompleks. Fikih baru itu bukan untuk mengubah manhaj (kaidah) dan mabda
(prinsip) dakwah Islam, melainkan untuk mengembangkan pendekatan dan memperluas
jaringan dakwah.
Uje bisa menjadi inspirator bagi pengembangan
fikih dakwah baru, khususnya dalam dalam bidang tariqah (metode dan pendekatan) dan uslub (gaya dan model) dakwah, dengan lebih memperhatikan potensi
dan budaya yang dimiliki oleh sasaran dakwah. disamping itu, diperlukan
perluasan jaringan dakwah dan itulah yang disebut dengan dakwah kultural.
Dalam dakwah kultural ala Uje,
seorang dai telah melihat potensi anak muda dengan segala minat dan bakat. Dengan
menyelami minat, bakat, dan potensinya, Uje bisa melaksanakan dakwah dengan
bergaul dan bergumul dengan mereka tanpa jarak, sehingga pesan-pesan Islam
benar-benar dapat diterima mereka dengan hati terbuka. Ini tentu dapat
diterapkan oleh para dai yang lain yang memiliki sasaran dakwah yang berbeda,
misalnya, masyarakat petani di pedesaan atau anak jalanan dan sebagainya.
Seorang dai dapat menyelami segala relung kehidupan dengan segala potensi,
minat, dan bakat yang dimiliki masyarakat.
Kalau dalam riset ada sebutan riset
aksi partisipatori, dakwah pun dapat dikembangkan menjadi dakwah partisipatori.
Maka, dai sekaligus seorang peneliti yang hasil penelitiannya dapat digunakan
untuk merancang tindakan nyata dakwah. Dan, ini sebenarnya telah menjadi
istilah lama dalam dunia dakwah, yakni dakwah bil hal atau lebih tepatnya dakwah bi lisanil hal. Selamat jalan sang ma estro dakwah gaul. Meskipun
jasadmu telah terkubur, gema dakwahmu akan tetap hidup. Nasrun minallah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar