|
KOMPAS, 29 April 2013
Indonesia
sangat ”kecanduan” dengan penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi.
Pengalihan
BBM ke energi alternatif sangat sulit, bahkan tidak mungkin terjadi meskipun
telah banyak penelitian tentang energi alternatif oleh institusi-institusi di
Indonesia. Saat terjebak macet di Yogyakarta, Bandung, atau saat duduk menunggu
di Bandara Soekarno-Hatta, keadaan ini mengingatkan kita akan ”kecanduan”
masyarakat Indonesia pada BBM. Penggunaan yang berlebihan ini tidak sebanding
dengan perkembangan penemuan energi alternatif yang berjalan lambat.
Subsidi
Produsen
”Kecanduan”
ini juga tampak sangat jelas pada subsidi BBM konsumen (lebih dari 10 persen
GDP negara saat ini), di mana sebagian besar permasalahan yang timbul dimulai
dari subsidi BBM produsen. Subsidi BBM produsen bukanlah istilah yang umum
dalam bidang ekonomi, fiskal, dan sektor energi. Istilah subsidi di Indonesia
umumnya mengacu ke subsidi hilir, dan secara khusus disebut sebagai subsidi
harga BBM (yang merupakan kesenjangan antara harga pasar dan harga domestik).
Peraturan
di Indonesia tidak menjelaskan perbedaan tentang kedua subsidi ini. Dalam
bidang akuntansi, fiskal, dan energi, hal yang mengarah pada subsidi produsen
tidak diklasifikasikan sebagaimana seharusnya. Istilah subsidi produsen dan
subsidi konsumen yang tidak jelas ini mengakibatkan penelitian terhadap subsidi
BBM produsen sangat sulit di Indonesia.
Subsidi
produsen terkadang diistilahkan ”insentif/hibah pemerintah di tingkat hulu”,
bertujuan untuk menjembatani kesenjangan persepsi masyarakat Indonesia.
Penurunan investasi dari pihak asing dalam sektor minyak dan pertambangan
akhir-akhir ini akan membuat masyarakat percaya bahwa insentif pemerintah mulai
berkurang dan kehilangan daya tarik bagi para investor asing.
Ini
hanya isu politik sementara. Isu subsidi (insentif) sektor minyak dan
pertambangan akan berkembang lagi ketika isu-isu politik (pemilu presiden
mendatang, pembubaran BP Migas, pajak ekspor bahan baku mentah, dan hak kontrak
penambangan) diselesaikan setelah 2014.
Namun,
debat subsidi BBM konsumen lebih intens daripada subsidi BBM produsen karena
kurangnya informasi dan data. Dalam beberapa tahun terakhir, para ekonom dan
institusi, seperti IMF dan Bank Dunia, mendorong untuk mengurangi jumlah
subsidi BBM konsumen. Tentu saja kemungkinan perjanjian pengurangan subsidi BBM
produsen juga dimungkinkan terjadi meskipun tidak dalam tingkatan yang sama
pentingnya dengan pengurangan subsidi konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh
adanya pengaruh politik dan lobi-lobi besar perusahaan minyak dan pertambangan
di dalam pemerintah atau institusi ini.
Meski
demikian, subsidi konsumen yang telah dijanjikan tak dapat ditarik kembali.
Seperti yang terjadi tahun lalu di Indonesia dan Nigeria, usaha perubahan
politik subsidi seperti menaikkan harga-harga tak berjalan sesuai harapan.
Perubahan subsidi ini malah memicu kerusuhan dan konflik dengan polisi.
Kebijakan
subsidi BBM telah jadi hak milik setiap orang saat ini, terutama di
negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Sementara permintaan
BBM dari institusi asing, seperti kantor-kantor yang nyaman (jauh dari
kemacetan, atau banjir) di London atau Wina, bertentangan dengan kondisi
masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup di Pontianak atau Manado.
Realitas tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada.
Subsidi
harga BBM untuk sektor industri dicabut pada 2005. Awalnya kebijakan ini
terlihat sangat bermanfaat, tetapi banyak pendapat yang sangat berbeda di sini
dan terus-menerus diperdebatkan setelah beberapa tahun kemudian. Sampai saat
ini, entah bagaimana sektor industri masih mendapatkan BBM bersubsidi yang
seharusnya ditujukan untuk masyarakat umum.
Sebagai
contoh, pertama, dalam praktiknya Pemerintah Indonesia dapat membuat
pengecualian dalam penyediaan BBM bersubsidi untuk transportasi ke
daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau meskipun volume pengurangan ini
tidak terlalu signifikan. Permasalahan ini sangat jarang diperbincangkan.
Kedua,
memilah bagian yang diklasifikasikan dalam sektor industri tidak mudah.
Bukankah truk-truk pengangkut milik industri seharusnya diklasifikasikan
sebagai truk sektor industri? Dalam praktiknya, truk- truk itu mendapatkan
solar bersubsidi. Interpretasi dan klasifikasi alat transportasi dan logistik
harus dilakukan secara spesifik. Hal yang sama, Indonesia mendistribusikan
solar bersubsidi untuk kapal-kapal kargo dan kapal-kapal kecil (sekali lagi,
pemahaman tentang klasifikasi kapal-kapal industri dan kapal-kapal kecil harus
diperjelas).
Subsidi
BBM dan gas terbesar di Indonesia adalah bagi pihak kontrak bagi hasil. Namun,
informasi mengenai pihak tersebut tidak mudah didapatkan. Bahkan, meskipun ada
informasi, tidak lengkap. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, sesuai
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 beserta putusan pembubaran BP Migas pada November
2012.
Pemerintah
Indonesia wajib memiliki daftar lengkap mengenai aturan dan tata cara untuk
menjalankan serta mengembangkan bagi pihak dengan kontrak bagi hasil tersebut.
Hal ini sangatlah penting karena subsidi bagi kontrak bagi hasil adalah kesenjangan
pemahaman dalam pasar bahan bakar mineral di Indonesia. Akan lebih bermanfaat
dengan mengetahui adanya daftar batasan dan ketentuan kontrak bagi hasil karena
setidaknya masyarakat akan menjadikan daftar tersebut sebagai patokan.
Patokan-patokan ini yang nantinya akan bisa dijadikan landasan pengambilan
keputusan untuk ketentuan dan batasan untuk kontrak bagi hasil.
Tidak
hanya pada kontrak bagi hasil, tetapi subsidi bagi produsen juga mencangkup
insentif pajak hingga saham kepemilikan terhadap pertambangan lepas pantai,
kredit dan dukungan pembiayaan, kebijakan harga untuk pasar lokal, insentif
tarif impor dan ekspor, saham istimewa BUMN, dan perlakuan istimewa untuk
pemerintah lokal. Seperti dapat kita lihat, subsidi yang tidak diklasifikasikan
tersebut dapat dengan mudah membayangi subsidi konsumen.
Isu
ini tidak melulu tentang BBM. Indonesia, berbeda dengan negara-negara lain,
meningkatkan kemandiriannya dengan membangun pabrik-pabrik pembangkit listrik
batubara. Pembangkit listrik batubara memiliki tingkat polusi sangat tinggi dan
tidak sehat. Sebagai tambahan, terdapat subsidi de facto dalam batubara yang
tidak terlihat, seperti tidak menegakkan keamanan dan peraturan daerah tentang
lingkungan, serta pertambangan ilegal yang mengenyampingkan pajak dan royalti
yang harus dibayarkan.
Subsidi
Listrik
Subsidi
listrik di Indonesia juga patut dipertimbangkan. Contoh konkret pemborosan
listrik di Indonesia dapat dilihat di kawasan Jalan Sudirman atau Cilandak. Di
wilayah ini banyak gedung tinggi berpendingin udara (air conditioner/AC)
terbaru sekelas Haier, Samsung, dan Carrier dengan listrik yang besar.
Masyarakat
dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah di Australia atau Kanada bahkan
tak akan membuang listrik untuk keperluan AC dan tak akan mengutamakan AC
sebagai kebutuhan utama mereka.
Bertolak belakang dengan yang terjadi di
Indonesia. Masyarakat Indonesia menggunakan listrik secara berlebihan dan
sangat tidak efisien walaupun sebenarnya biaya penggunaan listrik melebihi daya
beli mereka.
Pemerintah
Indonesia tetap bersikeras menerapkan subsidi. Hal ini memunculkan kontradiksi
terhadap perlakuan pemberian subsidi kepada produsen. Sebutlah subsidi yang
begitu banyak kepada BUMN, menjual suplai energi (bahan bakar fosil) di bawah
harga pasar kepada perusahaan lokal tertentu, pembayaran royalti dan
pajak-pajak sumber daya yang tak dipungut, pengalihan sumber daya untuk pasar
obligasi domestik, pengurangan biaya produksi, dan penafsiran nilai yang tidak
akurat. Akibat dari banyaknya kontradiksi dan kebocoran itu tentu saja
mencerminkan peluang untuk korupsi, penyelundupan, dan kolusi.
Apa
yang telah dilakukan pemerintah untuk merespons kejadian ini? Sayangnya,
pemerintah lebih memilih untuk terus menggunakan ketentuan dan peraturan demi
stabilitas politik jangka pendek melalui kekayaan. Bangunan terbaru Jasa Marga
dan bandar udara yang mewah serta dengan semakin banyaknya pembangkit listrik
tenaga bahan bakar fosil sesungguhnya mengindikasikan meningkatnya
ketergantungan dan bukan mengurangi ketergantungan. Pasar bahan bakar fosil di
Indonesia sangat tidak efisien.
Meski
demikian, sebelum mengambinghitamkan subsidi bagi konsumen, akan lebih baik
untuk mengidentifikasi subsidi bagi produsen yang sangat sia-sia, yang sudah
diketahui dengan jelas sangat banyak jumlahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar