|
KOMPAS, 28 April 2013
Selasa,
tanggal 9 April, saya diundang makan siang oleh Datuk Rais Yatim, Menteri
Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia. Kami makan lauk-pauk Melayu
dan ditutup teh tarik serta kue lupis. Undangan ini bukanlah bicara politik,
melainkan bicara sesuatu yang menjadi minat kami berdua, yakni pantun di
khazanah Melayu Nusantara. Harap mafhum, menteri yang dikenal dengan panggilan
D’ Sury ini baru saja meluncurkan buku pantun bertajuk ”Pantun dan Bahasa Indah”.
Obrolan
ini berujung pada kekhawatiran akan hilangnya daya hidup pantun dan maestro
pantun yang kini telah berusia lanjut. Padahal, pantun adalah salah satu puncak
budaya bahasa yang menjadi bagian dari tradisi tutur yang sangat penting. Simak
pantun Menteri Jiran di bawah ini.
Orang Perak memasak inti
Diolah Inti dalam gandum
Ramai pihak tidak mengerti
Bahasa adalah kunci tamadun
Pantun
sebagai bahasa tutur sesungguhnya mensyaratkan bahwa menjadi penutur di
masyarakat tidaklah gampang, tidak saja hanya terampil berkomunikasi, tetapi
juga berbahasa, beretika, berfilsafat hingga memahami sejarah dan ruang sosial
politik masyarakat.
Pantun
pada masanya, layaknya berita televisi, digunakan untuk menuturkan peristiwa,
sejarah, pengumuman hingga tontonan serta upacara-upacara. Lebih jauh lagi,
menuturkan alam, tata ruang maupun kebiasaan hidup masyarakat.
Namun,
apakah yang terjadi dengan penutur sastra rakyat elektronik abad ini, baik itu
lewat sinetron, hiburan hingga berita?
Para
bijak pandai komunikasi berujar bahwa tekanan industri teknokapitalis berdampak
dua wajah. Di satu sisi, bagi bangsa beradab, para penutur teknokapitalis
disyaratkan memahami beragam etika, baik kode etik perlindungan anak, konsumen
hingga jurnalistik. Alhasil, meski kompetisi serba massal, atas nama gaul dan
selera, tetap dijaga berbasis etika komunikasi.
Kondisi
ini akan melahirkan bisnis industri kreatif dengan kompetisi sehat, daya hidup
tangguh dan panjang, masyarakat sipil kritis serta produktif. Pada puncaknya,
bertumbuh ruang publik tontonan dan komunikasi yang beragam, memenuhi
keberagaman masyarakat serta tuntutan kritis keluarga-keluarga. Yakni, seni
tutur sebagai bagian pertumbuhan daya selera rasa dan karsa anggota keluarga.
Haruslah dicatat, kualitas ruang publik tontonan dan komunikasi adalah cermin
kualitas politik itu sendiri.
Di
sisi lain, bangsa yang kalah dan menjadi pengonsumsi terbesar teknokapitalis
industri, hanya mengelola budaya tutur elektronik dalam jargon pameran
perhatian, atas nama ”gaul dan selera pasar” , tetapi abai pada falsafah dan
etika tutur termasuk profesionalismenya. Maka, segalanya lalu digampangkan,
vulgar, serba kemasan, kekerasan serta cepat jenuh dan hilang. Bahkan tumbuh
menjadi bangsa yang tidak percaya kebersahajaan serta profesionalisme. Pada
gilirannya melahirkan masyarakat konsumtif dan kehilangan panduan nilai kritis,
cerminan situasi politiknya. Simak berita televisi kita, sungguh di luar etika,
hampir 95 persen adalah kekerasan baik fisik atau simbolik.
Alhasil,
pasar tidak dimuliakan, tetapi dilecehkan dan bisa jadi tumbuh menjadi bangsa
yang dilecehkan.
Sewaktu
pulang, di lorong kantor Dr Rais Yatim, saya masih sempat baca sebuah pantun
yang ditulisnya di dinding lorong.
Rotan siput rotan belingkar
Anak itik patah kakinya
Hujan ribut gunung terbakar
Embun setitik padam apinya
Bukankah komunikasi tutur
sosial politik kita tak lebih ”hujan
ribut gunung terbakar”? Di manakah ”embunnya”? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar