|
KOMPAS, 30 April 2013
Di
tengah meningkatnya konsumsi BBM nasional, Indonesia justru krisis produksi
minyak bumi. Situasi ini mengakibatkan negara yang memiliki sumber daya minyak
dan gas bumi itu tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan minyak di dalam negeri
sehingga volume impor minyak mentah dan BBM kian membengkak.
Ke
depan, konsumsi energi di Indonesia dan negara-negara lain di dunia
diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada 2010 konsumsi energi dunia 12
miliar ton setara minyak, pada 2030 permintaan energi secara global diprediksi
menembus angka 16,6 miliar ton setara minyak dengan porsi minyak dan batubara terbesar
di antara sumber energi lain. Secara global, Indonesia akan berlomba dengan
China, India, Amerika, dan Eropa barat dalam memperebutkan kebutuhan minyak ke
depan untuk menopang pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Hal ini tentu
mengancam ketahanan energi di tengah lambannya proses diversifikasi energi
nasional akibat murahnya harga BBM yang disubsidi pemerintah.
Terus
Menyusut
Dari
sisi cadangan, pada akhir 2011, total cadangan minyak dunia mencapai 1.652
miliar barrel. Dari cadangan total itu, kontribusi Venezuela 17,9 persen dengan
total cadangan 296,5 miliar barrel, sedangkan kontribusi negara-negara Timur
Tengah 48,1 persen dengan penguasaan cadangan 795 miliar barrel.
Cadangan
minyak Indonesia hanya sekitar 2 persen dari cadangan total minyak dunia. Saat
ini, cadangan minyak terbukti di Indonesia 3,6 miliar barrel, dan 53 persen
sisa cadangan itu terletak di lapangan-lapangan skala besar. Cadangan gas
Indonesia 104,25 triliun kaki kubik atau hanya 1,7 persen dari cadangan total
gas dunia. Sebagian besar cadangan migas yang belum terbukti berada di laut
dalam di kawasan timur Indonesia.
Sejauh
ini, cadangan minyak terbukti nasional terus terkuras. Pada 2012, rasio
cadangan minyak terhadap produksi hanya 52 persen. Padahal, semestinya setiap
produksi 1 barrel minyak digantikan temuan cadangan minyak dengan jumlah sama.
Beberapa tahun terakhir, cadangan minyak terbukti terus menurun meski jumlah
ladang migas terus bertambah lantaran mayoritas lapangan migas berskala kecil.
Kondisi ini berpengaruh pada penurunan produksi minyak 10 tahun terakhir.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas)
memperkirakan, realisasi produksi minyak nasional tahun ini 830.000-850.000
barrel per hari (bph), jauh di bawah target APBN 2013 yang 900.000 bph.
Akibat
produksi minyak terus menurun, pada Mei 2008, Indonesia keluar dari Organisasi
Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), mengingat Indonesia telah menjadi
importir minyak sejak 2003 dan tak mampu memenuhi kuota produksi yang
ditetapkan. OPEC mencatat, penurunan produksi terutama karena kurangnya
investasi di sektor perminyakan.
Padahal,
Indonesia pernah mengalami dua kali puncak produksi minyak, yaitu pada 1977 dan
1995 dengan angka produksi minyak 1,6 juta bph. Setelah produksi minyak nasional
mencapai puncaknya untuk kedua kali pada 1995, produksi minyak makin turun dan
mengindikasikan bahwa Indonesia telah memasuki masa krisis minyak. Apalagi,
mayoritas ladang minyak di Tanah Air telah tua sehingga makin sulit
berproduksi.
Untuk
mendongkrak produksi minyak agar mencapai 1 juta barrel, andalan utamanya
adalah Blok Cepu, dengan puncak produksi minyak sekitar 165.000 bph pada 2014.
Akan tetapi, masa puncak produksi blok tersebut diprediksi hanya akan bertahan
selama dua tahun, sehingga perlu segera dicari cadangan migas lain untuk
menopang produksi minyak nasional.
Krisis
produksi minyak yang terjadi saat ini tidak terjadi seketika. Selama beberapa
dekade ini, Indonesia tidak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis
yang komprehensif dan terpadu, tidak ada perencanaan jangka panjang, dan
kebijakan dari sejumlah kementerian bersifat sektoral. Padahal, situasi krisis
ini sebenarnya bisa diproyeksikan sejak awal dan bagaimana mengantisipasinya.
Minim
Strategi
Pengelolaan
penerimaan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan rutin belanja negara sehingga alokasi dana bagi pengembangan
infrastruktur dan kegiatan eksplorasi relatif terabaikan cukup lama. Kebijakan
fiskal juga cenderung lebih mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak secara
sektoral dalam jangka pendek sehingga tidak merangsang bagi pengembangan energi
alternatif jangka panjang yang berkesinambungan. Di Norwegia dan Brasil, saat
puncak produksi minyak, kedua negara itu menginvestasikan penerimaan negara
dari sektor migas untuk mengembangkan industri hulu dan jasa penunjang serta
teknologi migas melalui satu kebijakan terintegrasi. Kedua negara itu juga
menghemat konsumsi minyak dan cenderung mengembangkan energi baru terbarukan
untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.
Kurangnya
investasi turut menurunkan produksi. Untuk mengatasi masalah pendanaan, Timor
Leste, misalnya, pada 2005 membentuk Dana Minyak Timor Leste untuk menempatkan
pemasukan dari migas pemerintah. Pembentukan Dana Minyak diperlukan sebagai
bentuk pengelolaan sumber daya minyak agar bermanfaat bagi generasi sekarang
dan mendatang. Sayangnya kita tak memiliki konsep dana minyak tersebut.
Dukungan pemerintah, baik finansial maupun non-finansial terhadap aktivitas
eksplorasi dan produksi juga diperlukan untuk menarik minat investor menggarap
wilayah kerja migas di Tanah Air, apalagi sebagian besar cadangan migas
berlokasi di perairan dalam di kawasan timur Indonesia yang relatif sulit
dijangkau. Kepastian hukum dan model kelembagaan pengelolaan migas juga
dinantikan kalangan investor.
Tantangan
lain yang dihadapi, bagaimana meningkatkan produksi minyak. Secara alamiah,
laju penurunan produksi minyak sekitar 12 persen per tahun. Tahun ini, SKK
Migas menargetkan laju penurunan produksi minyak 0 persen. Peningkatan produksi
hanya bisa dicapai jika pengeboran gencar dilakukan, dan sejumlah kendala di
lapangan teratasi, termasuk masalah perizinan dari pemerintah daerah dan
maraknya pencurian minyak.
Dengan
kondisi mayoritas lapangan migas telah tua, kandungan air dalam minyak makin
tinggi sehingga volume produksi menurun. Pengembangan teknologi pemulihan
produksi menjadi hal kunci dengan konsekuensi terjadi peningkatan beban biaya
produksi minyak. Uji coba pemanfaatan teknologi ini telah dilakukan di sejumlah
lapangan migas, dan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi.
Di
tengah situasi krisis produksi yang terus berlanjut, perubahan paradigma tata
kelola migas harus segera dilakukan. Upaya pencarian cadangan migas harus jadi
titik berat dalam menjaga keberlanjutan produksi minyak untuk mengoptimalkan
penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan terpenting memberikan
manfaat generasi mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar