Kita semua tentu terkejut dengan meninggalnya Ustad Jefri
Al Buchori. Tasbih, takbir, dan tahmid terus menggema di rumah duka
hingga jenazah dimakamkan di samping kuburan ayahnya di pemakaman Karet,
Jakarta, kemarin. Uje, panggilan Ustad Jefri Al Buchori, meninggal dalam
usia 40 tahun gara-gara kecelakaan tunggal. Motor yang dikendarai sang
ustad menabrak pohon di Jalan Gedong Hijau Raya, Pondok Indah, Jakarta
Selatan, pada pukul 02.00 Jumat (26/4).
Ustad yang lahir pada 12 April 1973 serta meninggalkan
empat anak dan satu istri itu dikenal sebagai ustad gaul. Total sudah
sebelas tahun Uje berdakwah. Namun, televisi telah menahbiskannya sebagai
pendakwah terkenal yang banyak disukai kaum perempuan selama tujuh tahun
terakhir.
Mengamati beragam khotbahnya, saya yakin bahwa ustad
yang satu itu punya pesan yang menyejukkan tentang betapa Islam cinta
damai dan adaptif dengan modernitas atau perkembangan zaman. Bukan agama
kolot yang antisegala hal baru.
Saya tertarik pada peristiwa kematiannya yang begitu
mendadak. Saya langsung ingat pepatah Jawa, "Urip mung mampir ngombe (Hidup sekadar singgah
minum)." Itu menunjukkan betapa fana dan kecilnya manusia serta
betapa singkatnya perjalanan manusia di dunia ini.
Dalam pandangan Islam tradisional, sebagaimana
dikatakan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, Tuhan
merupakan realitas absolut yang tak terhingga. Kalau Tuhan diibaratkan
samudra tak terhingga, manusia hanyalah percikan dari samudra Ilahi
tersebut (Simuh, 1985). Maka, kematian ustad tersebut bisa dipakai
sebagai sarana untuk menunjukkan kebesaran-Nya.
Meski sudah dikenal sebagai selebriti, selama ini Uje
tidak ikut larut dalam semangat para selebriti yang memuja hedonisme dan
kenikmatan dunia. Coba simak, berapa banyak artis atau sosok terkenal
yang harus berakhir tragis karena narkoba. Kesibukan mengejar popularitas
dan uang menyebabkan hidup mereka kemrungsung dan jauh dari nuansa religius,
meski mereka mengaku beragama.
Di tengah-tengah absurditas serta kegersangan
spiritualitas, menarik bahwa beberapa hari sebelum meninggal Uje menolak
didikte oleh modernitas yang diwakili motor maupun gadget yang dipakai.
Menurut cerita adik almarhum, Uje mengaku bosan dengan BlackBerry dan
motor Kawasaki ER-6n yang kemudian merenggut nyawanya.
Boleh jadi Uje sadar bahwa ternyata barang-barang yang
menjadi simbol dari modernitas itu justru menyeret hidup manusia dalam
keterasingan. Tak heran, bos Hyundai Korea yang kaya raya dan punya
banyak barang mewah justru memilih jalan pintas dengan bunuh diri dari
lantai atas sebuah hotel hingga akhirnya tewas.
Uje juga mengaku sudah capek dan ingin istirahat
sebagaimana tertulis dalam kicauan terakhirnya di Twitter. Padahal,
popularitas, honorarium besar, serta jadwal padat ke depan sudah
menunggunya.
Memang di tengah semangat zaman yang hanya memuja
materi, seharusnya kita mau beristirahat. Mari menarik diri dari
kerumunan dengan senantiasa mencoba menyucikan diri agar kedamaian atau
ketenteraman hidup kita tidak dikorbankan.
Al Ghazali memberikan resep mengembalikan ketenteraman
hidup dengan jalan membelakangi dunia. Sebab, selama masih ada dunia di
tangannya, kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat mustahil
mandi madu tanpa dikerumuni lalat atau semut. Tak heran, Rasulullah SAW
bergegas pulang ke rumahnya seusai salat karena mengingat masih ada
potongan logam mulia yang belum tuntas disedekahkannya.
Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman
batin amat sulit dijalani. Pertama, pengamalan maqam tobat. Tobat dalam pengertian
tasawuf adalah pengalihan dari hidup yang terlena ke arah hidup yang
selalu mengingat Tuhan. Terlena mengingat Tuhan adalah pangkal dari
segala dosa dan kemaksiatan. Maka, laku mengingat Tuhan adalah langkah
awal pembinaan budi luhur. Zikir lahir batin merupakan jalan pertama.
Kedua sesudah tobat adalah laku wara`, yakni satu
laku rohani untuk menjauhi hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal
haramnya). Ketiga, laku hidup yang mencari sesuatu yang jelas halalnya.
Jadi, laku itu 90 persen budi pekerti luhur. Keempat, laku zuhud, yakni
menyedikitkan kebutuhan duniawi yang halal. Kelima, tawakal, yakni
menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan, termasuk
pemeliharaannya. Keenam, laku sabar, yakni tidak mengeluh apa pun
penderitaan yang ada padanya karena yakin akan adanya jaminan pemeliharaan
Tuhan. Lalu, ketujuh, laku rela atau ikhlas, bahkan penderitaan
dianggapnya sebagai satu "kenikmatan".
Segala kekotoran duniawi dia singkirkan. Menyedikitkan
kebutuhan duniawi mengandung arti bahwa tidak dilarang untuk mencari
harta, asal halal dan diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan membantu orang lain. Artinya menjadi "sufi". Jadi, tidak
harus mengasingkan diri dari keramaian duniawi. Orang Jawa bilang topo ngrame dan Abu Yazid Al Busthami
mengatakan, "Zuhud (sufisme)
adalah tidak memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia." Artinya
silakan mencari harta sebanyak-banyaknya (yang halal tentunya), namun
jangan menjadi budak dunia.
Ingat, hidup begitu fana sebagaimana telah ditunjukkan
oleh Uje. Sang maut menunggu di setiap kelokan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar