Minggu, 28 April 2013

Kesalehan Konstitusional


Kesalehan Konstitusional
Ahmad-Norma Permata ; Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah 
REPUBLIKA, 26 April 2013


Di tengah karut-marut dinamika politik dan kekuasaan yang menghiasi media publik, proses demokratisasi di Indonesia sebenarnya sedang memasuki babak-babak baru yang penuh harapan. Paling tidak ada dua kasus utama yang menjadi contoh. 

Pertama, amendemen UU No 22/2001 tentang Migas dan penghentian RUU Ormas yang keduanya didesakkan oleh kelompok civil society, terutama ormas besar Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. Kedua, pengadilan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus korupsi Simulator SIM yang dilakukan oleh KPK. 

Dua kasus ini menjadi indikator proses politik yang melibatkan kepentingan aktor-aktor kakap. Fakta bahwa kasus ini bisa berproses tanpa dibarengi dengan insiden-insiden serangan balik dari kekuatan-kekuatan politik yang dirugikan oleh proses hukum di atas, menunjukkan bahwa aktor-aktor politik utama sudah mulai menerima mekanisme konstitusional sebagai arena perebutan kepentingan.
Kesediaan aktor-aktor politik utama mengikuti aturan main konstitusional memiliki konsekuensi besar bagi perkembangan demokrasi di negeri ini.

Dalam ranah politik, kekuasaan konstitusionalisme akan menjauhkan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dalam perebutan kepentingan, yang pa da akhirnya hanya akan merugikan ketenteraman dan kehidupan masyarakat. 

Sementara dalam hubungan elite dan massa, impersonalitas interaksi politik akan mendorong elite untuk memobilisasi dukungan politik melalui layanan-layanan publik yang bermanfaat untuk umum ketimbang transaksi personal- kliental dengan kelompok-kelompok tertentu dan politik uang. 

Memang proses masih panjang dan banyak hal harus dilalui, tapi terang sudah terlihat di ujung jalan.
Mengemukanya konstitusionalisme dalam panggung politik kekuasaan menjadi harapan sekaligus tantangan baru bagi komponen bangsa Indonesia untuk merumuskan nilai-nilai kebaikan publik berbasis konstitusi. Selama ini, publik sudah mengenal istilah `kesalehan sosial'. 

Pada tahap sekarang, bangsa Indonesia sudah waktunya merumuskan sebuah `kesalehan konstitusional', yaitu etika atau moralisme religius yang berbasis aturan main politik yang memengaruhi kebaikan kehidupan bersama. Sementara ini istilah kesalehan konstitusional digunakan untuk mendorong sikap keberagamaan yang selaras dengan nilai-nilai konstitusi.

Pemahaman seperti ini tidak tepat karena dalam banyak situasi tafsir konstitusi berada di tangan penguasa sehingga pemahaman seperti ini berkonotasi ketaatan, ketimbang kesalehan konstitusional. Kesalehan konstitusional mensyaratkan adanya kesetaraan posisi antarberbagai komponen politik dalam mengartikan konstitusi sebagai aturan dasar kehidupan berbangsa.

Dalam tradisi pemikiran Barat, gagasan ini dekat dengan konsep pemikiran filsuf Prancis JJ Rousseau tentang agama sipil (civil religion), yaitu dimensi moralitas dari kehidupan publik sebagai wujud dari kontrak sosial, yang dilawankan dengan religion of man (agama sebagai ranah personal), religion of community (agama sebagai identitas komunal), dan religion of the priests (spiritualitas yang menafikan kepentingan duniawi). Bagi Rousseau, negara merupakan wujud dari kesepakatan bersama sebuah bangsa dan merepresentasikan kebaikan bersama. 

Dalam perkembangannya, istilah civil religion ini ditafsir ulang oleh sosiolog Amerika Robert N Bellah yang memaknai istilah ini sebagai nurani publik yang menyelaraskan nilai-nilai moralitas yang berbasis nilai-nilai ketuhanan dengan kebaikan publik yang berbasis dinamika politik-kekuasaan. Bellah menempatkan konsep civil religion sebagai tahap terakhir evolusi moralitas-keagamaan.

Dalam khazanah pemikiran Islam, gagasan kesalehan konstitusional dapat dilacak pada pemikiran politik Ibnu Taimiyah, yang menekankan kesatuan fungsi dan tugas antara penguasa (imam dan amir) dan komunitas (ummah, jama'ah) dalam menegakkan syariah Islam yang sempurna dalam konteks kehidupan masyarakat yang jauh dari kesempurnaan. Ibnu Taimiyah sendiri menolak gagasan khilafah atau kekuasaan yang memadukan otoritas politik dan agama. Karena, menurutnya, hal tersebut hanya terjadi pada zaman Nabi dan empat pelanjutnya (dan karenanya Ibnu Taimiyah menolak istilah Khulafa Ar-Rasyidun dan memilih Khilafah an-Nubuwah). 

Di masa setelah itu, menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada lagi jaminan kebenaran yang bersifat transendental dan umat Islam-penguasa maupun masyarakat-harus bekerja secara resipr kal: Penguasa menegakkan keadilan, ketenteraman, dan kemakmuran publik, masyarakat menaati aturan dan mengkritik penguasa jika menyimpang dari aturan. Menariknya, Ibnu Taimiyah memahami konsep keadilan dalam bahasa objektif dengan kemakmuran (yaitu pemenuhan kebutuhan kehidupan publik) sebagai indikatornya dan terlepas dari predikat primordial penguasanya. Penguasa yang adil akan dilindungi Tuhan meskipun ia non-Muslim dan penguasa lalim tidak akan mendapat lindungan Tuhan, meskipun ia Muslim. 

Dengan demikian, belakangan muncul kajian yang menyamakan logika politiknya dengan gagasan Max Weber tentang Verantwortungsethiek atau etika politik yang diukur dari hasil dan bukan cara, dan bahkan dengan gagasan kontemporer tentang good governance (Johansen, 2002).

Dengan demikian, kesalehan konstitusional tidak bertentangan dengan kesalehan religius karena keduanya berakar pada kesadaran akan kewajiban mewujudkan kebaikan bersama. Kesalehan konstitusional juga tidak bisa dimaknai sekadar sebagai ketundukan pada aturan negara, termasuk konstitusi. Istilah tersebut juga merujuk pada hak publik untuk juga menafsir dan mengisi makna pada konstitusi, dengan ukuran-ukuran kondisi publik yang objektif: stabilitas sosial, kesejahteraan ekonomi, kemajuan pendidikan, ilmu dan teknologi, serta kelestarian lingkungan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar