|
SUARA KARYA, 29 April 2013
Tidak lebih dari 2 tahun lagi
Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang dicanangkan PBB tahun 2000, akan
berakhir. Saat MDGs berakhir tahun 2015, bangsa Indonesia dalam waktu 30 tahun
berikutnya genap berusia satu abad kemerdekaannya. Seluruh potensi bangsa perlu
disiapkan untuk menyongsong satu abad kemerdekaan itu dengan rasa syukur dan
kesiapan yang paripurna. Namun, beberapa waktu lalu kabinet telah mengadakan
sidang dan diduga beberapa target MDGs masih memerlukan kerja keras agar
tercapai.
Andaikan kerja keras itu
menghasilkan pencapaian target yang disepakati, kita perlu kerja lebih keras
lagi menempatkan Indonesia pada posisi strategis sebagai negara besar yang
merdeka selama 100 tahun. Keadaan kesehatan bangsa masih belum ideal, tingkat
kematian ibu dan anak masih sekitar 15 kali lebih buruk dibandingkan dengan
keadaan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Infrastruktur dan
pemeliharaan kebersihan lingkungan yang luas masih terbelakang, rawan sebagai
sarang atau media penularan berbagai penyakit.
Lihat pula, kemunduran gerakan
keluarga berencana (KB) selama 13 tahun belum pasti dapat direhabilitasi dan
sasaran tahun 2015 hampir pasti meleset. Akibatnya, tingkat kelahiran akan
masih tinggi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memakan kembali
keberhasilan pertumbuhan ekonomi sosial bangsa.
Dalam bidang pendidikan,
disparitas antar-daerah masih menganga, bahkan kursus-kursus ketrampilan yang
seharusnya dilaksanakan secara terpadu dengan usaha penciptaan lapangan kerja
untuk anak muda putus sekolah dan anak muda di tingkat SMP dan SMA belum pasti
dilaksanakan. Kurikulum baru yang diperkenalkan bukan segera disambut persiapan
yang matang oleh berbagai kalangan, sehingga dalam 2 tahun ini, belum tentu
bangsa Indonesia siap mengejar target MDGs 2015 dalam pengentasan kemiskinan,
karena cita-cita yang terkandung dalam kurikulum itu belum tentu diikuti oleh
berbagai instansi secara terpadu. Karena itu, bidang pendidikan dengan promis
pemberian ketrampilan hidup secara terpadu kepada generasi muda belum tentu
memberi sumbangan pada upaya pengentasan kemiskinan secara bermakna.
Andaikan kebersamaan di tahun 2013
dan 2014 tidak terganggu oleh kesibukan politik pemilu, sebenarnya anak-anak
muda di tahun 2015, sebagai tahun akhir MDGs, melalui Kurikulum Baru 2013,
disertai keterpaduan berbagai instansi dari pusat sampai daerah, bisa
mengangkat anak-anak muda putus sekolah atau anak-anak muda lulusan SMP dan SMA
melalui ketrampilan kerja, dapat menjadikan anak-anak muda Indonesia pelopor
pelaksanaan ekonomi biru, memanfaatkan kearifan dan sumber daya lokal untuk
menciptakan jutaan lapangan kerja bagi generasi muda Indonesia dan melepaskan
diri dari belenggu kemiskinan.
Bagi Indonesia setelah MDGs,
kiranya tidak perlu harus mengubah segalanya. Ada beberapa kelemahan yang perlu
diperbaiki. Pertama, sifat charitas dari beberapa program perlu diluruskan dan
hanya semata-mata ditujukan kepada keluarga sangat miskin yang betul-betul
tidak mampu mengikuti proses pemberdayaan karena alasan yang jelas. Andaikan
masih bisa mengikuti proses pemberdayaan, mereka perlu diyakinkan bahwa
dukungan yang bersifat charity
haruslah menjadi pengungkit untuk modal kerja menjadi manusia yang mandiri.
Karena itu, pemberian yang bersifat charitas murni harus sangat terbatas dan
dilakukan secara terbuka oleh masyarakat luas dalam konteks pemberdayaan yang
berlaku secara inklusif.
Perubahan sikap itu harus diikuti
dengan pemetaan yang akurat di setiap desa dan dukuh, dan upaya itu dilakukan
melalui pos pemberdayaan keluarga (posdaya) di setiap dukuh agar masyarakat
dapat diikutsertakan secara inklusif dan tidak sekadar menjadi penonton.
Kehidupan gotong-royong antar-keluarga dalam masyarakat disegarkan kembali
dengan menugasi keluarga yang lebih mampu mengampu keluarga kurang mampu
sebagai upaya preventif sekaligus mengembangkan budaya sehat, pintar dan
bekerja keras di bidang wirausaha mikro dan kecil, kalau perlu dalam bentuk
magang dengan penuh kasih sayang. Upaya gotong-royong dijadikan komoditas
informasi yang digelar dengan penuh kebanggaan di berbagai media massa sehingga
menular kepada khalayak yang lebih luas.
Pemerintah memberi dukungan dengan
niat dan kerja serta bukti nyata bahwa partisipasi masyarakat, sekecil apa pun,
mendapat penghargaan dan didorong di segala tingkatan. Apalagi, kalau
partisipasi itu bersifat preventif dengan mengikutsertakan seluruh anggota
masyarakat, terutama keluarga miskin secara inklusif. Penghargaan pemerintah
memberi semangat partisipasi tinggi dan sekaligus mendekatkan birokrat dan para
pemimpin makin dekat dengan rakyat. Dorongan itu akan meningkatkan volume
anggaran yang disediakan dalam APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota secara
berlipat karena masyarakat akan menyumbang kalau pemerintah dapat menjadi
fasilitator yang makin dicintai rakyat.
Sasaran yang dipertajam dan
diketahui rakyat banyak harus menghasilkan simpati dan sekaligus diberikan
dukungan fasilitasi yang memadai. Fasilitasi itu bukan hanya dalam bentuk
pembuatan jalan yang memudahkan rakyat mengakses fasilitas kesehatan,
pendidikan, pasar dan daerah-daerah padat penduduk lainnya, tetapi juga
fasilitas birokrasi yang memihak.
Penduduk miskin yang sedang dan
akan membuka usaha sebaiknya mendapat kemudahan perizinan usaha atau fasilitasi
perbankan dengan keringanan agunan untuk pinjaman atau keringanan bunga usaha
mikro dan kecil. Ada baiknya lembaga-lembaga pemerintah memberikan pendampingan
petugas untuk merapikan administrasi usaha mikro dan kecil, sehingga syarat
administrasi perbankan, terpenuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar